Hurt

10.2K 1.1K 228
                                    


Jeon Jonas menyilangkan kaki, matanya menyorot lurus ke depan memperhatikan Hans yang diikat berdiri. Tumitnya ikut terangkat, sementara secara kasar dan terasa pedih jari-jemari kakinya harus kuat menopang tubuh sendiri. Tangan-tangan pria itu tertarik ketat ke atas, wajahnya menunduk, pukulan demi pukulan ia dapatkan tepat di perutnya.

Hans tidak tahu sebanyak apa kekerasan yang ia terima, wajahnya bahkan masih membiru saat beberapa menit yang lalu Ben mendapat perintah untuk meninjunya sampai Jeon Jonas menyuruh berhenti.

Jeon Jonas memang sekejam ini, setega ini. Hans mengerti, sebab ia sendiri yang bekerja pada pria itu selama bertahun-tahun lalu berkhianat karena alasan yang dulu dianggap cukup lucu, cinta.

“Cukup.” Hans terengah, jika saja tidak mengingat harga dirinya sedang dipertaruhkan, ia akan bersimpuh meminta Jeon Jonas agar melepaskannya, atau setidaknya, membiarkan kedua kakinya berdiri secara sempurna.

Jeon Jonas berdiri, membuang asal rokok yang sudah terbakar hingga setengah. Sisa asap rokok ia hembuskan melalui mulut kemudian melangkah untuk berdiri di depan tubuh Hans yang rasanya hampir mati rasa. Pria itu, meski tubuhnya seakan remuk redam, masih bisa menatap Jeon Jonas dengan lurus, dengan tegas, dengan angkuh. Namun Jeon Jonas tahu, Hans hanya terlalu keras kepala untuk tidak menunjukkan selemah apa ia sekarang.

“Kau terlihat berantakan, Hans.” Senyum sinis bermain di bibir Jeon Jonas, mengejek Hans yang masih kesulitan untuk mengambil napas.

“Bukankah lucu? Seorang mayat yang dikirim dengan keadaan gosong bisa hidup kembali. Bahkan lucunya, mayat itu melamar seorang wanita. Wanitaku, Hans!” Gemeretak gigi Jeon Jonas terdengar kentara dan Hans tahu bahwa pria itu sedang menahan amarah.

Jeon Jonas menarik satu batang rokok, dinyalakan dengan cepat lalu mengisapnya dengan wajah terangkat menatap pria yang saat ini memalingkan wajah. Belasan anak buah Jeon Jonas, yang tadinya berteman baik dengan Hans, berdiri tinggi menjulang, menatap Hans dengan sorot mata berbeda, seolah mereka tidak pernah mengenal Hans, seolah mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.

Jeon Jonas menarik sudut bibir, mengembus asap dari sana tepat ke wajah Hans yang akhirnya berpaling dari belasan pria berpakaian hitam yang hanya bergerak jika sang bos memerintah. “Apa saja yang sudah kau lakukan pada Melissa?”

Oh. Hans tersenyum samar, jadi siang terik seperti ini, Jeon Jonas datang hanya untuk mengetahui apa saja yang ia sudah lakukan dengan Melissa. Hans tidak dapat membayangkan semurka apa pria itu jika tahu bahwa sebenarnya, setiap wanita itu lengah, Hans akan menyempatkan diri mencium pipinya, hidungnya, keningnya. Dan Melissa hanya akan termangu saat Hans melakukannya, haruskah Hans memberitahu pria itu?

“Tanyakan saja padanya.”

Tidak mendapat jawaban yang serius, Jeon Jonas mengayunkan tangan pelan. Nevan, pria lebih muda di antara yang lain, segera maju dengan tongkat bisbol di tangan kanan. Tanpa menunggu, ayunan tongkat bisbol yang cepat dan keras mendarat kencang di perut Hans. Pria itu tidak mengaduh atau meringis, hanya refleks menekuk perut ke belakang.

“Apa saja yang sudah kau lakukan pada Melissa?” Sekali lagi, dengan lebih memberi penekanan, Jeon Jonas memberi pertanyaan yang sama.

“Aku menyentuhnya, sama seperti yang sudah kau lakukan.”

Jeon Jonas mengisap rokok dengan keras, api kecil di batang itu bergerak semakin cepat membakar hingga ke bawah. Batang hangus itu tercampak, Jeon Jonas memegangi tongkat bisbol dengan kedua tangan, memukuli tubuh Hans secara membabi-buta.

Sudah tidak cukup kuat untuk berpura-pura tegar, Hans mengerang dengan kasar. Darah yang keluar dari mulut dan hidung membuatnya terbatuk. Ben, yang masih memiliki sedikit rasa prihatin, menahan Jeon Jonas untuk tidak melakukannya lagi. Pria itu berteriak marah, melempar tongkat bisbol ke sudut ruangan.

MY PINKY✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang