15. Umpteenth Time

527 79 9
                                        

⋐𝐇𝐨𝐌⋑

Jauh dari ekspektasi. Itulah yang terlintas berkali - kali di kepala Joy. Bayangan tentang konser pertama yang menyenangkan dan penuh akan memori mengharukan lepas beberapa saat meniti karir berubah total menjadi momen paling ingin Joy hindari saat ini. Berada satu ruangan dengan sosok gadis mungil rambut coklat sebahu nan Ia tetapkan sebagi tempat meletakkan dendam selama 14 tahun adalah hal terakhir yang Joy inginkan untuk terjadi atau kalau bisa, tidak perlu terjadi.

"Huft..."

Entah sudah keberapa kali Joy menghela nafas berat dengan kepala tertunduk amat dalam —malas melihat cermin karena tahu Ia hanya akan dihadapkan dengan wajah itu. Joy bahkan tidak mengerti kenapa harus ada seorang stylist saat yang mereka lakukan hanyalah sebuah rehearsal untuk pertunjukkan diatas panggung 3 hari kedepan.

Tau apa yang lebih konyol?

Joy mendadak merasa hampa sebelum akhirnya diterjang perasaan kesal kala orang familiar itu berhenti dari kegiatan menyisir surai hitamnya lantas beralih ke seorang gadis yang duduk di sisinya, Eunseo.

Oh, tidak rela? Yang benar saja, aku memang selalu ingin dia pergi dariku! , batin Joy berusaha menolak apapun yang sanubari coba bisikkan dalam dirinya.

Bisikan itu semakin liar seiring matanya menangkap pamandangan asing dimana Eunseo tertawa atas candaan dari mulut Wendy. Nurani terus berusaha mencekoki logika Joy oleh teori bahwa sebenarnya dia cemburu karena Wendy memperhatikan dan bahkan lebih akrab dengan orang lain dibanding dirinya. Apalagi situasi dimana Joy dan Irene sama - sama bekerja untuk menciptakan hal yang bisa dinikmati mata orang banyak, membuat Joy mulai sadar bila waktu nan Ia luangkan untuk sekedar mengobrol bersama Irene masih bisa dihitung jari.

Ingat tentang statement yang menjabarkan bila Joy tidak bisa menahan apa yang Ia rasakan? Yeah, bukti bertambah satu lagi dengan keluarnya Joy dari ruang tunggu sambil mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh.

Tengah panggung megah yang masih dalam tahap pengerjaan namun sudah terdapat beberapa lampu meyorot, dijadikan Joy sebagai tujuan. Hanya duduk diatas permukaan hitam berkilau nan memantulkan bentuk wajah kelelahan miliknya. Tenggelam dalam pemikirannya sendiri adalah satu dari sekian kegiatan yang cukup Joy sukai meski kadang justru memancing emosi.

Awalnya cukup hening dan tenang. Mungkin sekedar suara - suara ala kontraktor bangunan berhubung rencana bentuk panggung memang cukup rumit serta luas, tapi masih bisa Joy terima. Sampai 5 menit Joy hanya menunduk, bertatapan dengan refleksinya, mendadak Ia merasakan beban di pundak kanan yang seketika menghancurkan lamunannya.

"Are you okay?"

Chorong. Kadang Joy sisipkan 'pengganti sosok Irene' di belakang namanya karena sifat mereka nan tak memiliki perbedaan amat jauh, ditambah tahun lahir yang sama.

Mengedikkan bahu menjadi prolog sebelum sebuah kalimat ragu - ragu lolos begitu saja tanpa terpikirkan sebelumnya.

"Entahlah, Unnie. Aku merasa —geram. Atau kesal? Aku tidak tahu kata apa yang cukup tepat untuk mendeskripsikannya. Rasanya sangat ..."

Berhenti disana. Tidak berniat memberi lanjutan apapun. Mengantung begitu saja kecuali gestur tangan di udara seolah mencari - cari jawaban atas kegoyahan hati.

"Seperti ada yang meletup - letup didalam sini?"

Chorong menunjuk dadanya sendiri dengan telunjuk kanan, tak melepaskan pandangan dari gadis bimbang di sisinya.

Joy tidak membalas tatapan manager tersebut tapi Ia tau apa yang dimaksud. Berakhir mengusap wajah secara kasar, Ia mengerang pelan.

"Ugh, ini —ini sesak, Unnie. Aku tidak suka."

"Hey hey, pelan - pelan. Aku tahu kau adalah anak yang cerdas sejak awal. Yang perlu kau lakukan hanya menyelami perasaanmu secara perlahan. Tidak perlu terburu - buru mendapat jawaban. Semua akan muncul pada waktunya. Hmm?"

Hendak menjambak rambut sendiri, Joy merasakan pergelangannya ditarik lembut hingga Joy tak memiliki pilihan selain balik menatap lawan bicara.

"Baiklah. Terimaka —awh!"

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Joy tiba - tiba bergerak meringkuk. Menekuk lutut sebelum menyembunyikan wajah dibaliknya bersamaan dengan tangan menekan dua telinga. Menutup mata rapat - rapat sampai menimbulkan kerutan ketakutan.

Chorong? Tentunya resah melihat sang talent yang sudah Ia anggap sebagai adik sendiri menunjukkan gelagat kecemasan dahsyat. Setelah itu Chorong menyadari satu hal.

Beberapa pekerja jauh disana tengah menggesekkan dua batang besi, berusaha membuat sebuah penyangga.

Sial, jadi itu!

Kepanikan masih berlanjut dan tak ada ide yang terpikirkan untuk menolong sebab Joy berdiri saja tidak sanggup. Jadilah Chorong menarik gulungan tubuh dihadapan kedalam lekapan lengan. Berharap pelukan eratnya bisa cukup meredam bunyi nyaring traumatis itu.

"Tidak apa - apa. Aku disini. Kau baik - baik saja, Sooyoung–ah."

⋐𝐇𝐨𝐌⋑

Padahal chapter sebelum ini adem ayem 🙂🙃

Regards
- C

Half of Mine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang