28 - Jihan dan Wildan

706 47 0
                                    

"Ngalamun mulu lo! Kesamber petir baru tau rasa lo," ucap Dwi.

Gavin meletakkan kepalanya di atas meja. Seperti biasa, cowok itu tengah nongkrong bersama teman-temannya di WBY.

"Lemes amat lo? Kenapa?" tanya Alan.

"Tumben lo nggak nganterin Jihan pulang?" tanya Hanung.

"Gue putus sama Jihan," ucap Gavin.

"HAH?!" teriak Alan, Hanung, dan Dwi.

"Cius?" tanya Hanung.

"Miapah?" lanjut Dwi.

"Siapa yang mutusin?" tanya Linggar.

Gavin mengangkat kepalanya. "Gue."

Dwi langsung menoyor kepala Gavin sampai oleng. "Goblok! Goblok! Goblok! Ngapain lo mutusin Jihan tolol!" makinya.

"Saatnya gue beraksi nih," ucap Alan sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.

"Nggak tau ah, diem! Gue pusing!" ucap Gavin.

"Rasain noh. Udah tau masih cinta, malah diputusin," ucap Hanung.

"Lo putus sama Jihan, Vin?" tanya Vivi. Ia datang dengan segelas minuman chocolatos.

"Budek lo ya?" cibir Alan.

"Sama gue aja, Vin. Mau deh gue jadi pacar lo," ucap Vivi.

"Diem lo!" bentak Gavin.

"Mamam tuh, dibentakkan sama si Bos," ucap Hanung.

"Nggak usah gatel dulu deh, Vi. Gavin masih galau," ucap Dwi.

"Lo kenapa sih, Vin? Kemarin-kemarin aja lo baik sama gue. Sampai gue diajakin ke kantin malah," ucap Vivi.

"Cuma buat Jihan cemburu," ucap Gavin.

"Jahat banget sih lo! Jadiin gue alat kayak gitu," kesal Vivi.

"Emang kenapa? Nggak suka? Pergi aja sana!" usir Gavin.

Vivi menghentak-hentakkan kakinya kesal dan pergi dari meja Gavin CS. Padahal kemarin Gavin sikapnya manis sekali padanya. Ternyata hanya untuk membuat Jihan cemburu.

"Ajakin Jihan balikan lah," suruh Alan. "Daripada uring-uringan mulu kayak gitu."

"Iya sana. Ntar keburu Jihan jadian sama Wildan atau Apriva lagi. Rela lo?" tambah Dwi.

"Nggak lah," ucap Gavin. "Nggak bakal Jihan jadian sama Wildan, apalagi Apriva. Nggak bakal."

"Percaya banget, Bang? Liat aja nanti," ucap Hanung.

"Kalo Jihan jadian sama Wildan atau Apriva. Gue bakal jadi orang yang ngetawain lo paling keras," ucap Dwi.

"Dasar bocah, dikit-dikit putus," cibir Linggar yang sedari tadi diam. Sekalinya ngomong, nusuk Gavin sampai relung hati. Wkwk.

:::::

Tok tok tok

Jihan mengetuk pintu rumahnya beberapa kali. Namun, tidak ada sahutan dari dalam. Ia mendorong knop pintu, tangan kirinya memegang tali ransel yang dipakainya.

"Hiks hiks hiks ..."

Jihan menajamkan pendengarannya. Ia mendengar suara isak tangis dari dalam kamar orang tuanya.

"Bunda," panggil Jihan.

Jihan masuk ke dalam kamar orang tuanya yang pintunya terbuka. Ia mendapati Fitri tengah menangis sambil duduk di bibir ranjang.

"Bunda kenapa?" tanya Jihan khawatir seraya duduk di samping Bundanya.

Fitri segera mengusap air matanya. Ia kembali bersikap biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan Fitri berusaha untuk menunjukkan senyumnya pada Jihan.

"Nggak, Bunda nggak pa-pa," jawab Fitri. "Kelilipan aja kok."

"Kelilipan kok sampe terisak gitu?" sindir Jihan.

Fitri menyentuh paha Jihan. "Nggak pa-pa, Han."

"Bunda jujur deh sama Jihan. Bunda kenapa?"

"Nggak pa-pa," jawab Fitri masih tak mau bercerita. "Kamu ke kamar, ganti baju, terus makan siang."

Jihan menghembuskan napas kasar. Ia berdiri dengan berat hati. "Kalau Bunda butuh temen cerita, cerita sama Jihan aja."

Fitri mengangguk sambil tersenyum kecil mendengar ucapan Jihan. Ia menatap putrinya sendu sampai Jihan hilang dibalik pintu. Jihan tidak boleh tahu tentang sebuah keburukan Ayahnya. Jihan bisa kecewa.

:::::

Mata Jihan menelusuri rak-rak buku di hadapannya. Ia melihat-lihat buku novel pemberian Gavin. Ada banyak yang belum dibaca. Pilihannya jatuh pada novel 'Rindu' karangan Tere Liye.

"Han, Jihan."

Jihan meletakkan novelnya di atas meja belajar. Ia melangkahkan kakinya menuju pintu kamar dan membukanya.

"Ada temen kamu," ucap Fitri.

"Siapa?" tanya Jihan penasaran.

"Bunda nggak tahu. Kamu temuin aja di ruang tamu," jawab Fitri.

Jihan mengangguk kecil. Ia menuju ke ruang tamu dan mendapati seorang cowok yang tengah duduk. Ia memakai jaket warna putih dengan kaos warna cokelat di dalamnya.

"Wildan?"

Wildan mengangkat kepalanya, ia tadi menunduk. "Eh, hai," sapanya.

Jihan duduk di sofa, bersebrangan dengan Wildan. "Tau rumah gue dari siapa?"

"Kan pas perkenalan lo pernah nyebutin alamat rumah lo," ucap Wildan.

"Oh iya, baru inget," ucap Jihan.

"Nggak pa-pa kan gue main ke sini?" tanya Wildan. "Lagipula lo juga udah putus dari Gavin."

"Lo tau dari mana kalo gue udah putus?"

Wildan terkekeh kecil, membuat Jihan mengerutkan keningnya bingung. "Seantero SMA Rajawali juga tau kali. Berita putusnya lo sama Gavin udah nyebar."

"Oh," ucap Jihan singkat.

"Jalan yuk," ajak Wildan.

Jihan menaikkan sebelah alisnya. "Jalan?"

"Iya."

"Udah malem, Wil. Nggak bakal gue diizinin sama bokap nyokap gue," ucap Jihan.

"Boleh kok, Bunda izinin," ucap Fitri yang muncul membawa cangkir berisi teh.

"Tapi Bun, Jihan belum belajar," ucap Jihan.

"Kata siapa kamu belum belajar? Bunda liat dari sore kamu di meja belajar terus," ucap Fitri.

"Makasih, Tan," ucap Wildan seraya menerima cangkir berisi teh itu. Fitri membalas ucapan terima kasih itu dengan senyuman.

"Ayah mana?" tanya Jihan. "Ayah nggak akan izinin aku, Bun."

"Ayah belum pulang," jawab Jihan.

"Belum pulang?" tanya Jihan heran. Padahal ini sudah jam sembilan malam.

"Udah sana, jalan sama temen kamu," ucap Fitri. "Tapi habisin dulu tehnya ya," suruhnya.

"Iya, Tante. Aku habisin kok," ucap Wildan.

"Bunda ke kamar dulu," pamit Fitri.

Jihan menimang-nimang sebentar ajakan Wildan. Memang tidak ada yang salah kalau ia menerima ajakan itu. Lagipula ia memang butuh hiburan agar tidak galau. Agar lupa juga pada Gavin.

"Gimana? Mau?" tanya Wildan. "Itung-itung biar lo cepet move on dari Gavin, Han."

"Iya deh. Gue ganti baju dulu," ucap Jihan.

Jihan berdiri menuju kamarnya. Sepuluh menit kemudian, Jihan muncul dengan celana jeans putih panjang dan kaos hitam pendek bergaris-garis putih. Rambutnya ia biarkan tergerai seperti biasa.

Setelah berpamitan pada Fitri, kedua remaja itu segera meninggalkan rumah Jihan dengan motor Wildan.

"Mau kan gue ajak ke sini?" tanya Wildan.

Jihan menganggukkan kepalanya. Ia turun dari motor, matanya tak lepas dari pasar malam di hadapannya.

:::::

GAVHAN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang