8. Sederhana Saja

4.9K 471 8
                                    

Bowo sudah rapi. Sebentar lagi dia akan menjemput Farni dan Winda untuk ke rumah Wiryatama. Awalnya Winda keberatan, tetapi setelah dibujuk Farni, akhirnya dia mau juga menemani Abang sablengnya.

Jika di luar atau menyangkut pekerjaan, abangnya adalah sosok yang tegas dan sangat serius, tetapi di luar itu atau jika bersama keluarga, sablengnya kambuh alias jail yang kadang membuat Winda kewalahan. Walapun begitu, saat Bowo bersekolah di luar, Winda sangat kesepian. Ada sikap yang berubah pada abangnya ketika papanya meninggalkan rumah. Walaupun tidak dinampakkan dengan jelas, namun Winda tahu abangnya sangat terpukul. Terhadap pekerjaan, Bowo semakin tegas dan keras menghadapi persaingan setelah kepergian papanya. Tidak segan-segan dia akan menjatuhkan saingannya. Sikap ini yang Winda khawatirkan. Hanya satu yang Winda tidak tahu karena abangnya selalu tertutup jika menyangkut masalah satu itu, wanita. Belum pernah ada wanita yang abangnya perkenalkan ke dia ataupun mamanya. Tahu-tahu saat ini abangnya akan melamar, putri tunggal pula. Waduh.... Winda rada bingung, karena yang biasa adalah mereka pacaran dulu kemudian serius menuju jenjang selanjutnya. Ini malah langsung mau melamar saja. Jadi wajar jika Winda meragukan niat abangnya.

"Benaran nih ya mau lamar anak orang, Bang? Serius?!" Winda menatap tajam Bowo.

"Serius Winda!" Bowo balik menatap tajam adiknya.

"Kok tiba-tiba sih Bang? Abang sudah kenalan belum sama dia?"

"Kenalan sih belum," jawab Bowo.

"Duhhhh... gimana sih Bang, belum kenal langsung main lamar aja!" Winda serasa mau menjambak rambut abangnya. Dia pikir mainan apa ya acara lamaran.

"Lamaran dulu aja sembari berkenalan."

"Bang...!" Winda jadi frustasi.

"Sudah. Yuk kita berangkat," ajak Bowo tanpa peduli dengan kondisi Winda yang nyaris ingin berteriak menyuruh abangnya serius menanggapi kekhawatirannya. Bowo berjalan duluan ke mobil, di belakangnya Winda menahan mamanya yang akan menyusul Bowo.

"Ma, kenapa sih dia? Serius nggak sih? Lamaran lho ini Ma, bukan mainan."

"Ikutin aja maunya." Farni tampak tenang yang membuat Winda semakin bertambah tingkat kekhawatirannya.

Di dalam mobil, sebentar-sebentar Winda yang duduk di belakang melihat ke arah abangnya yang sedang serius menyetir. Hatinya tidak tenang. Bagaimana jika niat mereka ditolak, apa reaksi abangnya? Selama perjalan menuju rumah Wiryatama, Winda gelisah tapi tidak dinampakkan pada Farni dan Bowo. Semoga yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Farni juga juga diam saja, lebih banyak melihat ke jalan yang hari itu cukup lancar. Karena letak rumah Farni juga di kawasan pusat kota yang tidak begitu jauh dari rumah Wiryatama, sehingga nyaris dua puluh menit saja mereka telah tiba di rumah yang halaman depannya sangat rindang dan teduh dengan tanaman.

"Kamu sudah info sebelumnya jika kita akan datang?" tanya Farni ke Bowo.

"Yuda sudah info ke Pak Wiryatama kok Ma," jawab Bowo dengan tenang.

"Kok harus Yuda sih Bang, bukan Abang sendiri?" Kali ini Winda yang bertanya.

"Biasanya memang dia yang mengatur pertemuan saya dengan Pak Wiryatama."

Tiba di tempat yang dituju, setelah memarkir mobil di depan pagar, Bowo terlebih dahulu turun, disusul Winda dan Farni. Bowo memencet bel yang ada di kolom pagar dengan finish batu alam samping gerbang. Terdengar langkah kaki tergopoh-gopoh datang membuka gerbang. Seorang laki-laki, sudah berumur, langsung tersenyum dan mempersilakan mereka masuk.

"Silakan masuk Bapak dan Ibu." Laki-laki itu sedikit membungkukkan badan dan mengarahkan tangan mempersilahkan Farni, Bowo dan Winda masuk.

"Terima kasih." Sapaan laki-laki tersebut dijawab Winda. Dari pengamatan Winda, laki-laki yang membukakan pintu tadi sepertinya asisten di rumah Wiryatama. Di depan pintu rumah, Wiryatama sudah berdiri menyambut kedatangan Bowo dan keluarga.

Pendar Melati (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang