13. Rubik

103 25 10
                                    

Happy reading🔮

***


Derap kaki terdengar menggema pada gedung tua yang berada dipinggiran kota. Gedung ini sudah lima tahun tidak beroprasi lagi. Hanya ada dua kata yang dapat mendeskripsikan bangunan itu; kotor dan menyeramkan.

Bukan lantai yang mereka pijak melainkan sisaan semen yang penuh dengan tanah dan pasir. Mereka menaiki gundakan tangga yang tidak memiliki pegangan disisinya. Membawa pada lantai dua yang hanya memiliki satu ruangan.

Lampu remang menemani setiap langkah mereka berlima. Dua orang yang berdiri didepan pintu menunduk patuh saat mereka masuk kedalam ruangan itu. Satu kata; pengap. Tidak ada jendela atau ventilasi udara. Membuat hawa panas menguar yang dirasakan oleh masing-masing orang yang berada disana.

Tidak ada barang lain selain dua sofa panjang dan satu meja yang lumayan besar berada ditengah-tengah ruangan. Seperti yang dilakukan dua orang penjaga, tiga orang yang sedang duduk di sofa lantas bangun dan membungkukkan badannya menyadari mereka yang baru saja datang.

"Sudah dapat informasinya?" suara terdengar dari seseorang yang memimpin mereka.

Hanya baru satu kalimat terlontar namun sudah membuat atmosfer diruangan itu berubah drastis. Tekanan udara seperti menipis menekan dada mereka membuat sesak.

Laki-laki berjas berwarna hitam mengangguk. "Sudah, Tuan. Ini fotonya." Ia mengeluarkan selembar foto dari balik jasnya. "Dia sudah sampai di Indonesia dua jam yang lalu."

"Awasi dia, Cakra." Kata seseorang itu tegas.

Matanya menyorot tajam pada lembaran yang sedang ia pegang. Foto itu menampilkan seorang laki-laki sedang memegang koper dengan mengenakan setelan mahal dan kacamata hitam yang menutupi matanya.

"Baik, Tuan." Cakra menunduk patuh.
"Sebenarnya ada satu informasi lagi yang saya ingin sampaikan pada Tuan."

Pria ini mengangkat wajahnya.
"Apa itu?"

Tangan Cakra saling bertautan. Ia meneguk salivanya melihat tatapan tajam itu. Walau sudah sering bertemu dengan intensitas yang lumayan dan tentu saja mengenal dekat, Cakra masih merasa ketakutan saat bertemu. Auranya yang gelap membuatnya merinding saat berada dengan jarak yang dekat seperti ini.

"Katakan, Cakra." Ujarnya dengan penuh penekanan membuat Cakra semakin tidak tenang ditempatnya.

"It--Itu Tuan," gugup Cakra.

"Katakan yang benar!" kata pria itu menggeram.

Cakra mengangguk takut.
"Dari informasi yang saya dapat, dia akan bersekolah ditempat Tuan bersekolah sekarang."

"Sialan!" umpatnya. Kedua tangannya mengepal kuat diatas paha. Sorot matanya semakin menajam. Informasi yang baru saja ia dengar ini sungguh berhasil membuatnya naik pitam.

"Bagaimana pun caranya gagalkan dia untuk masuk ke sekolah Mentari. Kalau sampai dia berhasil lolos," ia melirik, menghunus Cakra dengan tatapan matanya. "Kamu yang akan saya hukum."

Cakra mengangguk ragu.

"Satu lagi, jangan sampai nyokap tau soal ini." Katanya memerintah.

Semua yang lelaki itu ucapkan bagaikan alarm berbahaya bagi Cakra. Karena jika sampai misinya gagal Cakra lah yang akan jadi sasarannya. 

"B-baik, Tuan. Perintah Anda akan saya laksanakan." Cakra berujar cepat.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Tuan Orion."

***

OCCASION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang