29

3.7K 397 14
                                    






FLASHBACK

Aku menatap layar ponselku gemas. Pagi sudah mulai memanas dan jam dinding disana telah menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas menit. Menyebalkannya, lelaki itu tak kunjung tiba.

'Jeffrey menyebalkan! Tahu akan seperti ini seharusnya aku tidur lagi tadi,' pikirku sambil menundukkan wajah.

Aish, aku benar-benar mengantuk! Kalau saja lelaki itu tidak menyuruhku untuk datang kemari sebelum jam sembilan karena 'urusan penting', tak mungkin aku ada di sini sekarang. Semalaman suntuk menonton drama Korea benar-benar melelahkan asal kau tahu.

"Jerry! Lama menunggu? Maaf tadi-"

"Berisik! Aku tak peduli. Cepat katakan kenapa aku harus ada disini dan menunggumu selama ini huh?!" potongku dengan menekankan kata 'menunggu' agar terdengar lebih jelas.

"Ehe, maafkan aku. Jadi, hmm... Aku menyukaimu." ucap lelaki tinggi itu tiba-tiba.

Mataku nyaris meloncat dari rongganya begitu mendengar penuturan tak tahu waktu itu.

"Ah, kau terkejut? Aku penasaran bagaimana kalau Irene mendengarku mengucapkan itu padanya," ucapnya senang.

Terlalu senang hingga kedua lubang cacat di pipi itu terlihat begitu menjorok kedalam. Ya, lelaki itu mempunyai lesung pipit yang bisa membuat semua makhluk bernama wanita bertekuk lutut padanya.

Tapi tunggu dulu, apa katanya tadi? Irene?

"Dasar Jaepeuri sok tampan! Jadi kau menggunakanku sebagai alat praktik begitu?!" tanyaku emosi. Sial, padahal aku sudah nyaris terbawa suasana.

"Uhm? Iya. Aku terlalu tidak yakin kalau tiba-tiba mengucapkan hal itu padanya, karena itu aku mencarimu untuk kugunakan sebagai tester," kekehnya seakan bangga atas apa yang barusan ia lakukan.

Aku sedikit mematung melihat bagaimana cara lelaki itu tersenyum. Dimples yang begitu terlihat diantara pipi tembamnya, bibir tebal berwarna merah mudanya yang melengkung tajam, dan jangan lupakan tatapan matanya yang menatap teduh sekaligus menerawang seakan sedang membayangkan kejadian saat ia hendak memacari gadis bernama Irene itu.
Tanpa kusadari, aku pun ikut tersenyum. Melihatnya bahagia seperti itu, aku sebagai seorang teman yang baik harus ikut tersenyum kan?

"Heh, kalau kau mau praktik jangan gunakan aku! Aku kira kau sudah gila ketika mengatakan hal seperti itu padaku," kekehku sambil menepuk bahunya setengah keras dan seketika pria itu tertawa mendengarnya.

Aku mencoba tersenyum manis, melihatnya tertawa hingga badan kekarnya berguncang membuatku mau tak mau senang sendiri, merasa bangga telah membuat lelaki itu tertawa.

"Ya... Ya... Maafkan aku. Jadi bagaimana? Apa itu terdengar oke?" tanyanya polos. Perlahan rona merah menjalar di kedua telinganya. Begitu kontras dengan kulit yang berwarna putih pucat itu.

"Ya, itu bagus. Kurasa Irene tidak akan menolakmu. Apa kau akan melakukannya hari ini?" tanyaku penasaran begitu menyadari bahwa hari ini ia memakai pakaian yang lebih rapi dari biasanya. Parfumnya juga sepertinya lebih pekat daripada yang biasa ia pakai.

"Iya, doakan semoga ia mau menjadi kekasihku," bisiknya yang hanya kubalas dengan anggukan pelan.

"Ya sudah, sana cepat pergi! Kau berjanji akan bertemu dengannya jam sepuluh kan? Ini sudah jam setengah sepuluh, jangan biarkan ia menunggu," lirihku.

Namun tak sengaja sesuatu tertangkap oleh pengelihatan ku. Aku menatap sesuatu yang terlihat menonjol di saku jas nonformalnya.

'Sepertinya itu cincin yang waktu itu ia suruh aku mencobanya. Jadi itu untuk Irene?' batinku geli.

My Manager [JaeYong]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang