Chapter 25: Sebuah pernyataan

317 64 3
                                    


DARI pesan yang dikirim Genya, katanya pemuda itu akan tiba kurang dari 5 menit.

Hannah menurut. Ia tidak protes dan meminta lebih lagi. Gadis itu menatap layar ponselnya smebari duduk di sebuah ayunan. Tak lama kemudian, suara motor yang terparkir di depan tangan pun terdengar. 

Hannah masih fokus pada ponselnya, hingga sebuah tangan pun kembali mendarat hangat di atas pucuk kepalanya.

"Udah nunggu lama?"

Hannah menoleh. Mendapati Genya, Hannah pun tersenyum tipis dan menggeleng. "Baru sampe juga, kok."

Genya ikut tersenyum tipis, lalu mengangguk. Pemuda itu pun berjongkok di depan Hannah. Dua tangannya ia genggam sendiri di depan lutut. 

"So, ada cerita apa?"

Hannah tersenyum tipis. "Kalo gue putus, gimana?"

Genya terdiam seketika, dua alisnya terangkat kaget.

"Ya bagus," jawabnya spontan sebelum segera meralat. "Maksudnya, dari pada lo bareng sama dia, malah lo sakit sendiri, kan?"

Hannah tersenyum tipis, tatapannya sendu. Dan Genya tahu jelas hal itu. Tapi Genya tidak bisa berbohong, ia justru lega dengan ucapan Hannah.

Gadis itu mengangguk, terus mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. Air mata yang sedari tadi ditahannya pun akhirnya kembali jatuh. 

"Gue... gue nggak tau. Gue nggak tau mana yang nyakitin, pisah atau ngelanjutin perjalanan yang udah kehilangan arah." 

Hannah menggigit bibir bawahnya. Ia menarik nafas panjang, berusaha kuat untuk membendung air mata yang semakin mendesak keluar.

"Gue nggak tau mana yang lebih menyedihkan. Sendiri, atau bareng sama dia yang nggak pernah bener-bener disini."

Hannah terisak. Dengan cepat, gadis itu menghapus air matanya sendiri.

"Cerita gue sama Inosuke udah semakin kehilangan nyawa, Gen. Gue kayak lagi mempertahanin seseorang yang lagi berusaha keras buat selalu pergi."

Hannah merasa sebuah hangat mencangkup pipinya, lalu menghapus air matanya perlahan dengan ibu jari. Ia menatap Genya, menatap setiap raut khawatir yang ada. Seolah pedih Hannah juga berarti pedih bagi pemuda itu.

"Then let him go." ucap Genya lembut.

Air mata Hannah kembali jatuh. "But I still love him."

Genya menghela nafas lelah. Pemuda itu pun bangkit dan membiarkan Hannah masuk dalam dekapannya. Di tengah dinginnya malam dan dinginnya sikap Inosuke, Genya adalah perapian yang menghangatkan gadis bersurai pirang itu.

"Then be happy," ucap Genya lagi. "Itu jalan yang lo pilih."

"Yes, and now I'm done with the way I choose."

Genya menghela nafasnya panjang, lalu melepas dekapannya. Ia tahu Hannah sedang pusing, ia takut jalan yang ia pilih kedepannya justru menambah persakitannya sendiri. Tapi gadis itu tidak pernah paham, sekali pun Hannah memilih jalan persakitan yang salah, Genya tetap akan ada di sisinya.

"Han, lepasin dia kalo emang dia bikin lo sakit. Gue nggak suka liat lo sedih." Genya menghela nafasnya panjang. "Lo tau kenapa?"

"Kenapa?" Hannah mendongak.






"Karena gue suka sama lo. Udah lama, lama banget."











Hannah pun terdiam seketika.

Genya kembali melanjutkan. "Gue lebih suka saat lo senyum. Gue lebih suka saat lo bahagia. Karena gue suka sama lo, gue sayang sama lo. Gue ingin selalu ngelindungi senyuman lo."

Hannah benar-benar kehilangan kata-katanya. Jantungnya berdebar cepat, namun Hannah tidak paham apa maksudnya. Ia hanya membiarkan debarannya semakin membara setiap kali ia menatap dalam pada kedua iris Genya.

Dan dalam detik kesekian pun, Hannah bersuara.

"Gen, gue—"

"Gue tau." potong Genya cepat. "Gue tau hati lo masih ada di Inosuke sepenuhnya. Gue udah mikirin ini berjauh-jauh hari sebelum gue ngomong ke elo. Dan gue disini bukan untuk minta jawaban. Gue di sini sekedar memberi tahu, kalo kapan pun lo capek sama semua ini, pundak gue selalu ada."

Hannah mematung. 

Dan dengan itu, Genya hanya tersenyum tipis.

"Gue tau. Gue nggak pernah bisa singgah di hati lo. Dari awal, gue cukup sadar diri. Tapi setidaknya, gue pengen jadi seseorang yang bisa lo andalkan."

"Genya, you hurt  me." ucap Hannah akhirnya. "Lo tau gue nggak akan memberikan jawaban yang lo inginkan, tapi—"

"I know." potong Genya cepat. "And it's okay." tambah pemuda itu. "Selama lo masih bisa senyum, everythings okay."

Hannah menggigit bibirnya. 

Rasanya tidak nyaman saat menolak seseorang yang dekat dengan kina. Pasalnya, Hannah tidak mengira setiap kebaikan Genya selama ini berdasarkan atas sebuah rasa yang jelas, Hannah tidak bisa membalasnya.

Tatapan teduh Genya yang sedari tadi pun teralihkan oleh sesuatu. Pemuda itu menoleh ke kiri, lalu tersentak kecil.

"Itu kan Inosuke, Han?"



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


A/n:

Semangat votenya ayo kurang 3 chap lagi>:)))

Arogan | Inosuke Hashibira✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang