Teriakan nyaring hingga Irene harus mengernyit atas rasa asing menggelitik telinga muncul kala salah satu kaki mungil Irene bergeser keluar dari area ranjang. Berbanding terbalik dengan Irene nan tegas akan keputusannya, Joy justru menyesalkan diri sendiri karena memperbolehkan polisi gagah berkumis masuk beberapa menit lalu dan meninggalkan keduanya dengan keadaan tak bisa dijelaskan.
Ya. Ini semua terjadi setelah seorang pria kekar berseragam coklat menyebutkan sebuah nomor yang merupakan identitas kendaraan dari korban yang Ia tabrak —yang mobil nan ia tumpangi tabrak. Dari awal melihat respon Irene mendadak terdiam menerawang ke langit - langit kamar sudah membuat perasaan Joy ikut was - was hingga di titik Joy sendiri membeku di tempat Ia berdiri bertepatan dengan Irene yang menunjukkan tanda - tanda tak jauh berbeda. Angka familiar. Tidak terasa begitu ganjil dan seakan mereka berdua pernah tidak sengaja lihat di suatu tempat. Hingga akhirnya ingatan mereka meraih satu konklusi; menggambarkan mobil putih milik orang paling mereka benci, Kang Seulgi.
Bahkan lima menit setelah polisi keluar lepas menjelaskan segala yang perlu diurus usai Irene sembuh nanti, Joy dan kakaknya itu masih bertahan pada posisi hening. Sedikit pening namun gerakan pertama yang Irene lakukan justru mengundang amarah Joy.
Ah, tidak.
Irene sendiri juga marah. Entah pada diri sendiri atau pada adiknya, Irene belum memutuskan.
"Aku ada di mobil itu, Soo! Aku juga tidak suka harus berurusan dengan mereka tapi aku pun tak ingin menjadi monster dengan berpura - pura seolah tidak terjadi apapun!"
Lalu hening lagi. Irene dapat melihat melalui lirikan sekilasnya, Joy tengah mengepalkan kedua tangan disisi tubuh bahkan tampaknya sampai melukai telapak akibat kuku - kuku panjang nan indah tersebut menekan terlalu dalam.
Tapi sekarang tidak ada waktu untuk memanjakan adiknya. Ada hal lain yang harus diredakan dan diselesaikan. Maka dari itu Irene berjalan melewati Joy yang masih berdiri kaku. Pikiran Irene terlalu kacau. Namun tidak cukup kalut untuk tak mendengar gumaman tak terduga dari mulut tebal adik tercinta.
"Kau sudah menjadi monster dengan menyudutkan seorang perempuan tak bersalah sampai seluruh tubuhnya gemetar ketakutan."
Irene berhenti sebelum setengah memutar tubuh. Joy sendiri tak mengerti darimana Ia memiliki pemikiran semacam ini tentang kakak yang selama ini selalu Ia kagumi dan bangga - banggakan. Ikut berbalik, keduanya justru saling menusuk melalui tatapan masing - masing. Memiliki gen yang sama dalam darah mengalir di tubuh mereka, tak bisa dipungkiri bahwa keduanya sama - sama keras kepala. Bagus untuk teguh di pendapat sendiri, tapi untuk situasi seperti ini, kekokohan pendirian justru bisa merusak segalanya.
"Apa kau bilang? Aku melakukannya untuk melindungimu!"
"Dengan membentak dia di depan banyak orang? Aku rasa tidak. Kau hanya ingin melampiaskan kebencian."
"Sooyoung, stop. Aku tidak ingin berdebat denganmu saat ini."
"Wae? Karena itulah kenyataannya, bukan?"
Oke ini sudah cukup!! , batin Irene memekik emosi.
Lalu hanya dengan kalimat bernada dingin diakhiri tanda tanya, Irene sukses menundukkan Joy sampai titik terbawah dirinya. Merasa kecil serta terlalu lemah untuk bisa membelot lagi.
"Kau sendiri bagaimana? Bukankah kita berdua memang lari karena kebencian?"
Ruangan dengan angka 329 sisi kanan depan pintu seketika menjadi suram. Terasa lebih dingin dan mencekat dibanding sebelumnya. Untuk yang entah keberapa kali, keduanya hanya terdiam dengan tubuh saling berhadapan. Yang membedakan hanya mata Irene nan tak gentar menatap adiknya sementara Joy sendiri terus tunduk seolah bagian belakang kepalanya sedang ditekan oleh beban tak kasat mata. Dan lagi - lagi Irene-lah yang mengambil langkah pertama. Maju semakin dekat sebelum meraih satu kepalan tangan Joy, mengusapnya penuh afeksi dengan ibu jari.
"Baiklah. Aku kalah, hmm? Maafkan aku, Soo. Untuk kebodohan yang aku lakukan pada Wendy hari itu dan emosi yang aku luapkan saat ini. Hanya saja semua terlalu —"
Segalanya terjadi sangat cepat dan tiba - tiba. Joy yang awalnya berdiri beberapa inci dari Irene kini sudah tak memiliki jarak sedikitpun. Mengambil step untuk melingkupi Irene dengan tubuh besarnya, walau dia menjadi satu - satunya yang malah membungkuk bersembunyi di ceruk leher Irene. Menangis tentunya; selalu menjadi pilihan terakhir Joy jika sudah tak bisa menahan segala emosi yang meledak - ledak didalam.
"Maaf, Unnie. Maafkan aku."
⋐𝐇𝐨𝐌⋑
Aku telat tau soal ini, tapi gapapalah. 200617 OT5 Update
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.