⋐𝐇𝐨𝐌⋑
Pusing.
Suara keributan yang menggema dan beresonansi di ruang hampa tiba - tiba masuk ke telinga tanpa aba - aba.
Hari ini mengerikan.
Selain karena aku yang tengah berdiri di sebuah kamar nan kutebak adalah salah satu ruang rawat rumah sakit sambil melihat diriku sendiri terbaring di ranjang bersprei putih bersih dengan alat bantu nafas menutupi mulut, aku juga mendapati dua orang gadis tengah berbicara bersama ketegangan mengelilingi.
Aku pernah melihat adegan semacam ini di dalam sebuah drama atau serial. Namun mengalaminya langsung bukanlah sesuatu yang bisa aku perkirakan. Semua tampak tak masuk akal sampai satu kilas balik tentang diriku nan dengan tegas dan cepat menggesekkan sebilah pisau lipat ke leherku sendiri di dalam kamar mandi dorm, aku mulai sadar apa yang tengah aku lewati saat ini.
Benar. Aku menyentuh bekas sayatan yang bentuknya begitu terasa namun tidak dengan sakitnya. Seperti seluruh tubuhku mati rasa hingga bagaimanapun aku menekan atau bahkan memukul luka ini, tak ada satupun yang kurasakan.
Aku memang sedang di awang - awang. Tidak di bumi tapi juga tak sedang di alam baka.
Aku mengambang.
Menembus pintu usai cukup lama mengamati Irene Unnie yang dengan miris menatap tubuhku sambil meminta maaf tanpa henti, aku mendadak terdiam melihat satu sosok familiar di kejauhan bersama wajah asing di sisinya.
Sepasang suami istri yang tengah tersenyum padaku. Lengkung bibir keduanya begitu indah dan menenangkan. Tapi sekilas mengingat fakta, image di balik senyuman itu merubah pandanganku.
Dia Eomma. Kandung tentunya. Dan yang menakutiku lebih dari apapun adalah lelaki paruh baya disebelah nan mulai melengkungkan alisnya seolah ingin menunjukkan bahwa Ia sedih dan menyesal. Dari situ aku simpulkan; Dia Appa–ku yang sesungguhnya.
"Appa!"
Lagi.
Satu kegelisahan lain seolah tidak mau meninggalkan aku bahkan ketika aku berada di tengah hidup dan mati.
Itu bukan suaraku. Dia lebih nyaring dan ceria daripada yang selama ini kudengar.
Gadis itu seharusnya tidak disini. Dia tidak boleh berada di alam mengambang tanpa kepastian ini.
Lalu ketika gadis itu memeluk pria yang aku perhatikan, aku sadar bila dia adalah sosok yang selalu dirindukan gadis itu. Seseorang nan mungkin akan selalu membelanya tak peduli seberapa tidak diinginkan keberadaannya di sekitar kami.
Ini menyakitkan.
Tahu bahwa gadis yang selama ini aku maki - maki, aku cemooh, aku benci habis - habisan, ternyata juga memanggil Appa yang sama.
"Kim Yerim, apa yang kau lakukan disini? Kau —kau tidak boleh ada di alam ini!"
Aku tidak percaya dengan apa yang aku lakukan.
Aku... membelanya.
Aku berusaha melindungi Kim Yerim. Sang gadis yang selama ini aku coba untuk siksa sampai hatiku puas.
"U —Unnie. Kau —"
Dia tiba - tiba berhenti. Bukan karena aku memotongnya. Tapi sebab dia melihat bahwa wanita nan sedari tadi hanya terdiam, mulai maju dan membelai rambut hitam legam milikku.
"Maafkan, Eomma. Sooyoung–ah."
Kali ini keadaan berbalik. Dulu aku akan menahan kuat - kuat supaya tidak ada setetespun cairan yang lolos dari penjagaan. Kini justru semua cairan itu menghilang saat aku ingin menangis.
Aku benar - benar ingin menangis sampai kesulitan bernafas lalu bersembunyi di balik lekuk leher eomma, tapi sekarang tak ada satu titikpun air mata yang mau muncul untuk dijatuhkan.
"Appa juga minta maaf, Park Sooyoung. Karena Appa, hidupmu menjadi sengsara."
Itu pertama.
Aku terkejut dan sedikit panik. Tak tahu apa yang harus kulakukan, aku menoleh saat merasakan sebuah dorongan dipunggungku.
Itu Eomma. Meyakinkan aku dengan anggukan penyesalan nan tergambar begitu besar di matanya. Di titik ini aku mulai berpikir, mungkin tidak apa - apa jika aku memaafkan dan menerima. Oleh karena itu aku kembali memfokuskan pandangan pada iris coklat terang di hadapan. Menatap beberapa saat pada pria itu sebelum maju lantas melingkarkan kedua tangan di pinggangnya.
"A—Appa."
"Benar, Sooyoung–ah. Semua akan baik - baik saja hmm?"
Disusul oleh eomma, kedua orang dewasa ini berusaha sebisa mereka untuk menenangkanku. Dan kuakui, ini berhasil. Memaafkan tidak seburuk itu.
Sampai ketika aku sedikit mengangkat wajahku, aku menangkap sayatan yang sama persis dengan milikku di leher gadis itu.
Untuk pertama kali aku tersenyum tulus padanya. Hangat dan melegakan saat melihat dia membalas dengan lengkung bibir lebih lebar dari milikku.
"Kemarilah, Kim Yerim."
Masih dalam pelukan kedua orang tuaku, Aku mengulurkan tangan dan menarik tubuhnya saat yakin bahwa gadis itu sudah sepenuhnya menyambut uluranku.
"Maafkan aku, Yerim–ah."
Dan segalanya menjadi redam; buram sampai aku tak sadar bila ada suara statis jauh disana. Panjang, konstan, dan tak berjeda. Entah apa yang akan terjadi setelah ini, aku percaya semua pasti berangsur membaik.
⋐𝐇𝐨𝐌⋑
🤭🤭🤭
Regards
- C
KAMU SEDANG MEMBACA
Half of Mine ✔
Fiksi PenggemarHanya terdapat dua pilihan. Meninggalkan atau saling menghancurkan. N.B. Cerita ini lanjutan dari Marigold