21 - Bolos

684 52 0
                                    

"Ngapain kamu bawa aku ke restoran mewah kayak gini?" tanya Jihan.

Gavin turun dari motornya setelah Jihan turun. Jihan menatap restoran di depannya. Restoran mewah dengan delapan lantai. Dekorasi dan perabotannya juga luar biasa.

"Kamu pasti laper. Tadi nggak sempet sarapan kan?"

"Kok kamu tau?"

"Udah kesiangan ke sekolah, ngapain mikirin sarapan."

Gavin membuka bagasi motornya mengambil sesuatu. Ia menyerahkan sebuah jaket warna pink kepada Jihan.

"Buat aku?" tanya Jihan sambil menunjuk hidungnya.

"Iya lah. Masa buat aku? Kan warnanya pink," jawab Gavin. "Biar nggak ada yang liat logo sekolah kita. Nggak baik kan kalo ada yang tahu kita anak SMA Rajawali," lanjutnya.

Jihan memakai jaket warna pink yang bahannya sangat halus itu. Cewek itu sengaja tidak menaikkan resletingnya. Setelah itu, Jihan mengeluarkan rambutnya dari dalam jaket yang ia gerai seperti biasa.

"Cantik," ucap Gavin.

Gavin melingkarkan lengannya di pinggang Jihan. Memeluknya dari samping. Hal itu membuat Jihan merasa terlindungi. Lantas mereka berdua memasuki restoran dan memilih tempat duduk di dekat jendela lantai dua.

"Ngapain sih kita makan di sini?" tanya Jihan. "Kan lebih enak makan di lamongan pinggir jalan atau sarapan bubur di perempatan aja. Di sini kan makanannya mahal-mahal, Gav."

Gavin terkekeh. "Udah, nggak pa-pa."

Gavin mengangkat tangan kanannya dan melambai kecil. Seorang pelayan restoran itu menghampiri mejanya.

"Pak Gavin? Mau makan apa, Pak?" tanya pelayan itu.

'Pak? Setua itu Gavin dipanggil Pak?' batin Jihan bingung.

Gavin menyebutkan pesanan-pesanannya dan Jihan. Setelah mencatatnya dengan baik, pelayan itu meninggalkan meja mereka.

"Kok kamu dipanggil Pak? Tua banget ya," ucap Jihan sambil tertawa kecil.

"Hust! Nggak usah ketawa. Mereka cuma menghormati aku," ucap Gavin.

"Terus tadi pelayan itu kenal kamu. Kok bisa sih, Gav?" tanya Jihan kepo.

"Restoran ini punya aku, peninggalan dari Papa," jawab Gavin.

Jihan sedikit melongo mendengar penuturan Gavin. Semuda ini punya restoran besar? Pantas saja Gavin sering gonta-ganti motor dan mobil.

"Udah, nggak usah melongo gitu," ucap Gavin sambil terkekeh.

:::::

Gavin dan Jihan melangkah memasuki wilayah pemakaman. Ada beberapa orang yang sedang berziarah. Tangan kiri Gavin memegang bunga yang akan ditaburkan ke sebuah makam. Sedangkan tangan kanannya menggenggam tangan Jihan.

Jihan kebingungan kenapa ia dibawa ke makam. Ia tidak tahu siapa yang akan diziarahi. Jujur saja, Jihan belum tahu bagaimana kondisi keluarga Gavin.

Gavin berjongkok di sebuah makam bertuliskan nama Bondan Artajasa. Jihan pun melakukan hal yang sama di sebelah Gavin. Keheningan melanda mereka berdua.

'Artajasa? Papa Gavin?' batin Jihan bertanya-tanya.

Gavin mencabut beberapa rumput yang tumbuh di makam Papanya. Setelah itu, ia menaburkan bunga secara merata.

"Ini Papa aku, Han," ucap Gavin menatap ke nisan makam itu.

Jihan tidak bersuara, ia hanya menatap Gavin dengan sendu.

GAVHAN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang