10. 3.00 a.m.

94 25 13
                                    

"Mau sampe kapan nangis terus?" sela Gavan duduk disamping Zidni sambil memperhatikan cewek itu dengan serius. "Mau gue tinggal?"

Zidni menoleh dan menggeleng. "Engga mau," ujarnya pelan. Wajahnya memelas menatap Gavan membuat cowok itu menghela napas.

"Udah dong," ucap Gavan lembut. Ia merapikan rambut Zidni yang tampak berantakan. "Cape kalo nangis terus."

Zidni menangkup kedua pipinya. Matanya terlihat merah dan sembab. Dibalik sosok Zidni yang dipandang orang lain sebagai cewek urakan, galak, tomboy tersimpan sosok lemah yang penakut. Memori kelam dimasa lalu selalu muncul kembali saat Jeremy kembali berniat jahat padanya. Cowok itu memang tidak pernah menyerah untuk memaksa Zidni agar bisa kembali menjadi pacarnya. Entah atas motif apa Zidni pun tidah tahu.

"Gavan, mau pulang," ucap Zidni mengajak Gavan. Keduanya lantas meninggalkan taman setelah dua puluh menit lebih hanya duduk dibangku menunggu Zidni selesai menangis dan menenangkan diri.

Namun sebelum tancap gas bahu Gavan sudah lebih dulu ditepuk kencang.
"Beli es krim dulu yuk. Tuh disana," ucap Zidni.

Gavan mengikuti kemauan cewek itu. Tanpa keduanya turun dari motor Gavan memesan dua cup es krim rasa coklat dan vanilla.

"Ini Mas es krimnya," ujar bapak penjual es krim pada Gavan yang disambut suka cita oleh Zidni yang sudah menyengir lebar dibelakang Gavan.

Gavan membuka helm lalu menoleh ke belakang untuk memastikan Zidni menghabiskan es krim ditangannya. Tanpa perlu butuh waktu lama kini dua tangan Zidni sudah kosong.

"Udah habis." Zidni menyengir. Zidni lalu menarik bahu Gavan agar lebih mundur ke belakang. Cewek itu merapikan rambut atas Gavan lalu menguncirnya menggunakan tali rambut miliknya.

"Rambut lo udah mulai gondrong. Daripada jadi sasaran Pak Dadang mending lo potong. Sementara belum dipotong jadi dikuncir dulu. Coba liat ke spion." Gavan menurut. Memang benar, rambutnya sudah mulai panjang.

"Sekarang kadar kegantengan lo tambah tiga kali lipat jadi jangan larang gue buat suka sama lo," puji Zidni terang-terangan. Cewek ini memang sulit menutupi perasaanya.

"Cuma lo cewek yang berani ngomong suka di depan cowok langsung. Lo gak malu?" Gavan menyindir.

"Enggak, kenapa mesti malu? Setiap orang berhak buat bilang tentang perasaannya, termasuk gue. Kalo gue punya keberanian buat bilang, kenapa engga?" ucap Zidni penuh percaya diri membuat Gavan menggeleng takjub.

"Gue mau nanya deh. Setelah diinget-inget, kenapa temen lo sering banget bilang kalau gue ini cewek lo? Dan lo pun beberapa kali mengakui kalau kita seakan-akan emang ada something?" tanya Zidni serius.

Ia memang sudah sangat penasaran dan ingin menanyakannya hal ini pada Gavan sejak lama namun ia belum menemukan timing yang pas, jadi baru sekarang ini lah pertanyaan itu ia sampaikan.

"Lo keberatan?" tanya Gavan balik.

"Bukan gitu, gue cuma ngerasa aneh aja. Secara kita baru aja temenan. Gue belum ada sebulan kenal sama lo. Tapi kenapa temen lo ngiranya kita sedeket itu? Atau lo pernah kenal gue jauh sebelum ini?" Zidni semakin menyelidik. Pertanyaan-pertanyaan berputar dikepala menambah rasa penasarannya.

"Makin sore, gue harus cepet anter lo pulang." Gavan menggunakan helm lalu menghidupkan mesin dan motor mulai melaju membelah jalanan. Zidni cemberut dibelakang Gavan. Gavan sangat menyebalkan jika sudah begini.

***

3.00 a.m

"Halo?..."

OCCASION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang