22 - Bimbel dan Apriva

662 50 0
                                    

Jihan membuka pintu rumahnya. Mobil Arwan sudah di depan, itu berarti Ayahnya sudah pulang. Padahal baru jam empat sore.

Jihan berhenti di ruang tamu. Kedua orang tuanya tengah menunggunya sambil duduk di sofa. Ketika melihat Jihan, Arwan dan Fitri berdiri secara kompak.

"Kemana aja kamu?" tanya Arwan.

Jihan tidak menjawab, ia diam saja. Jihan tidak bisa bohong, kalau jujur pun juga pasti Ayahnya akan marah.

"Kamu bolos sekolah?" tanya Arwan lagi.

Jihan menunduk takut. 'Kok Ayah bisa tau?'

"Iya, Ayah tahu. Wali kelas kamu yang kasih tahu Ayah," ucap Arwan seakan tahu pertanyaan di pikiran Jihan.

"Maaf," lirih Jihan.

"Mau jadi apa kamu, Jihan? Bela-belain bolos cuma buat pacaran kayak gitu," ucap Arwan.

Jihan bisa saja menjelaskan kalau ia telat dan akhirnya membolos. Tapi ia tidak mengatakannya, Jihan tidak melakukan pembelaan sama sekali karena terlalu takut.

"Ayah kecewa sama kamu," ucap Arwan penuh penekanan sebelum masuk ke dalam kamar.

Fitri mendekati Jihan yang masih menunduk. Wanita itu mengangkat dagu Jihan agar putrinya itu mau menatapnya.

"Maaf, Bunda," lirih Jihan.

"Jangan diulangi," ucap Fitri. "Pacaran boleh, tapi jangan sampai bolos seperti ini."

"Tadi Jihan telat, gerbangnya udah ditutup," ucap Jihan memberanikan diri.

:::::

Gavin Prawira A:
Jalan yuk!

Jihan membaca chat dari Gavin. Jihan sudah siap dengan rok tutu warna pink dan kemeja merah maroon. Bukan, Jihan bukan mau jalan dengan Gavin. Ia akan ke tempat bimbel.

Jihan Cassalova:
Nggak bisa, Gav.

Setelah mengirim balasan, Jihan menggendong ransel kecilnya yang hanya berisi beberapa buku.

"Mana hp kamu?" tanya Arwan yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Jihan.

Jihan meraih ponsel yang ia letakkan di atas kasur. Kemudian, ia menyerahkannya kepada Arwan dengan perasaan tidak ikhlas.

"Ayah sita seminggu," ucap Arwan.

Jihan hanya mengangguk kecil. Pasrah. Ia sama sekali tidak bisa menentang perintah Ayahnya yang dingin dan kaku.

Jihan keluar dari gerbang rumah, ia terpaksa harus naik bus. Padahal tempat bimbel cukup jauh. Setelah naik bus, Jihan juga harus naik angkot untuk sampai di lokasi.

Di dalam bus, Jihan memilih untuk membaca-baca novel Tere Liye pemberian Gavin. Ada banyak novel yang belum sempat ia baca.

"Jihan!"

Jihan menoleh ke belakang ketika mendengar namanya dipanggil. Ia baru saja turun dari bus dan berniat menunggu angkot. Jihan melihat Apriva tengah berada di dalam mobil. Kaca mobilnya diturunkan sampai bawah.

"Bareng yuk!" ajak Apriva.

Jihan berjalan ke arah mobil Apriva dan mengangguk singkat.

:::::

"Nggak ngapelin Jihan lo?" tanya Alan.

"Punya pacar rasa jomblo, hari Minggu gini malah ngapelin kita-kita," ucap Hanung.

"Berisik lo pada!" ucap Gavin kesal.

"Selow bro, lagi galau nih ceritanya?" ucap Dwi.

"Berisik anjing!" bentak Gavin lagi.

"Nggak usah ganggu Gavin, lagi sensi dia," ucap Linggar.

Dwi mengangkat kedua tangannya. "Oke oke. Saya waras, saya diam."

"Nyanyi ajalah, Nung," ucap Alan.

"Woke!" sahut Hanung.

"Berani nyanyi, gue tanam lo hidup-hidup!" ancam Gavin.

"Lo lagi kenapa sih? Marah-marah mulu dari tadi," ucap Dwi.

"Kesel gue sama Jihan. Nggak mau diajakin jalan," ucap Gavin.

"Elah, gue kira apaan," ucap Hanung.

"Wajar lah, Bro. Jihan kan anak rumahan, anak baik-baik," ucap Alan.

"Nggak brengsek kayak kita-kita," tambah Dwi.

"Ikan teri makan gagak, lo aja kali gue nggak!" ucap Hanung.

"Nggak sekalian ikan teri makan gorila, Nung?" tanya Dwi.

"Gue malah tadinya pengin ikan teri makan dinosaurus, tapi kan udah punah," jawab Hanung.

Alan meletakkan lengannya di bahu Gavin. Hari ini cowok itu terlihat murung, tidak seperti biasa yang pecicilan.

"Apelin ke rumahnya aja, bingung banget sih," ucap Alan memberi saran.

"Bener tuh, sekalian kenalan sama bonyoknya," timpal Hanung.

:::::

"Kita cari makan dulu ya," ucap Apriva.

Mereka berdua tengah berada di dalam mobil menuju perjalanan pulang. Jihan terpaksa harus pulang dengan Apriva. Sore-sore begini jarang ada bus dan taksi yang lewat. Ponselnya juga disita kan?

"Han," panggil Apriva ketika Jihan tidak menyahut ucapannya.

"Iya terserah," ucap Jihan. Sebenarnya ia mau menolak, tapi tidak enak juga karena Apriva sudah berbaik hati mengantarnya.

Apriva memarkirkan mobilnya. Jihan memandang restoran di hadapannya dari kaca jendela mobil, restoran milik Gavin.

"Gue nggak mau makan di sini," ucap Jihan.

"Maunya di mana?" tanya Apriva.

"Di cafe deket rumah gue aja," jawab Jihan.

Apriva menuruti ucapan Jihan. Ia melajukan mobilnya lagi menuju ke cafe yang Jihan maksud, cafe dekat rumah cewek itu.

Sampai di cafe, mereka memesan beberapa makanan dan minuman. Cafenya tidak begitu besar. Mereka berdua pun memilih tempat duduk di luar cafe agar bisa melihat kendaraan yang lalu lalang dan juga sunset.

"Makasih ya," ucap Jihan kepada Apriva. Ia memasukkan spagetti ke mulutnya.

"Sama-sama," balas Apriva.

"Gue ngerepotin lo banget ya."

"Nggak kok," ucap Apriva sambil tersenyum. "Gue malah seneng direpotin lo kayak gini."

Apriva mengambil sebuah tisu. Lalu ia mengelap sudut bibir Jihan yang kotor. Ada sedikit saus spagetti di sana.

"Nggak usah, makasih," ucap Jihan setelah menyadari pergerakan Apriva.

"Makan kok sampe belepotan sih," ucap Apriva sambil terkekeh.

Jihan hanya tersenyum singkat.

:::::

GAVHAN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang