You

9.8K 1.2K 234
                                    


Melissa mengedarkan tatapan pada isi ruangan. Tempat yang hanya ada dirinya dan Hans itu tidak jauh lebih baik dari ruangan sebelumnya, tempat itu sepi, mereka seperti ditahan dalam jeruji sunyi. Ada banyak ketegangan di sana, seperti kayu-kayu tumpul yang berbekas darah manusia, laci-laci kosong, meja catur usang, single sofa berkepala tinggi yang dikhususkan untuk sang bos dan tengkorak hewan bertanduk yang bergelantungan pada sebuah paku bangunan. Melissa sudah tidak heran, memang seharusnya begini, ruangan para gangster, para kriminal.

Melissa menunduk, mendengar deru napas teratur dari pria yang terlihat begitu nyaman di dalam pelukannya. Ruangan itu dingin, tapi Hans merasa cukup hangat setelah mendapat dekap lembut dari wanita yang saat ini pelan-pelan membelai rambutnya, menariknya pelan hingga Hans menutup mata karena jemari itu bermain terlalu sempurna.

Hans ingin terus seperti ini, menenangkan jiwanya dari semua kepiluan hati. Sebab setelah sejauh ini ia mengerti, meski wanita itu setia mendekapnya, setia menyayanginya, semuanya berbeda dengan yang Hans inginkan. Melissa menyayanginya sebagaimana keponakan dan seorang paman, sebatas itu. Itu mengapa, kini ia bertemankan bungkam sementara lukanya semakin menikam.

“Paman?”

Hans terkekeh, hidungnya ia usapkan pada pundak Melissa yang tertutup pakaian. Wanita itu mendorong pelan lengan-lengan Hans, melihat mata sayu itu dengan saksama.

“Bagian mana saja yang sakit?”

Melissa menulusuri tubuh atas Hans yang tidak tertutup pakaian, banyak memar.

Bukannya menjawab, Hans merogoh sakunya yang sedikit menggembung, kotak merah berisi cincin masih ia simpan di sana. “Bisa kau memakainya, Melissa?”

“Ini—”

“Aku membelinya untukmu. Tidak apa, aku tidak memaksamu untuk menerima lamaranku, aku hanya ingin—setidaknya cincin ini berada di jarimu, aku hanya ingin itu.”

Melissa bungkam, jari manisnya sebelah kanan digenggam pria itu dengan lembut, dengan senyum hangat memasukkan cincin itu ke sana.

“Ternyata bagus,” ujar Hans cukup senang. “Itu—rasanya akan lebih bagus jika berada di jemarimu sebelah kiri.” Hans tertawa kecil, entah bagaimana air matanya jatuh begitu saja.

Melissa mengusap air mata itu dengan jari-jarinya, mata pria itu menyorotnya buram, semakin banyak yang jatuh dari sana. Dengan sekali tarikan, Hans memeluk Melissa dengan erat. Seperti ini saja dahulu.

Mereka saling tahu bahwa raga mereka mungkin sering saling menjemput hangat, tapi perasaan mereka tidak saling mendamba, hanya satu yang meletup-letup ketika bersama, hanya satu yang membuncah ketika kehangatan itu ada.

“Bagaimana ini, Melissa? I still love you a lot.”

Melissa mengusap punggung bergetar itu pelan. Ia tidak pernah tahu kalau Hans bisa selemah ini. Bermenit-menit dalam posisi tersebut, Melissa mengurai pelukan mereka, memperhatikan kembali semua bekas kemerahan di luka pria itu dengan prihatin.

Benda yang ia perlukan tidak satu pun ada di sana, perban, plester luka, obat merah atau sejenisnya, semuanya sepertinya sengaja tidak disediakan di sana. Lagipula untuk apa? Semua orang di markas itu membenci Hans, mustahil pria itu mendapat perawatan.

Satu-satunya benda yang Melissa dapatkan adalah pakaian Hans yang sudah tidak berbentuk, kain itu kotor dan tidak layak pakai. Rasa iba semakin erat membungkus perasaannya, ia kemudian berdiri, membuat Hans gelagapan tidak ingin wanita itu pergi.

Namun Melissa tetap beranjak, membuka pintu dan menemukan Ben tengah mengisap rokok. Pria itu terbatuk mendapati Melissa berdiri sangat dekat dengannya, Ben mengumpat di dalam hati, menginjak rokok lalu menatap wanita itu dengan penuh tanya.

MY PINKY✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang