9. Berakhir

2K 286 11
                                    

'Aku sudah merasakan semua kepahitan hidup dan yang paling pahit adalah berharap pada manusia.'

~Ali Bin Abi Thalib

Elshanum & Albirru

***

Karena pengaruh masalah di rumah, Shanum jadi lebih pendiam, dia juga tak terlalu bersemangat, bahkan tawa renyah anak-anak muridnya sama sekali tak bisa membuatnya tertular. Shanum hanya diam, dia hanya menanggapi seadanya saat anak-anak muridnya berusaha untuk mencari perhatiannya.

"Miss lagi sedih ya?" tanya Anara—salah satu murid Shanum.

Shanum seolah tersadarkan. Gadis itu berusaha untuk tersenyum. "Enggak kok, Miss nggak apa-apa, sini biar Miss ponten," ujar Shanum memberikan senyum terbaiknya pada Andara, tak lupa pula Shanum mengambil buku yang Anara sodorkan.

Shanum membubuhkan lima bintang pada buku anak muridnya itu kemudian mengusap kepala bocah lima tahun yang ada di hadapannya.

"Kan Miss selalu bilang nggak boleh sedih ada Allah, jadi sekarang Miss jangan sedih ada Allah." Anara tersenyum ceria kemudian berjalan kembali menuju bangkunya.

Shanum tersenyum, hal itu selalu dia katakana pada murid yang menangis karena tidak mau tinggal orang tua, atau yang menangis karena terjatuh dan lain hal. Ternyata hal yang ia ingatkan pada orang lain bisa kembali padanya dengan cara sesederhana ini, salah satu alasan kenapa Shanum memilih menjadi guru adalah karena dia ingin menjadi bermanfaat untuk orang lain, juga dirinya sendiri. Shanum percaya ketika dia memberikan yang terbaik untuk para muridnya dia juga akan mendapatkan kebaikan dari Allah.

Anara seolah membawa Shanum kembali ke dunia nyata, kini Shanum memilih bangkit dari tempat duduknya untuk membimbing para muridnya bernyanyi, seharusnya Shanum lebih awal kalau kebahagiaannya adalah tawa bahagia yang terpancar dari wajah para muridnya.

Jam kemudian sudah menunjukkan waktunya pulang, Shanum meminta seluruh siswa bersiap lantas bernyanyi kemudian membaca surah-surah pendek lalu setelah itu berdoa. Saat kelas telah kosong ponsel Shanum berdering, gadis itu mengerutkan dahinya saat mendapati nama Biru, tumben, biasanya Biru hanya mengirim pesan.

"Hallo assalamualaikum." Shanum menempelkan ponselnya ke telinga, sementara tangannya sibuk memberesi barang-barangnya untuk dimasukkan ke dalam tas.

"Waalaikumsalam." Biru membalas salam dengan suara lembut khasnya.

"Ada apa Mas?" tanya Shanum memastikan, dia pernah mengatakan pada Biru kalau mereka tidak bisa sering-sering bersama, tak mungkin Biru ingin mengajaknya bertemu lagi.

"Hari ini bisa ketemu? Penting Num." Ternyata tebakan Shanum salah, Biru mengajaknya untuk bertemu, nadanya sangat serius, artinya benar-benar penting.

"Emmm, mau ngapain ya?" tanya Shanum, pertanyaannya itu malah membuat pikirannya memiliki jawaban, jangan-jangan Biru?

"Pokoknya ini penting, menyangkut masa depan kita, menyangkut kelanjutan komitmen aku sama kamu," jelas Biru, memang tak menjadi jawaban atas pertanyaan Shanum, namun tanpa sadar Shanum tetap tersenyum, entah kenapa pikirannya menjadi sangat positif.

"Ya udah di mana?" Shanum berusaha meredam suaranya sendiri agar tak terdengar antusias.

"Kafe dekat klinik aku, soalnya sore ini aku harus jaga, jadi nggak bisa lama-lama," terang Biru.

Shanum mengangguk. "Ya udah kalau gitu, aku ke sana sekarang." Keduanya saling berbalas salam kemudian menutup telepon masing-masing.

Dengan hati berbunga-bunga Shanum buru-buru memberesi barang-barangnya kemudian keluar dari kelas, berpamitan dengan rekan-rekannya yang lain lalu langsung meluncur ke lokasi yang sudah Biru kirimkan.

Elshanum & AlbirruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang