08. Kehebohan

104 29 8
                                    

Masih pagi sekali cewek dengan bando merah di kepalanya sudah berbuat keributan. Kali ini kelas XII IPA 1 yang menjadi sasarannya untuk mengamuk. Ia mendorong meja yang berada di barisan paling depan sehingga menimbulkan suara keras.

Siswa yang sudah datang melihat live kejadian itu. Beberapa memilih menjauh karena takut terseret dalam amukan Zidni. Kejadian seperti ini memang bukan yang pertama kalinya bagi Zidni. Cewek itu bahkan pernah mencoret-coret whiteboard lalu merusak spidol dan membuangnya ke tempat sampah.

"Angin topan dari mana ini?" sahut Izar baru saja datang bersamaan dengan Vega, Rigel, Nilam dan tentu saja Gavan.

Semua mata tertuju pada Zidni yang berada di dalam kelas. Berdiri dengan wajah menantang sambil bersedekap dada melihat kepada mereka yang berada di depan pintu kelas. Lebih tepatnya pada Gavan yang menjadi alasan kekacauan ini bisa terjadi.

"Gavan!" Zidni berteriak, ia lalu mendekat pada Gavan yang menatapnya tanpa ekspresi.

"Ini semua perbuatan lo?" tanya Gavan sambil mengedarkan pandangan pada ruang kelas yang sudah berantakan.

"Iya." Zidni tersenyum bangga. "Gue mau ngasih bukti buat ucapan gue kemarin. Gimana? Gue keren, kan?"

Vega menggeleng takjub dengan perbuatan Zidni yang sungguh tidak manusiawi untuk seukuran cewek sepertinya. "Keren lo keren!"

Rigel menjitak dahi Vega. "Keren bapak lo!"

"Bapak gue emang keren," balas Vega.

"Jangan buat keributan lo. Mau gue panggilin kepsek?" Rigel menatap kesal pada Zidni yang terlihat tidak merasa bersalah.

"Gue engga takut sama gertakan lo," ujar Zidni berani karena tahu Rigel hanya ingin mengancamnya.

Tanpa aba-aba Gavan sudah menarik Zidni meninggalkan kerumunan. Zidni diam anteng mengikuti langkah Gavan. Anak itu terlihat menjadi lebih penurut ketika bersama Gavan.

"Mau ngapain?" kerutan dahi Zidni mendalam, kepalanya mendongak melihat papan kecil yang tergantung didekat pintu.

'Ruang BK'

"Mau minta hukuman," jawab Gavan enteng.

Zidni refleks melepaskan tangannya pada Gavan. Lalu memukul pelan lengan cowok itu sambil berujar protes. "Gavan kok gitu sih?"

"Kenapa?"

Zidni cemberut, ia menarik tali tas sambil menatap Gavan dengan mata membulat. "Jangan ya jangan."

Gelengan kepala dari Gavan membuat Zidni semakin dongkol. Dia tampak tidak peduli dengan nasib Zidni jika mereka benar-benar masuk ke dalam ruangan ini.

"Mau kemana?" Gavan mencekal pergelangan Zidni saat cewek itu tampak ingin melarikan diri.

"Ke toilet. Pengin pipis," ujar Zidni dengan wajah yang tidak meyakinkan membuat Gavan menyipitkan matanya, mencurigai Zidni.

"Bohong?" tebak Gavan. Zidni meringis pelan, memang sejak kapan dia pintar dalam urusan berbohong?

"Takut ah, ngga mau masuk." Bahu Zidni melesuh.

"Bukannya udah biasa?" jujur, ucapan Gavan sedikit menyinggung perasaanya.
"Ya iya sih, tapi--"

"Harus terima risikonya," sungguh Gavan sangat keras kepala.

Zidni kembali menggeleng. "Tapi engga mau," Zidni sedang tidak ingin dihukum. Ia sedang tidak ingin menghindari pelajaran hari ini. "Kenapa dibesar-besarin? Nanti diberesin kok kelasnya."

Gavan tampak tidak suka dengan ucapan Zidni. "Jangan suka ngeremehin hal kecil."

"Ini juga salah siapa coba?" kata Zidni. "Kan kemarin udah dibilang kalau lo engga jemput itu tandanya lo setuju kelas gue buat berantakan."

OCCASION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang