🐧 Part 39 🐧

42 5 4
                                    

Ray mengelus pundak Aryo untuk menenangkannya sembari menunggu jawaban dari dokter

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ray mengelus pundak Aryo untuk menenangkannya sembari menunggu jawaban dari dokter. Pada saat itu perasaan Ray semakin tidak enak karena melihat ekspresi sang dokter yang tampak enggan untuk bicara dan Ray juga melihat kedua bola mata dokter itu sedikit menurun.

"Dok, gimana mama saya, baik-baik saja kan?" tanya Ray.

"Maaf. Istri bapak tidak bisa diselamatkan. Ginjalnya sudah tidak bisa berfungsi dengan baik lagi dan di situ saya juga melihat ada pembengkakan pada ginjal istri bapak," jawab Sang Dokter.

"Dok, saya rela kok membayar berapa pun biayanya asal istri saya selamat. Dok, saya mohon," ucap Aryo memohon.

"Maaf, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi jika Tuhan sudah berkata lain," jelasnya.

Hati kedua pria itu sangat terpukul ketika mendengar kabar yang seharusnya tidak dikatakan oleh dokter tersebut. Aryo tersungkur dan menangis tanpa suara sembari mengepalkan kedua tangan untuk menyalurkan rasa emosi. Sedangkan Ray, ia mengusap wajahnya kasar. Perasaannya campur aduk sebab belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Ia juga tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Adel ketika tahu mamanya sudah tidak ada.

"Permisi, Pak. Jenazahnya mau dimandikan di sini atau di rumah?" tanya seorang perawat wanita.

"Di sini aja, Sus," jawab Ray.

"Baik. Kalau begitu bapak dan Mas bisa ke bagian administrasi untuk mengurus biaya yang harus bapak bayarkan."

"Terima kasih, Sus."

"Sama-sama, Mas," jawabnya seraya tersenyum.

Tak lama kemudian, Aryo dan Ray pun pergi ke bagian administrasi. Di saat Aryo tengah mengurus administrasi, Ray duduk di kursi tunggu. Tatapan Ray kosong ketika melihat ruang IGD. Ia merasa waktu berputar begitu cepat, baru kemarin Ray makan bersama dengan keluarga kecilnya di meja makan. Tempat di mana keluarga kecil ini berkumpul. Selalu ada canda tawa, pertengkaran kecil, dan tempat untuk bertukar cerita.

Kepergian Ema sangat berpengaruh besar bagi kedua anak dan suaminya. Meskipun Ray sudah dewasa, ia masih membutuhkan kasih sayang seorang Ibu. Apalagi Adel yang masih duduk di bangku SMA, sudah pasti membutuhkan perhatian lebih. Jika Ray tahu mamanya akan pergi, maka ia akan mengajak bercengkrama dan melihat senyuman indah itu untuk terakhir kalinya.

🌱🌱

"Aw!" Adel langsung meniup jari manisnya.

Carline menoleh. "Kenapa, Del?"

"Enggak. Cuma kejepit meja aja tadi." Adel tersenyum.

"Ooo, aku pikir kenapa."

Kenapa tiba-tiba aku kepikiran mama? Ada apa dengan mama? Gak seperti biasanya begini. Ah udahlah, paling perasaan aku aja, batin Adel.

Tak lama kemudian, guru Fisika masuk kelas X MIPA 4. Diikuti pula dengan Miko, lalu ia langsung duduk di tempatnya. Adel membisikkan Miko, "Mik, lukisannya gimana? Kamu simpan di mana?"

"80 persen sudah selesai. Aku simpan di aula supaya nanti ambilnya gak kejauhan," kata Miko pelan.

"Ooo, maaf ya yang tadi. Aku gak bermaksud apa-apa. Cuma-"

"Ssstt ... gak apa-apa."

"Adel dan Miko kalian ngapain? Bapak perhatiin dari tadi kalian bisik-bisik. Bicarain apa? Kalau mau pacaran nanti kalau bapak sudah keluar," kata Pak Wijaya.

"Eng-enggak. Maaf, Pak," jawab Adel gugup.

Ketika Pak Wijaya berkata seperti itu, satu kelas melihat ke arah Adel dan Miko. Entah kenapa mereka berdua malah jadi salah tingkah. Adel jadi merasa enggan menatap pria di sebelahnya. Sedangkan Miko, ia mencari kesibukan sendiri dengan berpura-pura membaca buku. Padahal di buku itu hanya ada gambar vektor. Lucu banget kalau lagi salah tingkah.

Setelah itu Pak Wijaya melakukan absensi agar tahu siapa saja yang tidak hadir. Absensi itu hanya berlangsung selama lima menit. Pak Wijaya membuka salah satu buku paket yang ia bawa, lalu langsung mulai pembelajaran. Dipertengahan pembelajaran, semua murid di kelas mulai mengantuk. Setiap pelajaran Fisika, Pak Wijaya hanya menjelaskan saja. Mungkin karena itu para murid di kelas merasa kantuk.

"Rian, Rian," panggil Pak Wijaya.

Tidak ada sahutan, Pak Wijaya datang menghampiri Rian yang sedang tertidur. Teman sebangku Rian langsung menginjak kakinya supaya terbangun.

"Aduh, sakit bego," kata Rian tanpa mengetahui keberadaan Pak Wijaya di sebelahnya.

"Ekhm." Dehem Pak Wijaya.

Rian menoleh. "Eh, Pak. Kenapa, ya?"

"Siap-siap aja nilai kamu bapak coret." Ancam Pak Wijaya.

"Jangan, Pak. Tadi saya ngantuk dengerin bapak curhat," jawab Rian.

"Siapa yang curhat? Bapak menjelaskan materi ke kalian."

"Kirain saya bapak curhat." Rian menyengir.

"Keluar kelas sekarang!" tegas Pak Wijaya.

"Lah kenap-"

"Gak usah banyak ngomong."

Rian pun keluar kelas. Bukannya sedih, tapi ia malah senang. Akhirnya ia bebas dari pelajaran Fisika yang membosankan. Tak ada yang ia kerjakan, ia pun pergi ke UKS untuk melanjutkan tidur. Baru beberapa menit Rian memejamkan mata, tiba-tiba seorang guru menghampirinya.

"Sakit apa, Nak?"

"Aduhhh, saya sakit perut, Bu. Maag saya kambuh. Dari pagi saya belum makan."

"Makan dulu, Nak. Mau roti? Ibu ada roti. Kasian perut kamu kosong."

Untung percaya gurunya hahaha, batin Rian.

Sedangkan di kelas, masih belajar pelajaran Fisika. Nampak dari masing-masing siswa sudah mulai gelisah. Bergerak ke sana-sini seperti cacing kepanasan. Mereka sudah tidak sabar mendengar suara bel istirahat.

Tet!

Tet!

"Bapak tahu, pasti kalian dari tadi nungguin jam pelajaran selesai 'kan?"

"Iya, Pak. Hehehe."

"Ya, sudah. Selamat siang." Pak Wijaya pun keluar kelas.

Setelah Pak Wijaya keluar, semua murid merasa senang. Sebagian dari mereka ada yang pergi ke kantin, bermain game, membaca novel, makan bekal yang mereka bawa, dan sholat di mushola. Namun, berbeda dengan Adel. Ia justru ingin cepat-cepat pulang karena mau bertemu dengan mamanya dan makan bersama.

TBC ....
Jangan lupa vote ya ❤

Menyimpan Rasa [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang