"chanyeol, aku ingin pulang..."

418 92 26
                                    

trigger warning:
this chapter contains depictions of sexual harassment (from the perspective of the victim).

trigger warning:this chapter contains depictions of sexual harassment (from the perspective of the victim)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⠀⠀chanyeol berjalan gontai untuk mengangkat telepon. baru saja matanya terpejam 10 menit, tetapi telinganya dikejutkan oleh bahana dering dari telepon rumah. karena orang tuanya dan yoora tidak mengangkat, setelah dering ketiga, chanyeol akhirnya mau bangkit dari tempat tidur.

"halo?"

"chanyeol," panggil seseorang dari sambungan telepon. suaranya serak dan terisak. chanyeol langsung tahu siapa pemilik suara tersebut tanpa harus bertanya.

"seungwan?" lelaki itu mengerjap-ngerjapkan matanya dan menguceknya dengan cepat, buru-buru membawa telepon rumahnya itu ke dalam kamar. "ada apa? ini pukul 2 pagi. aku kira kau tidak akan telepon dalam waktu dekat."

"aku minta maaf karena tidak mendengarkanmu," katanya, isakannya tertahan. "aku takut."

mata chanyeol membelalak, kesadarannya sudah terkumpul seketika. "ada apa, seungwan?"

bukannya menjawab, seungwan terus menangis lirih. chanyeol setengah kesal karena dibuat khawatir di pagi buta seperti ini. "seungwan, apa yang terjadi? kau di mana?"

"aku... aku setuju untuk pergi dengan yoongi. kami menonton konser kecil musisi lokal sejak pukul 9 lalu." seungwan menghirup napasnya dalam-dalam. "di perjalanan pulang... bisnya sepi sekali. dia menyentuhku," lanjutnya gelagapan. "dia memaksaku hingga tanganku biru-biru. dia menyentuhku... di mana-mana, chan..."

chanyeol menggertakkan rahangnya. sebelah tangannya mengepal kuat. "katakan, seungwan. kau sekarang ada di mana?"

"aku di wartel asrama. sedang sepi sekali." tangis seungwan pecah kemudian. "chanyeol, aku ingin pulang..."

chanyeol menggenggam telepon rumahnya hingga buku-buku jarinya memutih. sekarang juga, ia ingin berlari mendatangi seungwan, menepis jarak ratusan kilometer di antaranya, lalu memeluk seungwan erat-erat, membawanya pulang ke rumah di busan.

tetapi, pada akhirnya, yang kini dilontarkan bibir chanyeol hanya: "tenanglah."

perempuan itu terus menangis sesenggukan di seberang. begitu pelan dan tertahan, hingga chanyeol bisa merasakan rasa takut seungwan menjalar di punggungnya. membuat dirinya marah dan sedih di saat yang bersamaan. membuat tubuhnya sakit. membuat kepalanya pening. membuat hatinya sesak.

"seungwan," panggilnya dengan tenang. "kau harus laporkan ini ke pihak asramamu ya? atau, langsung ke pihak kampus."

"tidak," tukas seungwan. "aku takut, chan." ia terisak-isak, giginya bergemeletuk sesekali. "aku tidak memiliki siapa-siapa di sini."

"seungwan," panggilnya lagi. "aku janji, kau akan baik-baik saja." chanyeol mengerjapkan matanya, menguceknya sekali lagi. pandangannya buram tiba-tiba. kepalanya pusing sekali karena menahan emosi.

"jangan katakan kepada siapapun tentang ini, chanyeol," pintanya. suaranya terdengar sangat memohon. "aku benar-benar takut, chan. tolong sekali..."

dengan hatinya yang sesak, chanyeol mengangguk perlahan, meski seungwan tidak melihatnya. ia menyetujuinya dengan helaan napas yang rasanya begitu berat hanya untuk dilakukan. "aku mengerti," ucapnya.

"chan... aku ingin sekali pulang," isak seungwan sekali lagi, terbata-bata di sela tangisnya. "aku ingin bersamamu."

lelaki itu tak bisa lagi menahan bendungan yang ada di pinggir-pinggir mata. ia mengusap air asin yang sedikit-sedikit lolos dari ujung matanya, berulang kali. ia juga sekalian mengusap hidungnya yang mulai berair.

chanyeol merasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa-apa. dengan jarak ratusan kilometer yang menjuntai menghalangi, seungwan terasa sangat jauh dari genggaman tangannya.

sampai sepertiga malam, chanyeol terus menemani seungwan menangis di telepon, hingga koin-koin kembalian di saku seungwan habis tak bersisa. lelaki itu juga menangis diam-diam, sembari sesekali menggaruk-garuk kepalanya yang--tidak tahu kenapa--terasa nyeri.

i wrote you a letterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang