Part; 26

596 67 2
                                    

Kehening dalam ruangan kerja begitu membosankan bagi CEO muda yang kini bersandar dikursi kekuasaannya sambil menghela napasnya berlahan.

Mata tajamnya tertuju pada ruang didepan pandangannya, ruangan yang biasanya ditempati oleh sekretarisnya atau sahabatnya itu kini tanpa ada penghuni.

Dentingan jam memenuhi pendengarannya disaat keadaan sudah menjelang malam ia masih terdiam enggan beranjak dari sana.

Apa ia harus pulang keapartemennya?

Bagaimana ia berbicara lagi pada pria manis itu?

Sudah tiga hari tanpa ada respon yang berarti diberikan padanya.

Ragu.

Ragu itu kembali.

Perasaanya kacau, inilah yang tidak ingin ia rasakan.

Mereka seperti orang asing dalam ruang yang sama bertemu tanpa ada perbincangan. Ingin memulai tapi sudah dihentikan oleh pria manis yang kini tinggal bersamanya, mungkin sebentar lagi tidak?

Bodoh.

Berapa kali ia harus mengakatakan itu pada dirinya sendiri?

Tangan panjangnya ia arahkan membuka laci, kotak kecil persegi berwarna biru malam terdapat didalamnya.

"semua itu dari perasaan ragumu, kau tidak mau maju bahkan mundur. Kau ingin mencoba tapi kau tidak tahu harus apa,"

"buang semua sikap ragu dan kau harus mencobanya... Jihoon dengan sikap dinginnya hanya akan memandang lurus tidak ingin membantah perkataanmu."

Daniel memang pengecut sejati.

Peluang besar selalu ada padanya dulu. Seharusnya Daniel tidak menggunakan pikirannya. Tapi hatinya.

Tidak memahami Jihoon bukan berarti dia menyerah dengan begitu mudah.

Marah.

Daniel marah pada dirinya sendiri.

Membenci dirinya sendiri.

Keadaan menjadi tarik ulur diantara mereka. Sangat lucu.

Lucu dengan keadaan.

Daniel keluar dari kantornya, ia akan pulang.

Untuk kelanjutan 'bagaimana membuat Jihoon bersuara' akan Daniel pikirkan nanti.

Yang kini Daniel ingin cepat-cepat keapartemennya untuk makan malam berdua dalam kesunyian menyelimuti mereka. Tidak apa, setidaknya Jihoon masih bersamanya. Semoga saja.

.
.
.
.
.

Daniel membuka pintu apartemen mewahnya dengan cepat.

Langkah lebar itu memasuki ruangan demi ruangan yang sunyi seperti biasanya. Meja makan sudah dipenuhi oleh makanan belum disentuh membuatnya tersenyum samar.

Kini Daniel mengarah kekamarnya yang gelap tanpa ada penerangan. Ia mengerutkan dahinya sambil menyalakan skalar lampu tepat disamping pintu ia berdiri saat ini.

Penerangan sudah memenuhi kamarnya dan terlihat Jihoon yang tidur meringkuk disofa menghadap kaca besar yang terbentang kerlap lampu kota dengan langit yang kini menampakkan bintangnya.

Daniel membawa tubuhnya mendekat dan berjongkok melihat Jihoon terlelap dengan tenang.

Kening Jihoon dipenuhi keringat membuat Daniel menyentuh kening itu sebentar. Masih hangat. Menghela napasnya pelan.

Jihoon sakit terlalu lama. Apa Daniel harus membawanya ke rumahsakit?

Tubuhnya bangkit dan mengangkat tubuh yang lebih kecil dalam gendongannya untuk ia rebahkan ke tempat tidur.

I'll be there for you, I'm here for you (NIELWINK)√ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang