16. Tension

522 77 6
                                        

⋐𝐇𝐨𝐌⋑

Derap langkah susul–menyusul saking cepatnya terdengar di celah antara dua tembok membentuk lorong panjang sepi nan diterangi cahaya temaran sampai akhirnya hilang tepat di depan sebuah pintu kayu terbuka. Menampakkan seorang gadis terduduk menumpu dahi pada tangan diatas meja rias berlengkapkan cermin yang dibingkai lampu - lampu kecil di tiga sisinya.

Irene tidak masuk. Pun Ia tak mundur pula. Hanya berdiri disana. Di ambang pintu, mengamati beberapa staff sekaligus empat member yang Joy pimpin mengelilinginya dengan kecemasan tercetak jelas, membentuk kerutan - kerutan dahi tanda khawatir akan keadaan adiknya.

Dingin telapak tangan kanan menggosok keras wajah halus. Selalu menyayangkan hal - hal semacam ini terjadi lagi dan lagi pada ratu kecilnya. Prioritas Irene masih sama dan mungkin memang tak akan pernah berubah sampai sang pencipta mengambil kembali nafas yang kini masih terhembus. Memikirkan Joy sekarang menjadi satu - satunya anggota keluarga menjadikan segala urusan di otak Irene tersepak jauh dari aksentuasi. Rela meninggalkan pekerjaan mendesak hanya supaya bisa melajukan Hyundai Tucson putih diatas 120km/jam dan memastikan keadaan adiknya, Irene sama sekali tak menyesal telah meninggalkan kewajiban.

Ini adiknya. Penentu kelanjutan hidupnya.

Irene bahkan tak bisa untuk sekedar membayangkan hidup tanpa Joy.

"Hey, bagaimana kondisimu?"

Bergerak membelah kerumunan yang secara natural memberi jalan, Irene sigap mengusap puncak kepala Joy penuh kelembutan lantas mengambil tempat di kursi bundar sebelah Joy. Irene memaksakan senyum tulusnya agar Joy sedikit merasa tenang daripada menambah keresahan dengan raut tidak rileks. Joy mengangkat wajah, menatap Irene tepat dimata dan dibalas anggukan oleh si kakak sebagai isyarat bahwa Joy bisa memulai untuk menumpahkan apa yang Ia rasakan. Semua begitu lancar dan stabil sampai ketika Joy membuka mulutnya, bahkan belum sempat mengutarakan kata pertama, lalu tahu - tahu —

"Ini, aku membawakan americano hangat untuk kalian ... semua."

Bukan hanya seluruh karyawan yang menoleh pada sumber suara karena, sialnya, Irene juga ikut memutar leher untuk melihat siapa yang berani - beraninya menginterupsi di saat - saat seperti ini.

Tidak. Wendy tidak terkejut karena suasana yang hening. Ia membeku karena Irene, dengan ekspresi tercengang menatapnya sebelum tatapan itu berubah menjadi berapi - api.

"Sekarang aku tahu apa alasannya." gumam Irene yang masih bisa menelusup ke telinga Joy.

Ini salah. Joy tidak ingin kakaknya menjadi orang jahat dengan menyalahkan perempuan yang tak ada hubungannya dengan kejadian barusan. Namun, tarikan lemah di lengan Irene langsung dihempaskan begitu saja.

"Unnie, ini bukan —"

"Ikut aku!"

Sentaknya dengan nada rendah yang dingin disusul menabrakkan bahu kanan ke pundak Wendy, melewatinya begitu saja usai menutup telinga dari teriakan pencegahan di mulut adiknya sendiri. Matanya menggelap bersamaan dengan hati yang terasa seperti dilempar kedalam kawah gunung berapi aktif.

Wendy dan Joy di satu zona yang sama adalah suatu kontemplasi tak masuk akal, membawa semakin banyak variabel - variabel negatif dalam pikiran Irene.

Irene kini menyadarinya. Bahwa semesta memang tak mengijinkan adanya perdamaian diantara dua kubu saling benteng ini. Baru kemarin Ia merasakan harapan untuk bisa kembali utuh dengan mulai menerima keberadaan mereka bertiga, kini satu lagi masalah datang seolah mengingatkan padanya bahwa ada dendam permanen dalam hati masing - masing individu.

"Kau tahu aku tidak suka basa - basi. Apa yang kau lakukan pada adikku?"

Irene memutar tubuhnya tepat pada saat Ia dan seseorang dibelakangnya berada di sisi panggung yang gelap dan dingin. Sengaja memilih spot yang berisik oleh suara - suara nan dihasilkan dari aktivitas membangun panggung, Irene merasa bisa puas membentak ataupun berteriak.

"Unnie, aku bahkan tidak ada disana saat Joy me —"

"YAK!!"

Satu hardikan bernada tinggi lolos begitu saja. Sedikit menarik perhatian orang - orang dalam jarak dekat, namun masih tak sampai di beberapa telinga nan jauh dari jangkauan.

Jujur, Wendy bergetar. Tangan, kaki, seluruh tubuh seolah diguncangkan.

"Jangan main - main. Lagipula apa intensimu untuk bekerja di sekitar Joy jika bukan untuk menghancurkannya?"

"Hentikan disini, Bae Irene."

Belum selesai Irene meluapkan seluruh emosi, datang lagi sebuah eksistensi tak terduga. Sosok monolid dengan garis mata tajam memberi kesan tegas dan mengerikan tiba - tiba menarik pergelangan Wendy sampai gadis rambut sebahu itu meringkuk di belakangnya.

Seketika tawa hambar menggema. Oh ya, itu dari mulut Irene tentunya. Merasa lucu. Memikirkan bahwa sang pencipta mungkin sedang terbahak melihat kelakar yang beliau ciptakan ditengah kekacauan keluarga Irene.

"Wae? Apakah ada yang lucu dimatamu?" Si gadis tegas tanpa eyelid menyilangkan tangan bertepatan dengan senyum miring nan muncul tanpa pemberitahuan.

"Tentu saja kita! Kita sangat lucu bukan? Baru kemarin aku menurunkan penjagaan atasmu. Aku kira malam itu adalah deklarasi gencatan senjata. Aku pikir kita mulai sedikit berdamai malam itu. Bodoh sekali aku tidak memperkirakan hal ini. Mwo? Bersekongkol untuk menguntit Joy? Aku tidak akan tinggal diam. Camkan itu di kepalamu!"

Sepeninggalnya Irene usai menyatakan perang di kali kesekian, tatapan Seulgi berubah kosong seiring tangannya jatuh begitu saja disisi tubuh. Helaan nafas berat menyimbolkan ada bongkahan besar di tenggorokan dan lubang yang digali semakin dalam di hatinya. Seulgi bahkan tidak menyangka bila Irene sempat berpikir mereka berdamai. Untuk seorang Irene dengan pemikiran lebih keras dari seribu batu, Seulgi mulai menyesalkan sesuatu. Walau kata 'menguntit Joy' bukanlah apa yang Ia lakukan, Seulgi tetap berakhir kalut atas sikap penjagaan pamor nan berakhir menjadi egoisme berjudul gengsi yang tanpa sadar tertanam dalam dirinya.

 Walau kata 'menguntit Joy' bukanlah apa yang Ia lakukan, Seulgi tetap berakhir kalut atas sikap penjagaan pamor nan berakhir menjadi egoisme berjudul gengsi yang tanpa sadar tertanam dalam dirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mungkin jika Ia mencetuskan peleraian, penyelesaian, ataupun rekonsiliasi lebih awal, segala kekacauan ini tak akan kembali menyerang. Sekarang yang bisa Ia lakukan hanyalah menghadapi bom perasaan yang akan datang sewaktu - waktu.

Mungkin. Semua diantara kami tidak pernah pasti hukumnya. Hanya probabilitas tanpa presentase berarti.

⋐𝐇𝐨𝐌⋑

Regards
- C

Half of Mine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang