Di kamar, Via belum bisa memejamkan mata. Sebentar-sebentar posisi badannya berbalik ke kiri, ke kanan atau terlentang. Begitu seterusnya. Beginilah kalau belum waktunya untuk tidur lalu dipaksakan untuk tidur. Berbagai cara telah Via lakukan bisa tertidur. Membaca salah satunya. Sudah dua buku bacaan yang dihabiskannya, tetapi matanya belum juga meredup malah semakin terbuka. Kemudian dia membersihkan kamar dengan maksud agar cepat lelah dan tertidur, yang ada malah berkeringat dan berakhir dengan mandi. Bisa dipastikan setelah mandi kondisi tubuh malah segar kembali alih-alih mengantuk. Via kesal dengan dirinya tetapi, tidak bisa berbuat apa-apa.
Tadi sebelum Bowo datang, dia masih menemani papanya mengobrol. Tetapi, begitu terdengar suara mobil memasuki pekarangan, Via pamit ke kamar dan berusaha untuk tidur. Seperti biasa jika, Bowo ke rumah, dia selalu gelisah tidak tenang dan hanya bisa berbaring memandangi langit-langit kamarnya dalam diam. Seharusnya kondisi ini diakhiri dan Via pun sudah siap mengambil sebuah keputusan. Namun saat ngobrol dengan papanya tadi, papanya mencoba memberikan pandangan pada Via agar bisa mengambil keputusan yang tepat, tidak didasari hanya karena satu kejadian saja dan membuat semuanya berantakan. Mereka harus membicarakan permasalahan ini berdua. Dan jika ingin mengakhiri, mereka harus memutuskannya bersama, tidak sepihak saja tanpa mau mendengarkan alasan dari pihak yang lain. Menurut papanya, Bowo adalah lekaki yang bertanggung jawab. Hal itu yang selalu diyakini oleh papanya. Via dilema.
"Papa tahu Bowo tidak sengaja mencelakai kamu, Nak. Tetapi apapun keputusan kamu, Papa serahkan ke kamu. Semoga itu yang terbaik." Hal yang sangat Via kagumi dari papanya adalah sikap papanya yang sangat menghargai keputusannya. Semua memang tergantung padanya.
Baru sebulan menikah kemudian cerai. Akhhh... rasanya Via ingin berteriak saja. Tetapi menikah tanpa didasari rasa cinta, rasanya mustahil untuk diteruskan. Apalagi adanya kejadian ini, Bowo menyebabkan dirinya terluka. Tidak menutup kemungkinan kejadian tersebut akan terulang jika terjadi perselisihan di antara mereka. Via jelas trauma.
Via masih berusaha memejamkan mata, namun sampai jarum jam menunjuk angka 23.00 wib, dia masih saja gelisah. Via biasanya mudah tertidur. Namun, seminggu ini dia sulit tidur, melamun dan tidak semangat melakukan aktivitas. Via juga menjauh dari pergaulan. Namun di depan papanya, Via berusaha selalu tersenyum. Biarlah dia yang merasakan, jangan papanya.
Via memutuskan keluar kamar menuju dapur untuk membuat coklat panas. Jam segitu biasanya Bowo sudah pulang. Via butuh sesuatu yang membuatnya tenang dan bisa tidur.
"Via."
Langkah Via mendadak berhenti. Suara berat itu rasanya dekat sekali. Apa itu hanya halusinasinya saja. Via menoleh dan terkejut mendapati Bowo sudah berada di sampingnya. Lampu ruang tengah, ruang makan dan dapur memang sudah dipadamkan sejak tadi dan Via tidak menyangka jika Bowo masih ada. Biasanya jika tidak berhasil menemuinya, Bowo langsung pulang.
"Maaf."
Hanya kalimat pendek itu yang bisa Bowo ucapkan dengan sangat pelan sambil memandang Via dengan tatapan lembut penuh harap. Via diam, tidak tahu harus berbuat apa dan merespon ucapan Bowo. Dia hanya mampu terpaku, meremas telapak tangannya yang jadi basah karena keringat. Selalu seperti itu yang Via rasakan jika berdekatan dengan Bowo, gugup.
Bowo berinisiatif menyalakan lampu kemudian meraih tangan Via. Via hanya menunduk tetapi tidak menarik tanggannya yang digenggam Bowo dengan erat. Memang hanya telapak tangan, tapi baru kali inilah Bowo menyentuhnya. Via terkesiap, kaget dengan respon suaminya.
"Maaf ya." Sekali lagi Bowo mengucapkan kata maaf masih dengan suara pelan nan berat sambil mengusap pungggung tangan Via.
Mereka masih berdiri di tengah ruang yang berbatasan dengan dapur. Bowo kemudian menarik dengan lembut Via untuk duduk. Walaupun Via masih diam, Bowo sangat berbahagia karena berhasil menemui Via, wanita yang mulai dia cintai. Bowo sendiri bingung, kapan rasa cinta itu mulai tumbuh. Yang dia tahu, sejak Via meninggalkan rumah, dia merasa ada bagian dirinya yang kosong. Di kantor dia bisa lupa karena larut dengan pekerjaan, tetapi begitu tiba di rumah, rasa sepi itu mulai menggerusnya.
Bowo akui, Via sangat telaten dalam mengurus rumah mereka. Mereka hanya berdua di rumah itu, juga sangat jarang berkomunikasi, tetapi ada rasa nyaman yang Bowo rasakan jika balik dari kantor mendapati Via yang sudah sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuknya. Via tetap bekerja setelah menikah, tetapi dia selalu sudah tiba di rumah sebelum Bowo kembali dari kantor. Dan biasanya Via sudah bergelut di dapur begitu dia masuk rumah. Hal yang selalu membuatnya nyaman, merasa dihargai sebagai suami.
"Aku..." Masih dengan menunduk, Via mencoba berbicara.
"Hmm...?" Bowo meremas dengan lembut tangan istrinya, kemudian menunduk mendekatkan wajahnya.
"Aku belum bisa pulang." Suara Via terdengar nyaris berbisik. Betapa gugupnya berada sedekat ini dengan Bowo.
"Oh, nggak apa." Bowo dengan cepat menanggapi ucapan Via. "Masih mau di sini temanin Papa?"
Via hanya mengangguk menjawab pertanyaan Bowo. Walaupun hanya anggukan tetapi Bowo sudah ingin berteriak dan langsung memeluk Via, tetapi tentu saja hal itu harus ditahannya. Jika hal tersebut dia lakukan, bisa-bisa Via kabur lagi masuk ke kamar dan menggagalkan usahanya untuk meminta maaf. Via kemudian beranjak ke dapur diikuti Bowo yang berjalan di belakangnya.
"Aku belum makan." Via menoleh, melihat Bowo yang tersenyum malu setelah mengucapkan kalimat itu. Tak sadar Bowo menyentuh perutnya sambil meringis. Baru kali ini Via melihat wajah Bowo seperti itu. Biasanya wajah itu keras dengan mata yang menyorot tajam.
"Masih bisa menunggu? Aku panaskan dulu ya." Bowo mengangguk sambil tersenyum lebar. Kurang lebih sepuluh menit, makanan sudah disiapkan Via dan langsung disantap Bowo dengan lahap. Akhirnya Bowo bisa merasakan kembali masakan istrinya. Masakan yang beberapa hari ini sangat dirindukannya. Indra pengecapnya sudah terbiasa dengan apa pun hasil olahan Via. Tak ada ada alasan untuk mencela karena semua masakan olahan istrinya bisa memenuhi seleranya.
Via memperhatikan Bowo yang telah menikmati santap malamnya dengan ekspresi yang sepertinya baru kali ini dia melihatnya. Ekspresi penuh rasa sukacita terpancar dengan sangat jelas pada wajah yang kini malah terlihat semakin tampan di mata Via. Astaga, mengapa pikirannya malah ke sana. Tak sadar Via menggelengkan kepala mengeyahkan pikiran tersebut. Beruntung hal itu tidak menjadi perhatian Bowo yang lebih asyik dengan makanan yang ada di hadapannya. Via pastikan Bowo menolak ajakan papanya untuk makan malam karena menunggu dirinya. Pria keras kepala ini punya tekad yang kuat juga.
"Aku boleh tidur di sini?" Bowo menatap Via yang masih asyik menyesap coklat panasnya. Bagaimanapun ini rumah ayah mertuanya, jadi sudah sewajarnya jika dia meminta izin terlebih dahulu jika ingin menginap.
Via mengerutkan kening sebentar. Dia mengamati wajah suaminya. Ada guratan lelah di sana. Via mengangguk mengiyakan.
Bowo kemudian keluar ke arah garasi. Di mobil dia mengambil ransel yang berisi pakaian ganti yang memang sengaja dibawanya hari ini. Perlengkapan ganti yang sudah dia siapkan sebelumnya. Tadi dia sudah merencanakan, apa pun yang terjadi dia harus nekat menunggu sampai Via mau menemuinya. Tidur di sofa pun akan dia lakukan asal bisa bertemu Via. Yang pasti, hari ini dia harus bertemu Via. Tindakan nekatnya ini juga telah dia sampaikan pada ayah mertuanya. Setelah sekian waktu gagal, akhirnya hari ini usahanya pun berhasil.
*****
Semoga versi revisi ini semakin menarik ya.
Tinggalkan vote dan komennya ya.
Thank you.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendar Melati (complete)
RomanceTulisan ini diikutkan dalam GMG Hunting Writers 2021 ~*~ Via sama sekali tidak menyangka jika alur kehidupan mengharuskan dia menjalani pernikahan dengan Bowo. Pernikahan yang tidak didasari rasa cinta sedikit pun. Ayahnya hanya meyakinkan Via, jik...