Part 10

288 13 0
                                        

🍁 Rumah Rani  🍁

Saat cahaya mentari pagi mulai bersinar, masuk ke celah kamarku. Aku masih bergelung dalam selimut tebalku.

'Hikz ... kenapa panasnya dari semalam belum juga turun,' hatinya Rani.

Aku terus mengeluh karena rasa pusing di kepalaku yang tidak mau hilang, panasnya juga belum turun. Pagi ini juga aku tidak masuk bekerja, aku menyayangkan karena seminggu lagi aku gajian.

"Huftt ... masih sakit saja aku masih mikir uang melulu, sekali-kali mikir kapan dapet pacar gitu," monilogku  mengeluh.

Aku masih malas untuk beranjak dari kasurku, walaupun itu sekadar untuk mencuci muka dan gosok gigi.

Saat aku masih dengan duniaku, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan pintu dari luar.

Tok, tok!

"Masuk Bu, pintunya tidak Rani kunci," teriakku dengan nada lemah.

Ceklek!

Pintu terbuka Ibu masuk dengan membawakan sarapan, serta teh hangatku.

"Gimana keadaan kamu, Nak. Apa masih panas?"  tanya Ibu sambil menyentuh keningku dengan lembut.

" Sudah tidak pa-- ....?" jawabku, terpotong karena mendengar Ibu berteriak.

"Ya Allah nak, panas banget badan kamu. Ayo kita ke rumah sakit sekarang!" ajak Ibu dengan rasa khawatirnya.

"Rani tidak apa-apa, Bu. Cukup minum obat di rumah pasti sembuh kok, Ibu jangan khawatir, ya," jawabku menenangkan.

"Kamu ini, Nak, dibilangin bandel. Kalau ada apa-apa sama kamu, Ibu juga yang susah," keluh Ibu mulai mengomel, karena beliau sangat mengkhawatirkan aku.

"Cepat makan sarapannya, ya. Ibu mau pergi ke apotik dulu, beli obat penurun panas. Dari dulu kamu tuh paling susah di ajak ke rumah sakit, pas sakit begini," lanjut Ibu.

"Hehehe... Ibu 'kan sudah tau kalau Rani takut kerumah sakit, nanti kalau ketemu Dokter dan Rani di suntik, Rani tidak mau ... takutt" keluhku biar Ibu tidak cerewet lagi.

"Ibu ... jangan marahin Rani, ya. Rani lagi sakit lho, kalau Ibu marah terus Rani tambah pusing gimana?" lanjutku merengek.

"Ya sudah, kamu makan dulu atau Ibu suapin gimana," jawab Ibuku lembut, membuatku seketika tersenyum.

"Rani tidak mau, mulut Rani pahit?" tolakku sembari merapatkan selimut di tubuhku.

"Tidak boleh begitu, makan sedikit biar tidak kosong perut kamu, Nak. Nanti kalau kamu tambah sakit, tentu Ibu akan sedih. Karena Ibu cuma punya kamu, sayang?" ucap beliau dengan mata yang berkaca-kaca.

Aku yang melihat itu, seketika luluh dan tidak tega. Sebab Ibu adalah sumber kebahagiaan ku, bila beliau sedih maka aku juga sedih.

"Baiklah, Rani akan makan tapi sedikit saja, ya," tawarku sama Ibu.

"Iya sayang, biar sedikit tidak apa-apa. Yang terpenting perut kamu ada isinya, setelah ini Ibu mau ke Apotek dulu beliin obat, dan kamu harus istirahat," ucap Ibu setelah itu beliau bergegas keluar.

Aku mulai bangun lalu mengambil nasi goreng, yang berada di meja samping tempat tidurku. Lalu mulai.menyuapkan ke dalam mulut, hanya sedikit, takut muntah. Namun, aku ingat wajah saat sedih Ibu. Akhirnya aku memakan nasi goreng itu hingga separuh.

Selesai sarapan dan minum teh, aku bergegas ke kamar mandi. Mencuci muka dan gosok gigi, setelah semua urusan di kamar mandi, aku kembali ke kamar lalu tidur kembali.

Untuk pertama kalinya, Rani lupa menghubungi manager atau pun sahabatnya kalau hari ini ia tidak bisa masuk bekerja.

Ia juga tidak tahu kalau di restoran ada yang menunggunya, bahkan mungkin sangat mengkhawatirkannya.

MAFIA FALL IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang