15. Rencana

78 20 1
                                    

Budayakan vote sebelum baca! Jangan lupa juga komen yaaa!
Happy reading 💅

***

"Luka tusuk lo udah mendingan, Van?" tanya Rigel yang bersandar pada sofa.

Gavan yang sedang sibuk dengan ponselnya menaruh minat pada Rigel. "Lumayan."

"Masih sering ngerasa sakit?" pertanyaan itu berasal dari Izar yang duduk tepat disamping Rigel.

Dua orang itu memang sering berselisih paham. Mempermasalah hal yang tidak penting. Namun tidak bisa dibohongi kalau mereka sebenarnya sangat dekat.
Mereka seperti terikat satu sama lain. Semua orang bisa melihatnya. Seperti sekarang ini, Izar menjadikan Rigel sandarannya. Rigel terlihat tidak merasa terusik dengan itu. Rigel sudah seperti kakak yang sangat menyayangi adiknya, Izar.

Gavan mengangguk. Memang benar, luka diperutnya sudah mulai membaik. Namun sering kali saat dia melakukan kegiatan berat lukanya akan terasa sakit lagi. Bahkan sempat beberapa kali kembali mengeluarkan darah. Namun Gavan tidak mempersalahkan itu. Gavan bukan anak kecil yang sedikit-sedikit mengeluh. Walau tidak bisa dibohongi, rasanya sungguh menyakitkan. Seperti seluruh sarafnya mati rasa.

"Jadi gimana rencana lo kedepannya, Van?"

Gavan memijat pelipisnya. Beberapa hari belakangan Gavan tidak bisa tidur pulas. Hatinya selalu was-was, tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang mengganggu alam bawah sadarnya. Kepalanya seperti penuh memikirkan beberapa hal yang membuatnya merasa kelelahan sendiri. Gavan merasa dirinya seperti tidak diberi ruang untuk hanya sekedar bernapas lega.

Ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, selalu ia rasakan setiap saat. Gavan merasakan itu secara berlebihan. Membuatnya menjadi sulit untuk mengontrol emosinya sendiri.

"Gue gak tau. Banyak banget yang harus gue lakuin sekarang. Tapi gue bingung harus mulai dari mana," ucap Gavan.

"Lo jangan sampai salah langkah," ujar Nilam yang sedari tadi diam fokus mendengarkan perbincangan temannya. Cowok itu memang selalu tepat sasaran jika berbicara.

"Itu yang gue takutin. Gue salah langkah. Banyak yang perlu gue lindungi. Gue gak bisa milih. Mereka orang-orang penting dihidup gue." Gavan berujar dengan suara pelan.

Keempat temannya menatap iba. Sungguh, mereka tahu semua masalah Gavan karena pria itu tidak segan untuk menceritakannya pada mereka. Tidak ada yang ditutup-tutupi diantara mereka. Membuat masing-masing dari mereka tahu betul kesulitan satu sama lain.

Vega yang duduk tidak jauh dari Gavan, menepuk bahu pria itu memberi kekuatan. "Lo tau, kita semua disini selalu ada buat lo. Kita selalu dukung apapun keputusan lo. Kita semua bisa ikut susah bareng lo. Jangan pernah khawatir lo bakal ngelewatin masa sulit ini sendirian. Gue, Nilam, Rigel, Izar bakalan berdiri dibelakang lo. Kalo lo kesusahan, kita bakalan maju buat nolongin lo. Jadi, ayo kita cari jalan keluarnya bareng-bareng."

"Gue jadi terharu denger omongan lo, Vega." Izar berlagak menghapus air mata bohongannya menggunakan kerah kaus yang ia kenakan.

"Kenapa gitu?" tanya Vega melirik Izar.

"Tumben banget omongan lo waras. Gak sedeng kayak biasanya," ucap Izar dengan seenaknya membuat gelak tawa terdengar memenuhi ruangan.

Vega yang sedari awal sudah curiga dengan Izar tidak ragu melempar sepatu mahalnya pada Izar. "Sialan!"

Tingkah Izar memang tidak pernah ditebak. Cowok itu bisa berubah menjadi serius, bisa juga nyeleneh seperti yang baru saja terjadi. Tapi untungnya Izar selalu bisa menempatkan dirinya pada situasi. Namun tetap saja, Izar yang paling menyebalkan diantara kelimanya.

OCCASION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang