"Gue pulang,"
Aoi mengangguk pelan dan membiarkan Inosuke mendekati mobilnya.
Angin malam pun menerpa kulit Aoi. Tadinya ia tidak ingin mengantar Inosuke sampai teras. Namun karena Bunda yang menyuruh, jadi Aoi tidak bisa melawan.
Saat Inosuke sudah bersiap untuk pergi, Aoi masih belum bisa melepas tatapan sendu pada Inosuke. Entah sudah berapa lama Aoi tidak melihat Inosuke sedekat ini. Biasanya, di sekolah, melihat Inosuke dari radius 5 meter saja sudah membuat Aoi kabur.
Ya, sekuat itu keinginan Aoi untuk beranjak dari semua ini.
Tapi Inosuke tidak.
"Kenapa ngeliatin gue kayak gitu?"
Aoi tak langsung menyahut. Cukup lama, Aoi menghela nafasnya lalu menggeleng. Hingga beberapa saat kemudian, Aoi akhirnya membuka mulut.
"Inosuke,"
Inosuke menurunkan kaca mobilnya. "Hm?"
"Gue serius. Kali ini jangan kesini lagi, apapun alasannya." ucap Aoi tegas. "Lo boleh nuduh gue keterlaluan banget bikin tembok pembatas gini, tapi memang seperti itu. Gue nggak mau lu deket sama keluarga gue. Karena lo tau, Bunda sayang sama lo. Bunda seneng lo dateng. Tapi lo nggak tau, kalo Bunda belum tau kalo kita udah putus."
"Then tell her." jawab Inosuke enteng.
Aoi menggeleng. "Gue nggak tau. Gue nggak tau gimana cara jelasinnya ke Bunda karena pasti Beliau bakal sedih. Lo nggak mikir sampe ke situ."
Inosuke terdiam.
Pemuda itu benar-benar kehilangan kata-kata. Saat Aoi hanya terdiam di tempat begini, Inosuke jutrsu merasa kata-kata Aoi menyerangnya lebih tajam. Hurts so good, istilahnya.
"Maaf," ucap Inosuke lirih.
Oh, Aoi tidak bisa menahan dirinya. Kini air mata yang sudah ditahannya sejak tadi pun akhirnya lolos membasahi pipi. Dengan sigap, Aoi langsung menghapusnya. Ia tidak ingin terlihat lemah akan hal ini.
"Gue sakit karena semua ini. Gue sakit karena lo peduli. Padahal, semua kepedulian lo itu semu. Cuma perwujudan rasa bersalah dari perpisahan kita."
Inosuke menggigit bibir bawahnya.
Dari tadi kakinya sudah gatal untuk turun dan menghapus air mata Aoi. Pemuda itu tidak bisa melihat gadis kuat seperti Aoi harus menangis, ia tidak rela.
"Jalan yang lo pilih itu pisah sama gue. Then don't look back. Dari awal lo pergi, lo tau gue bakal sangat terluka. Tapi lo tetep pergi, lo lebih milih adek kelas yang jadi gebetan lo dulu. Dan apa ada yang salah dari hubungan kita? Enggak. Lo tapi lo tetep pergi."
Aoi terdiam sejenak.
Ia terisak di setiap ucapannya.
Gadis itu kembali menghapus air matanya yang terus bercucuran. Inosuke sontak turun dan hendak mendekat Namun Aoi memberi isyarat bagi Inosuke untuk tetap di tempat. Aoi ingin menghapus air matanya sendiri, ia tidak butuh orang lain yang justru melukainya.
"Semakin lo peduli, semakin susah gue ngelepas lo. Jadi stop. Sudahi semuanya, cukup disini."
***
Hannah memeluk tubuhnya sendiri seiring cuaca kian dingin. Pandangannya kosong ke jalan. Angin pagi yang menerpa kulitnya membuat ia lupa waktu bahwa 15 menit lagi bel masuk berbunyi.
Semalam hujan deras, hal itu lah yang membuat pagi ini jadi dingin dan sedikit berawan. Hannah bangun kesiangan, ayah sudah berangkat. Sedangkan ia tahu betul Inosuke tidak mungkin mengantarnya.
Dan sekarang ini, bukannya segera menekan tombol pesan pada layar layanan ojol, Hannah justru melamun. Gadis itu masih mengantuk.
Tin tin!
Hannah tersentak kecil. Namun tak menoleh. Padangannya masih kosong.
"Woi! Berangkat sekolah nggak, lu!?"
Hannah menoleh seketika mendengar suara itu. Ya, Hannah mulai hapal. Bagaimana tidak, ia mendengar suara itu semalam penuh.
"Genya, kok bisa lewat sini?"
"Udah buruan naik, anjer. 15 menit lagi bel, gue belum ngerjain tugas nih."
Hannah mengangguk cepat. Tanpa seruan lagi, Hannah pun segera naik ke jok belakang Genya. Dan tak butuh lama pula, Genya segera memacu motornya ke sekolah.
Hembusan angin pun semakin membuat Hannah mengantuk. Dan Genya tahu hal itu. Pemuda itu mendapatinya dari kaca spion motornya.
"Ngantuk, Han?" tanya Genya. "Gue ngebut loh, pegangan gih."
"Hm? Iya,"
Iya.
Cuma iya.
Tapi Hannah tidak benar-benar pegangan.
Bukannya segan. Kalau soal segan, Hannah sudah tidak segan. Sejak kemarin, keduanya memang jadi lebih dekat. Jadi Hannah sudah tidak canggung. Tapi masalahnya, Hannah masih cukup mengantuk untuk melingkarkan tangannya di perut Genya.
Genya yang melihat itu pun gemas. Pemuda itu langsung menarik tangan Hannah lalu menaruhnya di perutnya.
Hannah tidak melawan lagi. Sebab setiap hembus angin yang membuatnya semakin mengantuk itu akhirnya mengantarkan kepala Hannah untuk bersandar di pundak Genya.
Genya pun tak protes.
Di tengah dinginnya pagi, mereka membelah jalan.
A/n:
APA GAK GEMAS?:( GW MULAI GEMES SAMA GENYA MASA ARGAHRAHJRAH
KAMU SEDANG MEMBACA
Arogan | Inosuke Hashibira✔️
Fiksi Penggemar──ft. Hashibira, Inosuke ❝Mungkin dia udah ngawasin kamu selama ini, mungkin yang dia suka itu kamu. Dan kamu nggak pernah sadar.❞ Kehadiran Inosuke itu plot twist terbesar di hidup Hannah. Dari tiba-tiba nembak, sampai identitas sejati dari cowok...