18. Sudut Kamar

231 27 3
                                    

Terkadang, kita harus meninggalkan semua kenangan dari masa lalu agar tetap bisa melangkah ke depan.
—unknown

..........

Gadis itu masuk ke dalam kamarnya. Meletakkan tas di sudut ruangan, lalu berjalan ke arah cermin dengan perlahan. Di dalam cermin, ada seorang gadis yang memandang dirinya dengan menyedihkan.

Ia tertawa. Lucu sekali rasanya. Gadis di dalam cermin itu juga ikut tertawa. Mereka tertawa hingga ia jatuh terduduk di lantai, sambil menutupi wajahnya dengan tangan. Hidup memang selucu ini.

Hingga kemudian, mulai terdengar suara isakan. Tak terlalu terdengar karena masih ada beberapa tawa di sela-sela bibirnya. Tapi lama kelamaan, suara isakan itu bertambah besar. Ia bahkan harus menggigit bibirnya agar suaranya tak di dengar.

Mawarnya yang seharusnya indah, kini berbalik menusuk jarinya.

**

Natasya membuka kedua matanya. Ia berkedip pelan beberapa kali untuk memfokuskan pandangan. Dimana dia?

Gadis itu berusaha bangun dan menengakkan tubuhnya, di bantu oleh kedua tangannya yang menopang di sisi kanan dan kiri. Ah, ini pasti rumah sakit. Tempat yang paling tak ia suka di dunia.

Di ujung ruangan, terlihat Aska yang tengah tertidur pulas di atas sofa bersama Seno. Wajah mereka sepertinya benar-benar kelelahan.

CEKLEK

Pintu ruangannya terbuka, dan menampilkan Nadia dengan wajah yang sama lelahnya. Perempuan itu masih mengenakan baju rumah,dan di lapisi dengan sebuah kardigan berwarna coklat.

Nadia yang melihat Natasya telah membuka mata tersenyum. "Udah enakan?"

Natasya mengangguk. "Caca pingsan ya ma?"

Nadia menarik kursi, lalu duduk di samping ranjang Natasya. "Iya, kata dokter kamu pingsan gara-gara belum makan. Kebiasaan."

Natasya merasa tak enak telah membuat orang tuanya khawatir. Ia memang belum makan dari tadi siang, dan sekarang sudah pukul 11 malam. Di tambah lagi, ia tertidur di atas lantai kamarnya.

"Papa sama Aska sampe harus dobrak pintu kamar gara-gara kamu gak jawab pas di panggil."

Natasya menggigit bibir bawahnya. "Maaf ya ma, besok-besok Caca gak bakal lupa lagi buat makan."

"Mama gak percaya. Ini bukan pertama kalinya kamu pingsan gara-gara telat makan. Janji tapi besoknya di ingkarin lagi, sama kayak papa kamu tuh waktu masih muda." Nadia mencubit pelan perut Natasya hingga meninggalkan sensasi geli.

"Udah ya sekarang istirahat, besok pagi kamu nggak usah sekolah, biar Mama yang bilang sama wali kelas kamu." Nadia mengecup kening Natasya lalu menaikkan selimut gadis itu hingga batas dada.

**

Arka memanjangkan lehernya berusaha untuk melihat ke segala penjuru kantin. Kedua matanya terus meneliti satu persatu orang yang ada disana, hingga akhirnya terpaku pada meja yang bisa di duduki oleh Natasya dan teman-temannya. Meja itu kini kosong.

Setelah kemarin berbicara lewat ponsel dan berakhir kurang mengenakan, Natasya tak pernah lagi memunculkan batang hidungnya.

Ia pergi ke kelas gadis itu, dan sekretaris kelas mereka memberitahu dirinya bahwa Natasya tidak masuk sekolah. Tetapi, kenapa gadis itu tak memberi tahu dirinya?

Apa mungkin gadis itu marah? Rasanya tidak. Setahu dirinya, Natasya bukanlah gadis yang gampang cemburu hanya karena hal kecil. Tunggu, cemburu? Apa benar gadis itu cemburu? Rasanya hal ini semakin tidak mungkin. Pikirannya sudah melantur kemana-mana.

A R K ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang