12. Rumah Sakit

99 27 4
                                    

Flashback on.

"Gel, gue punya tebak-tebakan." Izar berseru dengan semangat. Ia bahkan sempat berdiri saking semangatnya.

Rigel memutar bola matanya melihat Izar yang berusaha mengganggu ketenangannya yang sedang memainkan ponsel. Ia bersandar pada sofa menatap Izar tidak minat. "Apaan?"

"Rigel Rigel apa yang jelek?" suara Izar bahkan sampai mengundang perhatian yang lain. Vega yang awalnya sibuk dengan game di ponselnya mengerutkan kening mendengar pertanyaan dari Izar.

"Gak ada," balas Rigel dengan suaranya yang lempeng.

Izar mendengus tidak suka. "Jangan ngasal jawabnya."

Rigel hanya diam saja. Itu mengartikan bahwa dia tidak tahu jawabannya. Senyum Izar mengembang. "Jawabannya, Rigel jelek!" Izar berujar heboh.

"Gak jelas anjir." Vega melempar bantal sofa yang sedang ia pegang sehingga berhasil mengenai Izar. "Nanya sendiri, jawab sendiri, heboh sendiri."

"Gue udah duga jawabannya pasti gak masuk akal," ucap Rigel.

Izar menatap Vega kesal. Vega ini selalu mengganggu kesenangannya. "Serah gue dong. Iri bilang bos!"

Di pojokkan ada Gavan dan Nilam yang hanya diam sambil memperhatikan. Mereka sudah biasa mendengar pertengkaran tidak penting antara Izar, Rigel dan Vega. Setiap berkumpul pasti ada saja yang diributkan. Baik Gavan maupun Nilam menganggap itu sebagai hiburan.

"Lo kalo gak bisa bikin tebak-tebakan mending gak usah. Ngaco banget," ucap Vega emosi. Semua yang bersangkutan dengan ketidak jelasan Izar selalu berhasil menaikan emosinya. Pasalnya Izar itu sangat menyebalkan dimatanya.

"Ampun bang jago. Sorry bang jago." Kedua tangannya berada didepan dada dengan pinggul yang bergoyang meniru gerakan yang sekarang sedang hits dimana-mana.

Percayalah, wajah Izar sungguh tidak terkontrol sekarang. Membuat mereka yang ada disana tidak bisa menahan tawa.

"Muka lo Zar, minta ditonjok banget." seru Vega sambil tertawa ngakak. Ia bahkan kembali melempar bantal pada Izar dan mengenai tepat diwajahnya. Membuat cowok itu terhuyung kebelakang dan terduduk disofa dengan sangat tidak estetik. Bukannya menolong Izar, mereka malah semakin tertawa. Sungguh terlalu.

"Muka ganteng gue." Izar meringis meraba wajahnya. Ia mengambil ponsel dan bercermin disana. "Huh, untung masih ganteng."

"Muka lo gak ada apa-apanya kalo disandingin sama Gavan," seru Vega.

Izar menurunkan ponselnya lalu menaruhnya diatas meja. Menatap tajam pada Vega yang sedang cengengesan melihat kearahnya. "Ya lo jangan bandingin sama Gavan. Gue kalo sama Gavan cuma merahan rengginang."

"Itu nyadar," celetuk Rigel.

Izar melirik sinis Rigel. "Ngaca lo ngaca."

"Gue udah sering ngaca. Muka gue ganteng, gue tau."

"Idih, pede gila!" ketus Izar. Ia berjalan menghampiri Gavan dan Nilam dan duduk ditengah keduanya. "Mending gue disini adem ayem. Disana banyak setan jadi hareudang."

Bukannya merasa tersindir, Rigel malah menyeletuk. "Gimana liriknya Veg?"

Vega dengan sigap bangkit lalu mempraktekan gerakan sambil bernyanyi kencang. "Hareudang hareudang hareudang, panas panas panas." Memancing gelak tawa kembali terdengar.

Hingga suara Nilam terdengar dan mengintrupsi mereka.

"Gimana sama Zidni?"

Walau pun jadi yang paling diam diantara kelimanya tapi sebenarnya Nilam lah yang paling mengerti. Ia tidak banyak bicara namun selalu memperhatikan. Membuatnya lebih peka dengan yang sedang terjadi.

OCCASION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang