11. Menghilang-- pulang

105 25 5
                                    

Sudah seminggu ini Zidni dibuat panik. Pasalnya semenjak terakhir kali Gavan menemuinya hari itu sampai sekarang Zidni belum bertemu dengannya lagi. Sudah puluhan kali Zidni datang ke kelas Gavan namun puluhan kali itu juga Zidni tidak menemukan sosok Gavan. Bukan hanya Gavan yang menghilang tapi teman-temannya juga.

Zidni sampai pusing sendiri harus bertanya pada siapa kalau semua orang yang dekat dengan Gavan ikut menghilang juga. Tidak ada orang lain yang dekat dengan Gavan melebihi teman-temannya. Berkali-kali Zidni menghubungi Gavan namun ponselnya tidak aktif. Bahkan Zidni sampai berani bertanya pada wali kelas mereka namun percuma, Zidni tidak menemukan jawaban apa-apa. Seolah semua orang sudah merahasiakan persoalan ini dari Zidni.

Selama Gavan menghilang yang ia lakukan hanya uring-uringan dikelas. Saat jam istirahat ia bahkan tidak mau pergi ke kantin dan memilih menahan lapar. Saat jam kosong ia tidak keluar kelas seperti yang biasa Zidni lakukan. Zidni sudah seperti patung bernyawa. Tentu saja itu membuat Aina, Berlin dan Citra ikut bingung dan khawatir.

Seperti saat ini, Zidni sedang menatap ke arah depan dengan tatapan kosong. Menangkup dagunya dengan tangan yang berada diatas meja. Zidni bahkan sampai lupa berkedip saking asiknya melamun.

"Woy!" seru Citra muncul dibalik pintu berniat mengagetkan Zidni tapi cewek itu malah tidak merasa terganggu sama sekali.

Citra duduk dihadapan Zidni dengan Aina dan Berlin yang duduk disamping kanan dan kiri Zidni. Mereka merasa iba melihat Zidni seperti ini. Celotehan tidak penting yang biasa mereka dengar dari Zidni kini tidak ada lagi. Bahkan mereka jarang sekali bercanda semenjak Zidni banyak diam.

"Zi, udah dong. Lo engga bisa terus menerus kayak gini. Seminggu ini lo murung terus. Lo gak cape diem terus begini?" ucap Berlin merasa kasihan.

Aina mengelus bahu Zidni dengan lembut. Zidni sudah seperti kakak baginya. Melihat Zidni yang tiba-tiba saja berubah seperti ini tentu membuat Aina merasa sedih.

"Gavan pasti sekarang baik-baik aja. Mungkin dia ada urusan penting yang gak bisa ditinggalin yang ngebuatnya gak bisa masuk sekolah dulu. Lo harus positive thingking."

Zidni menoleh pada Aina, matanya berkaca-kaca. Sorot matanya berpancarkan kesedihan. "Urusan penting apa sampai dia lupa punya kewajiban disekolah ini?"

"Sebelumnya gue udah bilang firasat gue gak baik tentang dia. Tapi dia selalu bilang dia bakalan baik-baik aja. Terakhir gue ketemu dia pas dia nyamperin gue didepan kelas. Pulang sekolah gue samperin kelasnya tapi kata yang lain dia cabut pas istirahat dan temennya satu persatu nyusul. Kalau aja dia ngabarin gue, gue gak mungkin sepanik ini," lanjut Zidni. Cewek itu menghela panas panjang.

Aina mengelus punggung Zidni. Tentunya saja mereka mengerti perasaan Zidni. Tapi mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa karena yang menghilang ini seorang Gavan bukan siswa biasa yang mudah dicari informasinya.

"Tapi dengan lo kayak gini sama aja lo nyiksa diri lo sendiri. Lo boleh khawatir sama dia tapi lo jangan lupa khawatirin diri lo sendiri juga. Lo sekarang sering banget ngelamun, selalu telat makan, bahkan keliatan gak fokus. Lo begini juga gak mungkin ngebuat Gavan tiba-tiba muncul di depan lo, kan?" ucapan Citra memang benar. Zidni mengangguk menatap Citra.

"Jadi jangan siksa diri lo karena masalah ini. Percaya sama gue, Gavan pasti balik lagi. Sekarang ayo kita pulang, lo butuh istirahat. Gue anter lo balik." Citra bangkit begitu juga Aina dan Berlin.

Zidni menatap ketiga temannya satu persatu. "Makasih karena kalian selalu ada buat gue."

"Itu gunanya sahabat, Zi."

Dimasa-masa terberat seseorang tidak ada yang lebih penting selain sahabat yang selalu ada menemani. Memberikan dekapan yang sangat erat sehingga lupa dengan hal buruk yang dihadapi.

OCCASION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang