7. Awal Yang Bersyarat (2)

4.9K 478 22
                                    

Yuda memasuki gedung bertingkat di kawasan pusat kota Jakarta, yang siang itu nampak ramai di area lobby. Walaupun sudah sering bolak balik masuk ke gedung tersebut tetapi sesuai prosedur dia masih harus ke bagian Receptionist untuk menukar ID cardnya dengan kartu akses agar bisa menuju lift yang mengantarnya ke lantai 37. Tiba di lantai tujuan dia menghampiri meja sekretaris yang berada di samping ruangan yang tertutup rapat.

"Bos ada Nin?" Nina, sekretaris Bowo menyambutnya dengan senyum ramah.

"Ada Bang, masuk saja ya. Sudah ditunggu kok." Yuda mengangguk sembari mengucapkan terima kasih kemudian mengetuk pintu ruangan.

"Masuk!" terdengar suara berat dari dalam.

"Siang Pak Bowo."

"Siang, Yuda. Ada perkembangan terbaru apakah?" tanya Bowo sambil mempersilahkan Yuda duduk di sofa tamu yang terletak di depan meja kerjanya.

"Pak Wiryatama ingin bertemu Bapak. Bisa kapan ya Pak?"

"Hari Rabu , bisa nggak Yud? Secepatnya sih kalau bisa."

Hari ini Senin, berarti lusa Bowo sudah bisa bertemu Wiryatama. Yuda mengambil ponselnya untuk menghubungi Wiryatama.

"Saya pastikan jadwalnya dengan Pak Wiryatama dulu ya Pak?"

"Boleh, silakan."

Pada dering yang kedua, panggilan Yuda diterima Wiryatama.

"Siang Pak. Pak Bowo ingin bertemu Bapak hari Rabu jam sepuluh pagi. Apa Bapak ada waktu?" Terdengar tarikan napas diseberang sana.

"Bisa Pak Yuda. Saya ke kantor Pak Bowo atau gimana?"

Yuda menutup mic ponselnya kemudian bertanya ke Bowo untuk tempat pertemuan yang dijawab dengan cepat oleh Bowo yang bersedia untuk ke kantor Wiryatama.

"Pak Bowo yang akan ke kantor Bapak."

"Baik Pak Yuda, terima kasih." Sambungan telepon kemudian ditutup.

Di seberang sana Wiryatama masih bertanya-tanya dengan antusiasme Radibowo Hadipratomo, pemilik perusahaan multinasional, untuk membeli saham perusahaannya yang hanya kelas menengah bahkan saat ini hampir kolaps. Pengusaha yang berumur di awal 40 an, sudah masuk dalam dalam jajaran pengusaha besar dan sangat disegani. Beruntung Wiryatama masih bisa mempertahankan 25% kepemilikan sahamnya yang tadinya diminta 100% oleh Radibowo Hadipratomo. 25% tersebut dipersiapkan Wiryatama untuk Via. Hanya harta yang tersisa tersebut yang bisa dia wariskan ke putrinya selain rumah yang mereka tinggali saat ini yang nyaris Wiryatama gadaikan untuk menutupi kerugian.

Wiryatama sudah mendengar sepak terjang Radibowo Hadipratomo sejak tiga tahun yang lalu. Beberapa project yang dikerjakan berhasil ditangannya. Juga usaha lain yang dijalankan pria itu cukup mampu membuat pesaingnya ciut ketika berhadapan langsung. Wiryatama hanya bisa berharap, perusahaan yang dimilikinya ini tidak sekedar selingan dari rutinitas seorang Radibowo Hadipratomo tetapi dia sangat berharap perusahaan ini bisa bangkit kembali walaupun dia sudah tidak punya kekuasaan penuh untuk mengaturnya. Perusahaan yang dirintisnya penuh perjuangan akhirnya harus dia relakan sahamnya ke tangan orang lain.

Hari Rabu, tepat jam sembilan, Bowo sudah berada jalan utama pusat kota menuju kantor Wiryatama. Jarak apartemennya dengan kantor Wiryatama tidak jauh, masih di kawasan pusat kota Jakarta, yang normalnya membutuhkan tiga puluh menit saja untuk sampai ke tujuan. Bowo melihat jam yang ada di lengan kanannya. Masih ada empat puluh lima menit lagi sesuai kesepakatan, pertemuannya dengan Wiryatama. Sepertinya masih cukup waktu untuk mampir sarapan. Kantor Wiryatama berada di daerah pusat kuliner yang terkenal di kawasan Jakarta Pusat. Seharusnya jam seperti ini, umumnya orang-orang sudah sarapan atau paling tidak sudah pada menyesap secangkir kopi. Tapi masih saja dia kesulitan menemukan tempat parkir. Saat dia berhenti di depan rumah makan Padang yang sangat terkenal di daerah Bendungan Hilir, tepat sebuah mobil meninggalkan tempat parkir. Juru parkir langsung mengarahkannya untuk masuk ke area parkir yang sudah kosong. Bowo sangat jarang sarapan yang terlalu berat, tetapi pagi ini entah mengapa dia semangat untuk mencoba kuliner yang berkuah santan dan pedas. Saat Bowo bersiap untuk masuk, seorang pelayan membukakan pintu dan seorang lagi menghampirinya dan mengarahkan Bowo ke lantai 2. Beberapa pasang mata meliriknya dan ada juga yang menatapnya agak lama saat dia berjalan menuju tangga. Dengan postur tinggi ditunjang wajah yang tampan jelas akan mengalihkan mata setiap orang, khususnya kaum hawa, untuk berpaling sejenak dari hal yang sedang dilakukan, semoga mereka tidak tersedak saja. Bowo melangkah tanpa peduli. Dua puluh menit Bowo sarapan sambil sesekali menerima telepon atau mengecek pesan yang masuk. Salah satu pesan yang masuk adalah dari Yuda.

Pendar Melati (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang