Kebulan asap mulai memenuhi ruangan saat mereka mulai memantik ujung benda bernikotin itu. Hawa pada ruangan terasa berbeda saat mereka memilih singgah disana sampai menunggu tauran didepan sekolah Mentari selesai.
Gavan menselonjorkan kakinya dengan dua tangan bersilang didepan dada dan matanya mulai terpejam. Selepas bel pulang sekolah mereka langsung memilih untuk kumpul diruang bekas OSIS yang sekarang sudah menjadi gudang. Tempatnya ada dipaling ujung sekolah. Jarang ada murid atau guru yang lewat. Membuat mereka merasa tenang karena tidak perlu cemas akan ketahuan merokok.
"Siapa yang mulai duluan sebenernya? Gak mungkin kan anak Mentari?" tanya Rigel sambil melempar puntung pada tempat sampah yang berada tidak jauh darinya.
"Anak Laskar pasti. Mana mungkin anak Mentari mancing-mancing duluan." Jawab Nilam yang bersandar pada sofa lusuh yang sudah mulai sobek pada bagian sampingnya.
"Lagian kalau bukan karena mereka tau Gavan gak akan ikutan, mereka gak akan berani dateng ke Mentari. Baru lihat muka Gavan aja pasti nyali mereka langsung ciut," ucap Vega.
"Gue jadi inget dulu Bima pernah nantangin anak Mentari. Dateng langsung ke sekolah buat cari ribut. Berasa paling jago. Baru aja Gavan keluar, belum ada ngomong apa-apa, dia udah langsung puter balik." Izar tertawa membayangkan kembali kejadian itu.
"Gue gak bisa ngebayangin semalu apa dia setelah kejadian itu. Badan aja gede, tapi sama Gavan gak berani. Cemen!" seru Vega bersemangat.
"Emang lo berani?" sahut Nilam melirik Vega sekilas. Yang dilirik hanya menyengir kuda lalu menggeleng. "Enggak lah! Gila aja lo!"
Yang jadi pembicaraan hanya diam mendengarkan. Matanya masih setia terpejam. Gavan sama sekali tidak merasa terusik dengan suara kawan-kawannya yang terbilang sangat gaduh.
"Gimana kalo anak Mentari tumbang semua, Van? Lo yakin gak mau nolongin?" tanya Rigel pada Gavan.
Gavan membuka matanya. Ia lantas duduk dengan tegap. Melihat pada temannya. "Nggak. Kalo cuma anak-anak Laskar pasti mereka masih bisa ngehandle."
"Lagian, emang lo mau Gel bokap nyokap dipanggil lagi sama kepala sekolah karena ketauan tauran? Gue sih ogah!" ujar Izar.
"Gue tau, lo anak Mami." Kata Rigel dengan santai membuat Izar melemparnya dengan buku yang sudah berdebu.
"Udah dua puluh menit. Cabut." Gavan bangkit diikuti Izar, Rigel, Vega dan Nilam dibelakangnya.
Mereka berdiri dihalaman sekolah. Didepan sana, lebih tepatnya diluar gerbang sekolah SMA Mentari sedang terjadi tauran. Mereka diam memperhatikan. Tidak ada niat membantu atau pun ikut dalam tauran tersebut. Persis seperti yang tadi Gavan katakan.
"Mereka belum selesai ternyata," ucap Rigel menatap lurus.
"Sebentar lagi," balas Gavan. Retinanya menangkap sosok empat cewek yang sedang membelakanginya. Berdiri lebih dekat dengan gerbang. Entah apa yang sedang mereka lakukan disana. Namun dari yang Gavan lihat, mereka terlihat sedang ketakutan.
"Lo yakin disana gak ada Gavan?" tanya Zidni khawatir. Dia langsung mengajak Aina, Berlin dan Citra untuk melihat setelah bel pulang sekolah berbunyi.
"Kayaknya sih," jawab Aina ragu. "Gue gak lihat Gavan atau temen-temennya. Emang kalian lihat?"
Mereka menggeleng bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
OCCASION
Teen Fiction[JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] Bagi Zidni, Gavan itu sebuah teka-teki yang penuh dengan misteri. Rubik membingungkan yang tidak punya titik temu untuk diselesaikan. Seperti menyatukan kepingan puzzle yang runyam. Sedangkan bagi Gavan, Zidni i...