Setengah jam berlalu setelah kondisi Bintang drop, kali ini semua perawat dan Dokter keluar. Mereka membawa bankar dengan seseorang yang seluruh badannya di tutupi kain putih membuat mereka yang menunggu mengernyit. Hanya ada satu pasien diruangan itu yakni Bintang, tapi apa yang terjadi, mereka tak dapat berpikir jernih.
Semua yang menunggu berdiri, termasuk Bima dan Lina yang mendekat ke arah ruangan Bintang. Merasa heran, Dena bertanya pada adik Ipar nya, yakni Dokter Rusdi.
"Rusdi, apa yang terjadi? Bagaimana keadaan anakku?"
Dokter Rusdi menghembuskan napas lelah, ia tidak tau harus bagaimana menjelaskan perihal keadaan keponakannya yang tidak dapat di tolong lagi. "Kami semua sudah berusaha, Mbak. Tapi, Allah lebih sayang Bintang. Dia sudah meninggalkan Bintang untuk selamanya. Maafkan aku, Mbak, Mas Jaya." ucapnya dengan lirih dan penyesalan.
Pecahlah tangis mereka semua. Termasuk ke enam sahabat Bintang yang mengharap mendapat kabar baik, tapi malah kabar buruk yang mereka terima.
"Gak, gak mungkin. Dokter, Bintang itu kuat. Dia bisa, Dok." Jingga berdiri dengan sekuat tenaganya di bantu Riana dan Rania, sementara Arini sudah menangis di pelukan Juna.
"Dokter tolong selamatkan Bintang, Dok. Tolong..." lirih Jingga melanjutkan.
Dokter Rusdi dan yang lainnya tak bergeming, ia malah membuka kain yang menutupi Bintang lalu mencium kepala keponakannya.
"Bin, jangan tinggalin aku. Aku mohon, kamu harus bisa bertahan demi aku, Bin."
"Ji, uda. Bintang uda tenang. Lo harus ikhlasin dia." ucap Riana menenangkan. Jingga sudah terduduk lemas di lantai samping bankar Bintang.
Jingga menggeleng cepat, ia tak menyangka bahwa Bintang akan meninggalkan semuanya secepat ini. Bahkan ia belum bercengkrama pada kekasihnya itu menuju hari terakhirnya.
"Bintang, jangan tinggalkan Mama, Nak. Mama sayang kamu."
"Ma, uda. Masih ada Binar, ikhlasin Bintang, biar dia tenang, Ma." Binar, wanita itu ikut menenangkan sang Mama, padahal ia sendiri pun sangat merasa kehilangan adik satu-satunya itu. Binar sangat menyayangi Bintang, walau pun mereka sering berbeda pendapat, tapi Binar sangat menyayanginya.
Brak
"Mama..."
"Jingga..."
Secara bersamaan, Dena dan Jingga pingsan di tempatnya. Terlalu lelah bagi mereka karna menangis, kehilangan orang yang mereka sayangi bukanlah hal yang mudah untuk di jalani.
"Tolong, bawa mereka ke UGD." ucap Jaya pada ke empat lelaki disana yakni Doni, Dika, Juna dan Bima.
Mereka mengangguk, kemudian menggendong dua wanita itu secara bersama-sama, mereka menggerti, dua wanita ini sangat menyayangi Bintang, begitu pun sebaliknya.
"Rusdi, urus jenazahnya ya."
Dokter Rusdi mengangguk."Maafkan aku, Mas Jaya." ucap Dokter Rusdi menyesali. Sebagai seorang Dokter, kebahagiaan utamanya adalah melihat pasiennya sembuh dan bisa beraktivitas kembali. Tapi, sehebat-hebatnya Dokter, mereka tetap manusia biasa, hanya Tuhan lah yang maha penyembuh.
••••••
Usaha sudah, berdoa sudah, hasilnya tinggal di pasrahkan kepada Tuhan yang maha penguasa. Dialah yang menentukan hidup dan mati, datang dan pergi, jodoh dan rezeki. Kita sebagai makhluk hanya dapat menerima garisan takdir yang telah di tetapkan oleh-Nya.
Kepergian Bintang menumbuhkan luka baru di hati Jingga, sekarang ia merasa hidupnya sepi kembali. Jika biasanya Bintang selalu merepotkannya untuk menyiapkan pakaiannya, sekarang Jingga tak lagi melakukan itu. Jika biasanya, perut Bintang yang akan ia cubit jika kesal, maka sekarang Bintang bukan untuk di cubit, tapi didoakan. Gadis itu memang gadis kuat, ia belum berhenti menangis, tapi selama menangis, tak ada suara yang terdengar di sela isakannya. Berbeda dengan Nayla yang sedang meratap, terlalu berlebihan menurut Jingga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga
Ficção Adolescente"Karna walaupun kamu sudah tak menemaniku lagi, hatiku akan tetap mencintaimu, Bintang Mahendra." ~Alisya Jinggana Renggama~ "Jaga dia, jangan pernah menyakitinya. Hatiku akan tetap hidup bersamanya, bersama seseorang yang aku percaya akan mencintai...