27 - Putus

822 55 1
                                    

"Tumben banget Gavin nggak ngajakin lo ke kantin," ucap Fia sambil melahap bakso di hadapannya.

"Gue juga nggak tahu," ucap Jihan. "Sejak kemarin, gue nggak ngobrol sama dia. Gue chat aja nggak dibales, cuma diread doang."

"Lo ada salah kali sama dia," ucap Ambar.

Jihan menggelengkan kepalanya, tanda tidak tahu. Bakso di hadapannya hanya ia aduk-aduk dengan pandangan tanpa minat.

"Lo sendiri, masih ada rasa sama Wildan?" tanya Fia pada Ambar.

Ambar mengangkat kedua bahunya. "Nggak tahu," jawabnya enteng.

"Nggak tahu?" tanya Fia bingung.

"Kayaknya gue udah mati rasa deh sama Wildan," ucap Ambar. "Jadi biasa aja gitu."

"Bagus," ucap Fia. Ia menjeda sebentar. "Nggak ada gunanya mencintai orang yang nggak mencintai kita. Bukannya bahagia, malah sakit hati."

"Bener tuh. Kayak gue aja nih, sama-sama mencintai," ucap Jihan.

"Tuh," ucap Ambar sambil melirik pintu kantin.

Jihan memutar badannya, memandang pintu kantin yang ia belakangi. Ada Gavin CS tengah berjalan memasuki kantin. Ditambah Vivi yang berjalan sambil memeluk lengan Gavin dari samping.

"Heh!" Dwi menggebrak meja yang berisi dua siswa kelas sepuluh. "Pindah!" usirnya.

"I-iya, Bang," sahut adik kelas itu ketakutan. Ia pindah bersama mangkuk di tangannya ke lain meja.

Gavin dan teman-temannya duduk, begitu juga dengan Vivi. Mereka terlihat mesra. Dan Gavin terlihat tidak menolak semua perlakuan Vivi kepadanya.

"Kok Gavin sama Vivi?" tanya Fia.

Jihan mengalihkan pandangannya dari Gavin. Dadanya terasa sesak sekali. Ingin rasanya ia menjadi buta saja untuk sementara agar tidak melihat pemandangan itu.

"Kalian ada masalah?" tanya Ambar pada Jihan yang menunduk.

"Gue nggak tahu," jawab Jihan jujur. Dia memang tidka tahu salahnya apa.

"Kalau ada masalah, diselesaikan. Jangan malah saling menghindar kayak gini," ucap Fia.

"Iya, Han. Lebih baik lo temuin dia deh, ngomong baik-baik," ucap Jihan memberi saran.

"Sekali-kali, cewek ngalah juga nggak papa," tambah Fia.

:::::

Jihan Cassalova:
Temuin aku di belakang perpustakaan, aku mau ngomong.

Gavin membaca sederet chat yang baru masuk di ponselnya.

"Kalian duluan, gue mau ke toilet," ucap Gavin pada teman-temannya. Mereka habis dari kantin, hendak masuk ke dalam kelas.

"Perlu gue temenin gak, Bos?" tanya Hanung. "Lumayan lah bisa liat pemandangan langka. Pemandangan si Bos lagi pipis," ucapnya.

"Gue cukil mata lo dulu, mau?" ancam Gavin dengan mata melotot.

"Ampyun Bang!" ucap Hanung.

"Ada-ada aja lo, Nung! Setan emang," cibir Dwi. Ia menarik kepala Hanung dan membawanya masuk ke dalam kelas.

Gavin berjalan menuju ke perpustakaan. Lorong-lorong dan koridor sekolah sudah sepi. Para siswa dan siswi sudah masuk ke dalam kelasnya masing-masing.

Gavin memandang bangunan perpustakaan di depannya. Sepi, perpustakaan ditutup hari ini. Tak mau buang-buang waktu, Gavin melangkah menuju belakang perpustakaan.

"Gav," ucap Jihan ketika melihat Gavin. Ia sudah menunggu cukup lama di bawah pohon mangga yang tumbuh di belakang perpustakaan itu.

"Mau ngomong apa?" tanya Gavin to the point dengan nada datar sedatar-datarnya.

Jihan menatap Gavin dalam-dalam. Gavin menatapnya dengan tatapan yang lain dari biasanya. Semacam tatapan malas.

"Kamu menghindar," ucap Jihan. "Kenapa?"

"Emangnya kenapa kalau aku menghindar?" Gavin malah bertanya balik. Ia memberikan Jihan pertanyaan yang Jihan sendiri tidak tahu harus menjawab apa.

"Kamu tadi ke kantin sama Vivi, kenapa?" Jihan mengalihkan pembicaraan. Membahas pemandangan menyakitkan yang ia dapati di kantin tadi.

"Nggak pa-pa."

"Kamu suka sama Vivi?" tanya Jihan. Ia berharap bahwa Gavin akan menjawab tidak. Tapi ...

"Iya," jawab Gavin. Jawaban itu seperti petir yang menyambar Jihan. Tidak terduga, tidak disangka. "Dia nggak suka ngatur-ngatur kayak kamu," lanjut Gavin.

"Kamu udah nggak sayang lagi sama aku?" tanya Jihan. Air matanya sudah berada di pelupuk, siap untuk jatuh kapan saja.

Seharusnya Jihan tidak menanyakan hal itu. Gavin menyukai Vivi, itu yang Jihan dengar. Berarti memang sudah tidak sayang pada Jihan kan?

"Seharusnya, aku yang tanya itu ke kamu," ucap Gavin. "Kamu udah nggak sayang aku lagi kan?"

Tes

Air mata Jihan turun. Bersamaan dengan rasa sesak dan sakit di tenggorokannya.

"Kamu emang nggak pernah bisa sayang sama cowok kayak aku, Han. Kamu nggak pantes dapet cowok kayak aku. Kamu pinter, baik, rajin, kesayangannya guru-guru. Wildan atau Apriva yang lebih pantes buat disandingin sama kamu," ucap Gavin.

Jihan mengusap air matanya dengan kasar. Namun, tetap saja ada air mata berikutnya yang menetes.

"Nggak usah nangis, aku nggak butuh drama kamu," ucap Gavin menusuk.

"A-aku nggak suka sama Apriva, apalagi sama Wildan," ucap Jihan dengan tenggorokan yang rasanya tercekat.

"Kamu pikir aku percaya?" tanya Gavin.

Gavin menunjukkan tatapan meremehkan pada Jihan. Wajahnya ia dekatkan hingga Gavin bisa melihat wajah Jihan yang memerah karena menangis.

"Kita putus aja, Han. Percuma. Kita nggak akan pernah cocok," ucap Gavin.

Jihan memandang Gavin dengan sendu. Ia tidak menyangka bahwa Gavin akan berkata seperti itu.

"Pu-putus?" tanya Jihan dengan seluruh ketidakpercayaannya.

"Iya, putus," jawab Gavin enteng. "Kita sendiri-sendiri aja mulai sekarang. Kita jadi aku kamu yang nggak lagi satu."

"Nggak, Gav," tolak Jihan. "Kamu udah bikin aku jatuh cinta. Siapa pun yang udah masuk ke kehidupan aku, nggak akan aku biarin pergi dengan mudah," ucapnya dengan air mata yang menderas.

Gavin menatap Jihan dengan tajam. "Kamu berani nahan aku buat pergi?"

Nyali Jihan menjadi ciut ketika Gavin menatapnya seperti itu. Jihan menundukkan kepalanya, membiarkan beberapa air mata jatuh sampai ke tanah.

"Kamu liat diri kamu, pantes nggak kamu dipertahankan? Kamu nggak bisa bikin aku bahagia, Han. Kamu nggak pernah mau diajak jalan kayak orang-orang yang pacaran pada umumnya. Isinya cuma belajar, belajar, belajar! Kamu kira aku nggak pengin jalan-jalan sama pacar aku kayak yang lainnya?" ucap Gavin.

"Aku emang nggak pernah mau kamu ajak jalan, Gav. Aku emang nggak pernah mau diajak keluyuran kayak orang pacaran pada umumnya. Tap--"

"Nah itu, kamu tahu," ucap Gavin memotong ucapan Jihan. "Aku sama kamu pacaran, tapi seakan-akan aku nggak punya pacar. Kemana-mana sendiri."

Kemudian hening di antara mereka. Jihan tidak tahu harus berkata apa untuk menahan Gavin.

"Jadi, mulai hari ini kita putus," ucap Gavin.

Jihan menatap punggung Gavin yang berjalan menjauh darinya. Sampai punggung itu menghilang di ujung sana.

'Dari sini, aku melihatmu yang satu per satu melangkah pergi. Tanpa aku bisa merelakan kamu yang beranjak menjadi masa lalu,' batin Jihan dalam hati.

Jihan terduduk, lututnya melemas. Belum pernah ia merasakan patah hati sehebat ini. Ia pikir, patah hati terhebat adalah mendapat nilai di bawah KKM. Tapi ternyata ada yang lebih menyakitkan lagi.

:::::

GAVHAN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang