Saat jam pelajaran usai, Adel dan Miko langsung pergi ke toko perlangkapan melukis yang berada di Jl. K.S. Tubun. Toko itu sudah menjadi tempat langganan Adel membeli perlengkapan melukis.
"Mik, seharusnya tadi kita makan dulu. Aku lapar," ucap Adel sambil memegang perutnya.
Miko celingak-celinguk melihat sekelilingnya, dan saat Miko menoleh ke belakang, matanya tertuju pada tulisan 'Bober Cafe'. Tempat itu tidak terlalu banyak pengunjung, mungkin Adel akan merasa nyaman.
"Ya udah kita beli bahan-bahannya dulu baru cari makan," ucap Miko lembut.
Mereka pun langsung masuk ke toko perlengkapan alat lukis. Adel mengambil lima kanvas cadangan serta kuas kecil yang cocok untuk melukis. Sedangkan, Miko memilih cat air dan tempatnya.
Setelah mereka selesai mengambil perlengkapkan melukis, Adel langsung membayarnya. Sebelumnya Miko sudah mengatakan jika ia yang membayar, tapi Adel terus menolak. Tidak ingin memperpanjang masalah, Miko pun menyetujuinya.
"Ayo, makan. Laper."
"Iya bawel. Cepat naik." Miko memberikan helm pada Adel.
"Iya-iya."
🌱🌱
Tidak membutuhkan waktu yang lama, Adel dan Miko pun sampai di Bober Cafe. Mereka mengambil meja nomor tiga, lalu memesan makanan untuk mengisi perut mereka siang ini. Berkali-kali Adel membuka ponselnya membuat Miko penasaran, apa yang sedang Adel tunggu.
"Del," panggil Miko.
"Eh, iya. Kenapa?"
"Kamu yang kenapa? Aku liatin kamu kayak lagi nunggu sesuatu." Curiga Miko membuat Adel memikirkan jawaban apa yang akan ia lontarkan.
"Hmm, enggak apa-apa. Cuman ...."
"Cuman apa?" ucap Miko tidak sabar.
"Pipis. Ya, aku kebelet. Tunggu sebentar ya." Adel pun langsung lari ke toilet.
Ketika ia sudah berada di toilet, ia langsung membuka aplikasi instagram. Ia berdengus kesal karena Rio tidak membalas pesannya. Dibaca pun tidak. Bukan apa-apa, Adel hanya menginginkan pria itu memberikan kabar padanya.
Ia melihat wajahnya dari pantulan kaca sambil senyuman dan berkata, "Kamu bodoh, Del. Seharusnya kamu gak terlalu berlebihan gini. Dari awal, dia cuman anggap kamu adek. Gak lebih."
Sekarang Adel menyalahkan dirinya yang mempunyai perasaan lebih pada Rio. Padahal ia tidak perlu menyalahkan diri sendiri, karena jika ia benar-benar mencintai pria itu, mau bagaimana pun caranya ia tidak akan pernah bisa menjauh. Aku bukan orang yang dia mau, batin Adel.
Adel mengembuskan napasnya kasar lalu kembali menemui Miko. Kalau ia tidak segera ke sana, Miko pasti mencurigainya.
"Sorry ya lama. Soalnya tadi antri."
Miko mengangguk. "Iya gak apa-apa. Ya udah makan, kamu pasti lapar, kan?"
"Tau aja kamu."
"Habis makan, kita langsung ngerjain tugas atau gimana?" tanya Miko.
"Pulang. Besok aja kita ngerjainnya."
"Del, mau nanya dong."
"Nanya apa?"
"Cowok yang biasa sama kamu ke mana? Tumben, aku gak lihat dia."
Baru beberapa menit Adel ngelupain Rio. Miko malah menanyakannya hal itu lagi. Ia terdiam sejenak, lalu berkata, "Dia lagi ke Malang selama satu bulan ini. Dia ke sana karena ada pertandingan basket."
"Kenapa harus di Malang?" Adel menaikkan pundaknya acuh karena ia juga tidak tahu apa alasannya.
Peluang buat bikin Adel jatuh cinta sama aku semakin besar, batin Miko.
🌱🌱
Huek ....
Rio menoleh ke Jessica, ia melihat Jessica tengah mual. Mungkin karena ia tidak terbiasa naik pesawat, makanya perut Jessica terasa mual. Dengan inisiatif, Rio memberikan masker agar ia tidak terlalu mual dan meminjamkan headphone supaya pikirannya tenang.
"Makasih, Lang," ucap Jessica.
"Iya," jawab singkat Rio.
Perhatian yang kini Rio berikan pada Jessica adalah sesuatu yang wajar. Akan repot jadinya kalau Jessica muntah di dalam pesawat. Namun, Jessica memanfaatkan hal ini supaya Rio lebih berempati dengannya.
"Lang, boleh senderan gak?"
"Iya terserah." Sebenarnya Rio mulai risih dengan sikap aneh Jessica.
Membiarkan Jessica menyender di pundaknya, ia membuka ponselnya. Di situ ia melihat notifikasi dari Adel yang sengaja tidak ia buka. Ia ingin fokus dengan pertandingan karena ini salah satu impian dari papanya waktu masih hidup.
"Pa ... Papa harus kuat. Jangan tinggalkan kami," kata Rio menyemangati papanya yang sudah terkulai lemas.
"Kamu se ... bagai anak laki-la ... ki, jagain Mama dan Kakak kamu."
"Iya, Pa. Papa harus kuat."
"Ini sudah takdir Papa, Nak. Papa ha ... rus pergi. Wujudkan impian Papa ya, Nak."
Sedangkan Netta dan Reni sudah menangis di sebelah ranjang Andre. Mereka semua tidak rela dengan kepergiannya. Rio dan Reni akan kehilangan sosok ayah dalam hidupnya. Begitu juga dengan Netta, ia akan kehilangan suami tercintanya.
Tit ....
Tit ....
Garis berwarna hijau di pendeteksi jantung itu sudah mulai hilang. Menandakan bahwa jantung Andre sudah mulai lemah dan akan pergi meninggalkan mereka semua.
Rio menggerakkan tubuh Andre, berharap ia hidup kembali tapi takdir berkata lain. Hatinya sangat terpukul ketika tahu papanya sudah tidak bernyawa lagi.
"Papaaa!!!" teriak Rio dan Reni.
"Ma, Papa pasti bercanda, kan," kata Rio yang masih tidak percaya.
"Sudah, Nak. Ikhlas, kan Papamu. Biarkan dia tenang di sana," ucap Netta dengan suara yang serak.
TBC ....
Jangan lupa vote ya❤Semangat Rio!
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyimpan Rasa [ On Going ]
Novela Juvenil[Open feedback setiap hari jum'at] Di sekolah ini tidak hanya aku saja yang menyukainya. Hampir seluruh anak SMAN 1 Bandung tahu tentang seorang siswa yang bernama Rio. Mungkin aku akan memiliki rasa dengannya, tapi aku akan menyimpannya. Kenapa har...