🐧 Part 42 🐧

41 3 3
                                    

Hari sudah semakin gelap, Adel masih mengunci diri di kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari sudah semakin gelap, Adel masih mengunci diri di kamar. Ia memeluk guling sembari menatap ke arah jendela. Gadis ini melihat bayang-bayang mamanya yang sedang tersenyum. Tanpa ia sadari, air mata itu mengalir membasahi pipinya lagi. Adel benar-benar belum siap ditinggal pergi selamanya. Ditambah lagi ia tidak bersama dengan wanita paruh baya itu di detik-detik terakhir.

Sedari tadi Adel pun sengaja tidak mengacuhkan notifikasi yang masuk karena lagi tak ingin diganggu oleh siapa pun. Rasanya ia malas menanggapi mereka. Saat ini yang Adel butuhkan adalah orang-orang yang memberikan semangat dan rangkulan untuk menjalani kebiasaan-kebiasaan yang belum pernah ia lakukan.

Ia meringkuk ke arah pintu dan tak sengaja melihat baju berwarna abu-abu yang dulu pernah diberikan Rio. "Kayaknya Kak Rio udah lupa. Apa jangan-jangan dia udah jadian sama Kak Jes? Ah, biarkan. Sekarang aku malas memikirkan hal-hal yang tidak penting." Adel memejamkan mata.

Otak, hati, dan mulut gadis itu sangatlah tidak sinkron. Otaknya selalu ingin memikirkan bagaimana Rio di Malang bersama Jessica, hatinya benar-benar merindukan lelaki itu dan berharap memberikan kabar. Sedangkan mulut Adel terus-terusan berkata 'tidak'. Berusaha mengalihkan semuanya seolah ia tidak berpikir dan merasakan hal tersebut.

Di tempat lain, ada seorang pria yang tengah kumpul dengan teman-temannya dari berbagai macam sekolah. Ia mengambil satu batang rokok, lalu ia bakar pada ujung batangnya. Di kala ia menghisap rokok, salah satu temannya menepuk pundak lelaki itu.

"Cara lo ngerokok jelek, Mik," ejek Anto.

"Gue gak terbiasa ngerokok kayak kalian," kata Miko santai.

"Tumben lo ngerokok. Lagi ada masalah? Cerita sini." Roy menyenggol lengan Miko.

"Kagak, cuma lagi mau ngerokok aja."

"Alah sia boy." Teman-teman Miko tertawa.

Miko tidak mungkin menceritakan pada teman-temannya. Ia malu karena ini akan menjadi kali pertama ia membahas tentang perempuan. Makanya, ia lebih memilih untuk diam dan menyelesaikan sendiri. Miko pun tahu, jika ia menceritakan pada teman-teman pasti mereka akan meledek dan menertawakan dirinya.

🌱🌱

Tidak melihat adiknya keluar kamar, Ray pun berinisiatif datang ke kamar. Tak hanya sekedar datang, ia juga tidak lupa membawa makanan serta susu cokelat hangat kesukaan  Adel.

"Tumben gak dikunci," ucap Ray pelan.

Ketika masuk ke kamar Adel, kedua bola mata Ray tertuju pada tempat tidur yang sudah tersusun rapi. Ia berjalan mendekati tempat tidur karena melihat ada secarik kertas putih di atas bantal. 'Aku keluar sebentar' seperti itulah yang Adel tulis. Ray menaruh makanan di meja, lalu keluar dari kamar mengambil jaket dan kunci mobil untuk mencari adiknya. Lelaki itu sangat khawatir. Takut terjadi sesuatu yang buruk pada Adel. Apalagi sekarang sedang hujan. Rasa khawatir itu semakin menjadi. 

Di pertengahan jalan, Ray teringat tempat yang sering dikunjungi adiknya. Tanpa pikir panjang, ia pun langsung segera ke sana karena yakin Adel pasti ada di sana.

Tak memerlukan waktu yang lama, ia sampai di Taman Vanda. Ray mulai mencari Adel. Setiap orang yang lewat, selalu ia tanyakan dengan menyebutkan ciri fisik. Siapa tahu ada yang mengetahui keberadaan Adel.

"Ada apa, Mas? Kelihatannya kok panik," tanya salah satu pengunjung.

"Lagi cari adik saya," jawab Ray.

"Ciri-cirinya seperti apa? Siapa tahu saya lihat. Soalnya saya di sini sudah lama," jelasnya ramah.

"Orangnya agak pendek, rambutnya pendek, jaketnya warna merah," kata Ray.

"Hmm, sepertinya tadi saya lihat. Dia nampak sedih. Kalau gak salah dia duduk dekat pohon di sana, Mas," ucapnya sambil menunjukkan arah.

Ray mengangguk. "Terima kasih."

"Sama-sama, Mas."

Kaki Ray tertuju ke arah pohon yang ditunjuk orang tadi dan ternyata benar saja ada Adel yang tengah duduk sembari menatap kosong air mancur di depannya. Ia menghampiri Adel, lalu memeluk erat dengan satu tangan.

"Eh? Aku sengaja ke sini, mau nenangin diri," kata Adel pelan.

"Tapi abang khawatir sama kamu. Apalagi ini sudah malam. Hujan lagi," kata Ray sambil memayungi Adel.

"Biarin aku kehujanan. Supaya gak ada yang tahu kalau aku lagi nangis. Aku gak mau orang lain tahu." Adel berusaha menghindari payung.

"Hey, nanti kamu sakit. Abang tahu kamu sedih, tapi asal kamu tahu mama bakalan lebih sedih lihat kamu gini." Perkataan Ray membuat Adel terdiam dan menangis lagi.

Ray tidak tega melihat adik satu-satunya sedih apalagi sampai menangis seperti itu. Ia mengelus punggung Adel untuk memberikan sebuah ketenangan. Semuanya akan baik-baik saja. Sedih boleh, tapi jangan terlalu berlarut dalam kesedihan. Takut nanti berdampak buruk pada kesehatan fisik maupun mental.

TBC ....
Jangan lupa vote ya ❤

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menyimpan Rasa [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang