5. Yang Pertama

6.3K 598 22
                                    

Via merutuki diri mengiyakan keinginan Bowo untuk tidur malam ini di rumah papanya. Tadinya Via bermaksud menolak, namun dia tidak tega melihat guratan kelelahan yang sangat jelas di wajah suaminya. Suaminya? Apa masih bisa status ini disandangnya? Via menghela napas sambil merapikan kembali meja makan. Lalu bagaimana dia akan bersikap pada Bowo? Seharusnya Via tidak perlu bingung, toh saat di rumah mereka tidur pada kamar yang berbeda. Masalahnya, saat ini Bowo ingin menginap di rumah ini dengan kamar yang terbatas.

Lalu malam ini Bowo akan tidur di mana? Di kamarnya-kah? Ada satu kamar tamu, tetapi kamar itu sudah lama dijadikan gudang tempat barang-barang peninggalan mamanya yang sudah tiga tahun tak sekalipun Via melihatnya. Jika kamar itu dibuka, akan menyisakan sakit hati mengingat peristiwa tiga tahun lalu yang sangat berbekas di hati Via dan papanya. Kalaupun ada yang membukanya, itu dilakukan oleh Nadi. Kamar itu sesekali dibuka untuk dibersihkan.

Bowo sudah kembali masuk ke ruang tengah sambil menenteng ranselnya. Wajahnya sudah tidak ditekuk namun tersenyum. Akhirnya permohonan maafnya diterima. Semua beban berat yang ada di pundaknya hilang tak berbekas. Kini dia berjanji akan membuat Via bahagia selama mereka bersama dan juga bersumpah jika kejadian ini akan menjadi yang pertama dan terakhir.

"Vi, aku tidurnya di kamar kamu kan?" Bowo seolah meminta izin sebelum masuk ke kamar Via. Sudah beberapa kali Bowo pernah tidur di kamar itu. Namun situasi dia dan Via yang baru saja berbaikan membuatnya sungkan untuk langsung masuk ke kamar.

"Iya." jawab Via datar tanpa menoleh, masih sibuk mengelap meja makan kemudian merapikan kembali taplaknya. Maaf sudah dia berikan, tetapi mengapa berdekatan dengan Bowo membuatnya sering gugup seperti ini? Lantas bagimana jika akhirnya mereka harus tidur dalam satu kamar? Via bergidik membayangkan.

Bowo melangkah masuk ke kamar Via. Wangi yang biasa Bowo dapati ketika berpapasan dengan Via di rumah langsung menyambutnya begitu membuka pintu. Tak sadar dia menarik napas, menghidu dengan cepat wangi floral yang selama satu minggu ini sangat dirindukannya. Rasa hangat seketika menyelusup ke dalam raganya.

"Bawa handuk?" Via mengikuti Bowo ke kamar.

"Hanya bawa baju ganti aja." Bowo menggaruk tengkuknya yang tak gatal, efek canggung berhadapan dengan Via. Bisa begini padahal biasanya dia tidak pernah canggung di mana pun berada. Dia selalu penuh rasa percaya diri yang sering membuat siapa pun yang berhadapan dengannya akan terintimidasi. Istrinya ini memang sudah membawa pengaruh yang luar biasa pada dirinya.

"Owhh..." Via bergegas membuka lemari, mengambil handuk bersih dan memberikannya pada Bowo.

"Makasih." Bowo tersenyum dengan manisnya membuat wajahnya yang tampan semakin indah untuk dipandang dan membuat Via sampai kesulitan menarik napas. Masih diperhatikan seperti ini saja, Bowo sudah merasa sangat bahagia.

Saat Bowo sudah mulai melepas kancing kemejanya satu persatu, Via balik badan keluar dari kamar. Rasanya risih banget melihat hal itu yang seharusnya biasa saja, toh mereka kan suami istri. Tetapi lagi-lagi Via membantin. Apa iya saat ini status mereka masih sama?

Via melangkah ke ruang baca. Sebaiknya dia membaca saja daripada isi kepalanya melanglang buana. Via sudah memposisikan diri dengan baik di sofa panjang, membaca sambil tiduran. Baiknya dia tidur di ruang baca, tak terbayang tidur seranjang dengan Bowo. Sangat horor pastinya. Tetapi bagaimana jika papanya terbangun dan mendapati Via tidur di sini, bukan di kamarnya? Apa papanya tahu kalau malam ini Bowo menginap di rumah? Baru saja dirinya akan tertidur, papanya keluar dari kamar.

"Lho, kamu tidur di ruang baca? Kamarmu kenapa?" Via langsung terduduk.

"Emmm.... Bowo ada di kamar Via, Pa," jawab Via meringis ke arah papanya.

"Lha, terus kenapa?" balas papanya dengan raut bingung.

"Tadi Bowo sudah izin ke papa nungguin kamu sampai kamunya mau ditemui, jadi papa suruh tinggal aja." Via diam, tidak tahu harus menanggapi perkataan papanya. Papanya tidak tahu saja jika selama mereka menikah belum sekalipun mereka tidur pada tempat yang sama alih-alih menjalankan tugas sebagai pasangan suami istri.

"Ya sudah, papa tahu kamu masih berat untuk memaafkan, tapi jangan dipendam ya Nak. Selesaikan dengan baik urusan kalian. Vi, tolong ambilkan buku yang warna coklat itu, tadi papa lupa bawa ke kamar," kata papanya sambil menunjuk buku berwarna coklat yang ada di rak bagian tengah. Setelah menerima buku dari Via, papanya kembali masuk ke kamar.

Via melirik jam di dinding, sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Apa Bowo sudah tidur ya? tanyanya dalam hati. Via berjalan ke kamar, diam sebentar di depan pintu dalam ragu kemudian dengan pelan membukanya.

Lampu besar telah dipadamkan dan hanya lampu kecil yang berada di nakas di samping Bowo yang masih menyala namun, Via melihat Bowo sudah tertidur. Via berdiri di sisi tempat tidur dan memutuskan berbaring. Tempat tidur king zisenya jadi terasa mengecil diisi dengan dua orang. Bagaimana kalau tidurnya nanti mengganggu Bowo? Via yakin selama ini kalau tidur tidak pernah balik sana sini sih, atau punya gerakan ekstrim seperti anak-anak yang bisa berputar 180 derajat tetapi, tetap saja dia khawatir kalau saat tidur gerakannya tidak terkontrol. Mana degup jantungnya juga sudah mulai aneh. Dengan gerakan yang sangat pelan Via naik ke tempat tidur tetapi sebelumnya menyusun bantal di tengah sebagai pembatas dirinya dan Bowo.

Bowo berbalik, tangannya hampir saja menyentuh Via. Bowo mengangkat kepala memastikan yang berbaring di sampingnya adalah Via. Diamatinya wajah Via, perban di dahinya sudah dilepas. Tangan Bowo terulur ingin menyentuh luka itu namun berhenti di udara, khawatir tidur Via akan terusik dengan sentuhannya. Baru kali ini dia bisa menatap wajah Via begitu dekat. Betapa indah wajah ini dalam tidurnya, batin Bowo.

Via sangat nyaman dalam tidurnya. Posisi Bowo masih menyamping memandangi wajah Via yang berada di ujung bantal yang berada di tengah. Bowo tersenyum, sebegitu khawatirnyakah Via sehingga harus menumpuk bantal dan menaruhnya sebagai pembatas? Seharusnya setelah menikah, dia bisa saja menuntut haknya tetapi itu tidak dilakukannya. Dia akan menjalani pernikahan ini sejauh mana bisa bertahan. Sebulan lebih mereka menikah, Bowo bisa menyesuaikan dengan kondisi Via. Setidaknya, dari hasil info orang yang kepercayaannya untuk menyelidiki Via dan keluarganya, Bowo tahu seperti apa istrinya. Dan faktanya, dia mulai menyayangi Via.

"Apakah kamu nggak keberatan menjalani pernikahan ini?" Bowo bergumam. Pernikahan yang sederhana dan hanya dihadiri kerabat terdekat saja. Tetapi itulah yang diinginkan Via. Istrinya ini tidak begitu suka dengan keramaian, sekalipun itu adalah hari istimewanya. Itulah syarat yang diajukan saat Bowo melamarnya.

"Kamu memang berbeda Via." Bowo mengucapkannya dengan lirih.

Bowo turun dari tempat tidur, sepertinya kantuknya sudah tak bersisa. Dia mendapati sendal jepit yang sudah ada di kaki tempat tidur. Pasti Via yang menaruhnya. Bangun pagi yang sangat spesial hari ini, untuk yang pertama kalinya dia tidur bersama istrinya. Betapa bahagianya jika saja kondisi ini bisa seperti ini juga saat mereka kembali ke rumah. Walaupun tidak melakukan apa-apa setidaknya, melihat Via berada di sampingnya itu sudah cukup bagi Bowo. Senyum kembali tersungging di wajahnya sambil berjalan ke kamar mandi.

*****

Tinggalkan vote dan komennya untuk versi revisi ini ya.

Thank you.

Pendar Melati (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang