10. Terwujud

4.2K 403 9
                                    

Saat makan siang, Bowo jadi tahu Via teman ngobrol yang sangat asyik. Walaupun usia Via jauh di bawah usianya, kegemaran mereka beberapa ada yang sama. Mereka sama-sama menyukai musik aliran rock progressive dan fusion. Merekapun bertukar lagu yang tidak dimiliki. Bowo menjadikan lagu yang diberikan Via menjadi nada dering khusus untuknya. Sepertinya dia harus mempercepat langkah selanjutnya.

"Awal bulan depan, kita menikah."

Kalimat itu membuat Via tersedak. Bergegas Bowo berdiri dan memberikan minum. Tanggannya juga mengusap dengan lembut punggungnya.

"Kecepatan ya?" tanya Bowo.

"Ehhhh...?!" Via tak tahu harus memberikan reaksi seperti apa. Yang pasti dia terkejut. Pipinya memanas, entah karena makanan atau efek dari kalimat Bowo barusan. Batuk Via sudah berhenti tetapi Bowo masih berada disampingnya memastikan dia sudah baik-baik saja.

"Atau kamu ada ide buat pernikahan kita?" tanya Bowo kembali yang hanya dijawab gelengan kepala oleh Via.

"Mama yang akan atur semuanya. Nggak keberatan kan?" tanya Bowo kemudian sambil kembali ke tempat duduknya.

"Nggak sama sekali." Ya ampun, pria di depannya ini antusias sekali. Sementara dirinya sampai saat ini masih meragu. Via mengikuti saja alurnya. Bowo memang sudah di awal usia 40 tahun. Tetapi badannya sangat terjaga, sama sekali tanpa lemak. Dengan tinggi sekitar 180 cm lebih, dia terlihat menjulang. Rambut halus di pipi dan dagunya dibiarkan tumbuh tetapi tidak lebat dan terlihat rapi. Via juga belum melihat warna keperakan di rambut Bowo yang dibiarkan agak panjang. Dengan penampilan seperti itu, orang yang melihatnya akan terkecoh dengan usianya.

Bowo mengantar kembali Via ke kantor. Saat Via masuk, Firga sedang berada di lobby .

"Makan siang dengan siapa Vi?"

"Anaknya Ibu Farni."

"Radibowo? Lho, kenal sama dia toh?" tanya Firga memastikan. Ada apa sampai Via harus berhubungan langsung dengan anaknya. Biasanya yang berhubungan dengan mereka Ibu Farni. Radibowo juga bukan client mereka.

"Iya." jawab Via singkat.

"Ada prospek kerja sama nggak Via?'

"Nggak ada hubungannya sama kerjaan kok. Hanya makan siang biasa aja. Yang beli saham perusahaan Papa, kan dia."

"Oh begitu. Ya udah Via, gue ketemu client dulu dan nanti gue langsung pulang ya." Di jalan Firga masih memikirkan hubungan antara Via dan Radibowo. Tidak biasanya Via jalan dengan orang yang baru dikenalnya. Via itu kelihatan cuek tetapi sebenarnya perhatian. Juga mudah tersentuh dengan kondisi orang lain. Akhir-akhir ini dia sudah jarang ngobrol lama dengan Via. Irsan juga sudah sibuk di rumah sakit sehingga waktu mereka untuk bertemu sudah sangat jarang.

Sudah menjadi rutinas baru bagi Bowo dan Via melewatkan makan siang bersama. Selama itu pula, intensitas komunikasi di antara mereka mulai meningkat. Hanya Via masih bingung untuk memanggil Bowo. Kadang dia hanya memanggil nama saja namun tak jarang juga dia menambahkan kata 'mas' di depan nama Bowo. Bowo tidak terlalu memusingkan, santai saja. Khusus hari ini, Bowo tidak mengajak makan siang tetapi menjemput Via setelah jam kantor usai. Dia ingin mengajak Via makan malam di rumah mamanya.

"Kita makan malam di rumah Mama ya. Mama ingin ketemu kamu."

Jalan dari arah Fatmawati ke Sudirman sangat padat. Butuh waktu hampir satu jam, mereka akhirnya tiba di kawasan Kebayoran Baru. Selama itu Bowo memutar lagu-lagu yang mereka gemari.

"Kapan-kapan jika salah satu dari mereka konser di Indonesia, kita nonton yuk," ajak Bowo yang diiyakan dengan cepat oleh Via. Gila saja, nonton konser mereka bisa sangat mahal dan Via harus mulai menabung untuk itu. Tidak sadar dia terseyum.

'Kenapa?"

"Pasti mahal tiketnya."

"Aku yang traktir kok, nggak usah khawatir." Mereka lalu tertawa. Memang asyik jika bertemu teman ngobrol yang punya hobi yang sama, nyambung saja.

Jujur, kadang Via sering risih karena Bowo tipe laki-laki yang tidak ragu untuk menyentuh fisik. Dia bisa langsung memegang tangan Via atau menggenggamnya masuk ke restoran atau jika sedang berjalan berdua menyusuri area parkir. Tak jarang Via sering tersentak jika tangannya sudah dipegang, tetapi di saat yang sama, berada dalam genggaman Bowo juga sangat nyaman.

Tiba di rumah mamanya, Bowo langsung mengandeng Via masuk ke ruang tengah.

"Ma, sudah ada Via nih."

"Ayo Via, ke meja makan aja. Pasti kalian sudah lapar." Farni memeluk Via dengan hangat.

Setelah Via sudah duduk di meja makan, Bowo pamit ke kamarnya. Dia ingin mencuci muka, rasanya sudah gerah dan lengket. Tidak berapa lama, Bowo sudah bergabung kembali di meja makan. Bowo sudah mengganti kemejanya dengan kaos polos navy dan celana panjang berbahan katun warna khaki. Walaupun Bowo sudah tinggal di apartemen yang dekat dengan kantornya, dia masih menyimpan pakaian di rumah mamanya, sehingga tidak repot jika harus menginap.

Via jadi tahu, jika dengan pakaian santai seperti itu Bowo malah terlihat jauh lebih menawan. Air yang masih tersisa di bagian depan rambutnya dibiarkan menetes. Via buru-buru mengalihkan perhatiannya ke makanan yang sepertinya sangat lezat. Bahaya, sepertinya pesona Bowo mulai merasuki sanubarinya.

"Winda nggak jadi makan malam bareng, Ma?"

"Tadinya mau, tapi setelah terima telepon, dianya langsung pergi."

Bowo mulai mengambil makanan. Begitu juga dengan Via. Di tengah mereka bersantap malam, Farni mulai membicarakan pernikahan yang akan digelar dalam waktu dekat.

"Via bersedia kan jika pernikahannya awal bulan depan? Bowo sudah nggak sabaran tuh. Tante juga sudah ngomong ke Papa dan sudah setuju."

Via melirik Bowo, yang dilirik hanya tersenyum, mengganguk, membenarkan perkataan mamanya.

"Boleh Tante."

"Kalau dari Via, yang akan diundang siapa aja?"

"Dua teman Via aja Tante, Firga dan Irsan." Mengundang Firga dan Irsan dengan tiba-tiba seperti ini, Via sudah siap diberondong pertanyaan dari keduanya.

"Sudah siap benaran mau menikah?" Itu pertanyaan dari Irsan. Serasa Via masih usia labil saja. Dia sudah 26 tahun lho, usia yang cukup untuk menikah, kalau Irsan lupa.

"Yakin lo dengan Radibowo?" Kali ini Firga. Sepertinya Firga belum yakin Bowo bisa membahagiakannya.

"Gue sudah siap. Papa juga sudah menerima lamarannya, jadi gue nggak bisa menolak. Bantu doanya aja ya." Keduanya hanya bisa terdiam mendengar jawaban Via. Papa Via saja sudah menerima, apa iya mereka yang menolak? Firga dan Irsan hanya bisa berharap semoga Via bahagia dengan pria itu.

Dan tibalah hari 'H' yang dinantikan itu. Malamnya Via berusaha memejamkan mata. Apapun akan dihadapinya. Dari pihak Via hanya ada lima orang saja, papanya, Firga, Irsan, Nadi dan Nur. Di pihak Bowo, dua belas orang. Semua kepala cabang wilayahnya diundang ke Jakarta, jajaran direksinya, Yuda dan sekretarisnya, Nina.

Pernikahan dengan konsep sederhana, berada di halaman belakang rumah keluarga Hadipratomo yang ditata dengan apik. Sederhana namun indah. Via hanya bisa bersyukur, keinginannya bisa dikabulkan Farni. Seharusnya Via sudah memanggilnya 'mama', tetapi Via masih sulit untuk mengucapkannya. Mengucapkan kata 'mama' sering membuat Via ingin menangis. Tadi saja Via sudah menangis mendengar wejangan papanya. Kalau saja mamanya masih ada, apakah Via bisa menjalani ini?

Para tamu sudah meninggalkan rumah. Halaman juga sudah dibersihkan. Wiryatama masih berbincang dengan Farni. Pernikahan yang sederhana saja, tetapi cukup membuat Via lelah. Via duduk sambil menekan kakinya. Dilepasnya heels. Jari-jari kakinya terasa kram. Via masih menunduk memegang kakinya, ketika sebuah tangan ikut menekan betisnya dengan lembut.

"Capek ya?" Bowo sudah melepas jasnya, tersisa kemeja putih yang sudah digulung hingga lengan bagian atas.

"Iya."

"Kita istirahat aja di kamar. Yuk..."

Via terkesiap. Di kamar? Apakah Bowo akan langsung meminta haknya? Jujur, Via belum siap. Dia sama sekali buta cara melayani suaminya nanti. Rasa hatinya sudah tak karuan.

*****

Pendar Melati (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang