12. Menapak Asa

4.9K 497 25
                                    

Bowo masuk ke kamar, di saat yang sama Via keluar dari kamar mandi habis membasuh muka dan gosok gigi setelah bangun kesiangan. Ada rasa malu terpatri di sana namun, Via berusaha bersikap tenang.

"Sudah sarapan?" tanya Via ke Bowo. Berduaan di kamar seperti ini membuat gugup yang sering Via rasakan kambuh lagi. Lama-lama dia bisa bisa pingsan kalau begini terus. Via harus punya cara lain untuk meredam rasa gugup yang sering kali menyergapnya.

"Sudah tadi bareng Papa." Bowo duduk di tepi tempat tidur sambil mengamati Via.

"Sini Vi," ajak Bowo sambil menepuk tempat kosong di sampingya. Selalu saja dia gemas melihat gestur salah tingkah istrinya.

Via menoleh. Terdiam sebentar, ragu, tetapi mengikuti permintaan Bowo. Setelah Via duduk, Bowo memutar badannya menghadap Via. Kali ini benar-benar Via sudah ingin pingsan. Bowo semakin mendekatkan wajahnya ke Via. Efeknya pipi Via mulai memanas. Semoga degup jantungnya yang sudah seperti genderang perang tidak terdengar Bowo. Tangan Bowo terangkat, memegang pipi Via sembari berucap,

"Honey, I'm so sorry."

Mata Via membulat. Tidak menyangka kejadian barusan. Bowo memanggilnya 'honey' sambil memegang kedua pipinya. Yang dia dengar barusan tidak salah kan? Atau hanya mimpi?

Kejadian selanjutnya, Bowo menarik Via dalam dekapannya. Via hampir saja tidak bisa bernapas. Kejadian itu sangat cepat dan tidak diduganya. Badannya terasa kaku. Tetapi ketika tangan Bowo mengusap dengan lembut kepalanya, Via sudah bisa sedikit mengendurkan ketegangan.

"Masih marah?" tanyanya kemudian.

Bagaimana mau marah jika diperlakukan seperti ini? Yang benar saja. Tapi ini hanya percakapan dalam hati Via.

"Dulu iya, sekarang sudah nggak."

"Thank God."

Bowo masih memeluk Via. Rasanya sangat nyaman seperti ini. Harusnya hal ini sering mereka lakukan, bukankan mereka sudah menjadi pasangan yang resmi? Tetapi setelah menikah, Via malah menjauh. Mungkin ini waktu yang tepat untuk dia tanyakan ke Via.

"Vi, setelah kita menikah sepertinya kamu sering banget diam. Boleh aku tahu, ada apa?"

Mendengar itu tangan Via otomatis bergerak memeluk pinggang Bowo, agak mencengkeram seolah-olah ingin mencari kekuatan.

"Maaf, aku belum bisa menjadi pasangan yang baik." Hanya kalimat itu yang bisa Via ucapkan. Dia belum sanggup mengungkapkan semuanya. Sangat sulit untuk membagi yang ada di hatinya dengan Bowo. Bowo melepaskan pelukan. Diraihnya jemari lembut istrinya kemudian menatapnya dengan sayang.

"Via, jika ada yang kamu khawatirkan, just let me know. Okay?"

Dengan perlakuan Bowo begini, Via jadi tegang. Wajah yang kadang dilihatnya kaku, juga tatapan yang tajam menghilang, digantikan dengan wajah yang hangat dengan tatapan yang membuat hati Via seolah mulai melayang. Bagaimana jika Bowo melakukan hal yang romantis lainnya? Bisa-bisa dia sudah terbang.

"Iya."

"Kamu sarapan dulu ya. Baru sembuh, harus jaga kondisinya, Sayang."

Via akan berdiri, tetapi masih ditahan Bowo. Ciuman lembut mendarat dibibirnya. Via mengerjap, mematung sejenak lalu dengan cepat berdiri dan bergegas ke ruang makan. Dia sampai memegang bibirnya yang tadi dicium Bowo. Ya ampun, ciuman pertamanya ternyata direnggut oleh suaminya.

Setelah Via ke luar kamar, Bowo menarik nafas lega. Lega, karena jika Via masih di kamar, Bowo tidak tahu apakah masih bisa menahan diri atau tidak. Melihat pipi Via yang sering merona jika dia menyentuhnya, atau sikapnya yang gugup kala dia mendekat, sering membuatnya gemas. Mengingat itu membuat sesuatu mengeras di bawah sana. Hasrat yang selama ini bisa diredamnya dengan pekerjaan seakan meronta ingin dibebaskan. Bowo ke kamar mandi. Dia harus meredakan dulu sebelum Via kembali ke kamar. Aktivitas yang sudah lama tidak pernah dilakukannya apa boleh buat harus dia laksanakan agar tidak membuat penghuni di dalam sana merintih menahan beban yang harus dilepaskan.

Pendar Melati (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang