Bowo belum berencana kembali ke Indonesia dalam waktu dekat. Dia masih ingin mengembangkan usaha yang dirintis bersama teman kuliahnya setelah mengabdi cukup lama, lima tahun lebih, pada biro konsultan Design and Engineering milik dosennya ketika telepon dari Farni, mamanya, bergema di ruang kerja siang itu.
"Ya Ma?"
"Kamu pulang ya!" Ini kali ke tiga Farni memintanya kembali ke tanah air dan sepertinya tak terbantah lagi. Bowo sudah tidak punya alasan untuk menunda kepulangannya. Semua alasan yang dia berikan untuk menunda kepulangannya tak ada lagi yang manjur, mental semuanya. Firasatnya yang mengatakan jika ada sesuatu yang buruk terjadi pada keluarganya. Hanya saja mamanya tidak mengungkapkan apa yang telah terjadi.
Kejadian dua tahun lalu dan butuh waktu hampir setahun mempertimbangkan, akhirnya Bowo memutuskan kembali untuk mengambil alih tanggung jawab perusahaan. Jika diminta untuk memilih, dia pasti lebih senang mengembangkan usahanya sendiri, tetapi kejadian yang tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya mengingat kehangatan hubungan keluarganya, harus dia terima. Papanya pergi bersama kenangan masa lalu, meninggalkan keluarga yang sangat menghormati dan mengaguminya. Kenangan masa lalu yang ternyata tetap bersemayam dalam hati papanya yang bahkan kehadiran mereka pun tidak bisa menghapusnya.
Bowo mencari-cari kesalahan yang sekiranya telah mereka buat sehingga papanya tersinggung dan memutuskan untuk pergi. Namun sampai saat ini, dia tidak menemukannya. Masa lalu papanya itulah yang menjadi penyebabnya. Mengapa masa lalu sangat berarti buat papanya? Mengapa masa lalu bisa mengalihkan semuanya? Bowo tidak tahu sedalam apa cinta papanya pada wanita itu. Yang pasti, mamanya, dirinya dan Winda tidak bisa mencegah kepergian papanya.
Setelah tiba di tanah air, Bowo langsung bergerak, menyelesaikan dengan cepat beberapa dokumen dan pengalihan nama beberapa aset menjadi milik mamanya, dia dan Winda. Setelah itu dia mulai menyelidiki keluarga dari masa lalu papanya. Dia penasaran dengan keluarga wanita yang telah berhasil merebut papanya. Walau dia juga tahu jika keluarga itu sama menderitanya dengan mereka, ditinggal orang tercinta.
"Yud, kamu selidiki keluarga Wiryatama ini ya," info Bowo pada orang kepercayaannya sambil menunjukkan foto Wiryatama. Bowo sering mempercayakan sesuatu yang bersifat rahasia ke Yuda. Orang kepercayaannya itu sudah lama ikut dengannya dan ditugaskan untuk hal-hal khusus baik pekerjaan maupun pribadi.
"Baik Pak."
Mulai saat itu, setiap seminggu sekali, tepatnya setiap hari Sabtu, Yuda bertemu Bowo untuk melaporkan hasil penyelidikannya.
"Jadi Pak Wiryatama punya anak perempuan?" tanya Bowo heran. Dia tidak pernah mendengar anak perempuan dari keluarga itu. Sebentar, apakah anak perempuan itu yang selalu dia temui di beranda rumah yang sering dia kunjungi dengan papanya? Anak perempuan yang mampu membuatnya mengalihkan rutinitas latihan basket di sekolah. Jika benar, maka ini akan semakin menarik. Bowo harus menyelidikinya lebih lanjut. Rasa penasarannya semakin bertambah.
"Iya Pak. Memang nggak pernah disorot, sepertinya dari keluarga istri Pak Wiryatama juga nggak menyukai cucu perempuannya."
"Oh, ya? Kenapa?"
"Pak Wiryatama nggak disukai sama mertuanya Pak. Dari info yang saya dapatkan, Pak Wiryatama dianggap kurang sederajat dengan mereka."
"Masih ada aja yang seperti ini." Bowo geram. Sepertinya status sosial sangat berpengaruh. Mengapa sih orang harus dibedakan berdasarkan status sosial? Hal yang sangat dibenci Bowo.
"Kenyataannya seperti itu sih Pak."
"Lanjutkan ya Yud."
"Baik Pak."
Hari Sabtu berikutnya, Yuda kembali melaporkan hasil penyelidikannya. Herviana Wiryatama, perempuan lajang berumur 26 tahun dengan tinggi 168 cm, punya segudang prestasi yang seharusnya membanggakan keluarganya, tetapi prestasi tersebut belum cukup untuk diterima di keluarga ibunya.
"Herviana tidak bekerja dengan papanya?" tanya Bowo heran setelah mendengar info dari Yuda.
"Tidak pak. Herviana membuka konsultan desain besama temannya. Selain mengejarkan beberapa project design, Herviana melakukan kegiatan sosial juga."
"Kegiatan sosial sepertia apa?" Mulai menarik pikir Bowo.
"Herviana setiap hari Sabtu mengajar anak-anak jalanan di RPTRA."
"RPTRA?" Bowo mengernyit.
"Ruang Publik Terpadu Ramah Anak, Pak."
"Selain itu, kegiatan sosial dia apa lagi?"
"Herviana sering banget membantu mendesain rumah tanpa dibayar untuk kalangan bawah Pak. Selain mendesain, dia juga kadang terjun langsung mengawasi pembangunannya."
"Perusahaan papanya, bagaimana Yud?"
"Perusahaan Pak Wiryatama lebih banyak di design and build sih Pak. Tetapi saat ini, sepertinya kondisi keuangan perusahaannya sedang menurun. Penyebabnya kerugian yang cukup besar saat mereka mengerjakan proyek properti di Kalimantan," lanjut Yuda.
"Penyebab utama kerugian apa ya?" tanya Bowo.
"Desain harus diubah menyesuaikan kondisi tanah di lokasi Pak. Pada saat itu sudah mulai pelaksanaan, budget jadi membengkak."
"Ada peluang untuk masuk nggak Yud?"
"Maksud Pak Bowo?"
"Saya mau membeli saham perusahaan Pak Wiryatama." Ini cara halus dia untuk mengambil alih perusahaan itu. Dengan menguasai saham dengan proporsi yang lebih besar, otomatis dia yang akan mengendalikan perusahan itu.
"Akan saya cari tahu dan atur ya Pak," jawab Yuda lalu pamit meninggalkan Bowo.
Bowo bisa saja menggunakan cara frontal untuk masuk kemudian mengambil alih perusahaan Wiryatama, tetapi dia masih punya hati untuk tidak menggunakan cara tersebut. Hal yang membuatnya berhati-hati mengambil tindakan adalah mamanya.
"Mama tahu kamu sangat benci dengan keluarga Wiryatama, tetapi jangan pernah menggunakan cara kasar ya. Mama nggak pernah ajarin kamu berbuat begitu." Mamanya sangat tahu dia tidak akan pernah memaafkan papanya. Dia memang tidak seperti mamanya yang akhirnya mengikhlaskan kepergian papanya dengan masa lalu yang selalu ada di hatinya. Sebegitu berartinyakah wanita itu sehingga papanya rela meninggalkan keluarganya?
"Herviana..." Bowo mengucapkan nama itu sambil bergumam. Diambilnya foto yang tadi diberikan Yuda. Foto Herviana yang sedang berada di tengah anak-anak sambil tertawa. Tawa yang lepas dan sangat menarik di mata Bowo. Apakah Herviana mirip dengan sikap mamanya? Bowo akan mencari tahu. Dan dia sudah punya tahapan rencana pada Wiryatama dan putrinya. Di tengah jalan yang mulai padat merayap, Bowo menerima telepon dari Yuda.
"Ada perkembangan apa Yud?"
"Pak Wiryatama berencana melepas sahamnya Pak."
"Kamu segera atur, pastikan saya yang membeli sahamnya," tegas Bowo. Sepertinya rencana awal bisa dijalankan lebih cepat dari perkiraan Bowo. Apakah semesta telah berkonspirasi untuk mendukungnya? Jika iya, Bowo sangat berterima kasih.
"Papa mau jual perusahaan ini?" tanya Via pada papanya. Via tahu perusaahaan itu sangat berarti buat papanya, yang dengan susah payah didirikan hingga bisa sebesar seperti sekarang, tetapi kendala yang datang juga tidak kalah banyaknya di tengah persaingan yang semakin besar dengan perusahaan yang sejenis. Apakah papanya harus kalah? Via khawatir dengan kondisi papanya.
"Papa tidak menjual seluruhnya Via, hanya melepas beberapa persen saham saja agar kondisi keuangan bisa membaik dan perusahaan ini tetap bisa berjalan."
"Sudah ada yang berminat Pa?"
"Ada, sangat berminat malah. Papa juga heran, secepat ini ada yang membeli tanpa menawar sama sekali. Tetapi papa masih pertimbangkan, karena dia ingin menguasai 75% saham perusahaan."
"Waduh... kok sebanyak itu Pa?" Via terkejut. 75%, artinya jika benar papanya melepas sebesar itu, maka sama saja perusahaan bukan milik papanya lagi.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendar Melati (complete)
RomanceTulisan ini diikutkan dalam GMG Hunting Writers 2021 ~*~ Via sama sekali tidak menyangka jika alur kehidupan mengharuskan dia menjalani pernikahan dengan Bowo. Pernikahan yang tidak didasari rasa cinta sedikit pun. Ayahnya hanya meyakinkan Via, jik...