Setelah menikah, Bowo merasa sangat jarang berkomunikasi dengan Via. Hal ini tentu berbeda sebelum mereka menikah. Jika Bowo mengajaknya makan siang atau jalan bareng sebentar sambil menunggu jam istirahat kantor berakhir, Via mengobrol apa saja, bercerita mengenai anak-anak asuhannya di RPTRA atau musik yang mereka gemari. Namun setelah menikah, justru hal tersebut mulai jarang mereka lakukan.
Bowo mulai bertanya-tanya, ada apa sehingga Via terasa begitu jauh untuk dia rengkuh? Seharusnya setelah mereka menikah dan menetap dalam satu atap, obrolan akan lebih seru atau mereka bisa jalan ke mana saja. Apa karena dia belum mengajaknya honeymoon? Bowo akui, belum punya waktu untuk itu. Tetapi dia ragu jika itu yang membuat Via menjauh atau sering diam jika di rumah. Apakah Via menyesali pernikahan ini? pikirnya.
Via selalu menunggu hingga Bowo masuk lebih dahulu ke kamar. Kebiasaan yang mulai Via lakukan akhir-akhir ini. Dia dengan sengaja melanjutkan pekerjaannya di rumah agar Bowo tidak mengajaknya tidur. Malam pertama seperti yang selama ini Via baca di novel-novel wattpad tidak terjadi dengan mereka. Yang ada Via gugup, sedikit tremor dan tidak bisa tidur sehingga memilih keluar kamar pengantin dan setelah merasa Bowo sudah tertidur, dia masuk tetapi tidur di sofa yang berada di ruang tidur itu. Saat terbangun, dia sudah tidak tidur di sofa lagi melainkan di tempat tidur tanpa Bowo di sampingnya. Via sangat yakin Bowo pasti yang memindahkan sebab setahu Via, dia tidak punya kebiasaan tidur sambir berjalan. Via jadi merasa bersalah, malam pertama dilalui dengan seperti ini. Untungnya Bowo tidak bertanya ketika bertemu di meja makan saat sarapan.
Bowo dan Via sarapan dalam diam. Via merasa sangat canggung. Semalam dia dihinggapi pikiran-pikiran aneh. Bagaimana jika dia gagal dalam pernikahan ini? Apakah dirinya akan seperti mamanya? Jika mereka kemudian mempunyai anak, apakah anaknya akan diterima keluarga? Via tidak ingin anaknya akan mengalami hal seperti yang dia alami. Cukuplah hanya dia yang merasakan diperlakukan berbeda dengan keluarganya, jangan buah hatinya. Akan sangat menyedihkan baginya.
"Via?" Suara Bowo memecah kecanggungan di antara mereka.
"Ya?"
"Masih capek?" Via menjawab dengan gelengan kepala.
"Mau jalan?"
"Ke mana?"
"Ke rumah kita."
"Boleh."
Mulai lagi kegugupan Via. Tinggal berdua saja akan semakin membuatnya resah. Apakah pilihannya untuk menikah dengan Bowo sudah tepat? Via mencoba menghalau pikiran-pikiran buruk.
Rumah yang dimaksud Bowo, tidak begitu jauh dari rumah orangtuanya, bahkan bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Tadinya Via pikir akan ke apartemen, tetapi tidak, Bowo membawanya ke sini, ke rumah yang terlihat besar dan bernuansa tropis. Yang membuat Via takjub adalah halamannya yang luas. Matanya langsung berbinar. Dia sudah membayangkan menanam tanaman-tanaman favoritnya. Bisa juga membuat tanaman hidroponik. Urutan nama tanaman langsung berkelebat di kepala.
"Ayoo...." Bowo mengulurkan tangan, mengajak Via masuk. Digandengnya Via sambil memperlihatkan kamar utama.
"Suka?"
"Iya."
Via mengedarkan pandangan. Kamar seluas ini akan susah untuk dibersihkan. Ya ampun, hal pertama yang dia pikirkan malah membersihkan kamar. Memangnya mereka akan melakukan aktivitas apa di kamar itu? Main basah-basahan? Ehhhh...? Via tak sadar memegang kepalanya, salah tingkah.
"Kepalanya sakit?" tanya Bowo sambil memegang kepala Via.
"Ngg...nggak kok?" jawab Via agak terputus.
"Mulai hari ini kita tinggal di sini ya?"
"Bukannya kamu punya apartemen?"
"Iya, tetapi lebih baik kita tinggal di sini aja. Kalau di apartemen, kamu nggak akan bisa menyalurkan hobby kamu sama tanaman."
Via tahu, untuk ukuran Bowo, membeli properti adalah hal biasa, tetapi tetap saja dia merasa bersalah, karena hobbynya Bowo membeli rumah ini. Tinggal di apartemen juga tidak masalah buat Via. Yang masalalah sekarang, bagaimana dia menjalani hari-harinya dengan Bowo.
Via sadar, selama ini memang agak menjaga jarak dengan Bowo. Dia belum siap, benar-benar belum siap dengan hubungan selanjutnya. Berada di dekat Bowo saja, apalagi jika Bowo selesai mandi dan hanya melilitkan handuk di bagian bawahnya sudah membuat Via ingin berlari menjauh. Baiklah, dia memang hanya tahu hubungan intim dari bacaan tetapi tidak bisa dipungkiri jika membaca hal itu pasti ada gelenyar-gelenyar aneh di dada. Tetapi jika menghadapinya langsung, jelas dia belum bisa. Teori dan praktek itu kadang bisa berbeda. Apalagi dengan pria seperti Bowo, yang punya hormon rambut yang cukup lebat, pasti di bawah sana juga... akhhh.... Via langsung menutup mata, tak sanggup berimajinasi selanjutnya.
Hubungan yang mulai renggang ini akhirnya berujung ketika Bowo mendapatinya menemui seorang pria di Restoran. Saat itu Via hanya mewakili Firga yang berada di luar kota. Bowo marah, Via tahu itu. Hanya saja pria itu bisa meredamnya dan tidak memperlihatkannya di depan umum. Bowo menunggu sampai Via menyelesaikan obrolan. Setelah itu Bowo mendekat dan menarik, sedikit menyeret Via masuk ke mobil dan membawanya pulang. Di jalan Via berusaha menjelaskan namun Bowo sepertinya tidak bisa menerima. Tiba di rumah di dorongnya Via dengan kasar. Via yang tidak cepat menyeimbangkan tubuh, terjatuh dan kepalanya membentur ujung meja. Beruntung kaca meja tidak pecah sehingga luka pada dahi tidak parah. Darah sudah mengucur dan itu membuat Bowo tersadar. Cepat dihampirinya Via yang sudah pingsan saat darah sudah mengalir ke pipi. Bowo panik dan segera melarikan Via ke rumah sakit. Dia sanngat cemas. Rasa cemburunya sudah melebih batas dan malah mencederai istrinya.
Saat Via kembali ke rumah papanya, Bowo kecewa. Dia berusaha keras tidak meminta bantuan mamanya untuk membujuk Via. Dia harus berusaha. Jika masalah pekerjaan seberat apapun bisa dihadapinya, maka ini pun harus bisa diselesaikannya. Bowo tahu, Via memang menjauh, tetapi Via tetap melayaninya dengan baik, dan tanpa Bowo sadari, dia telah jatuh cinta pada istrinya.
Bagaimanapun caranya, dia harus bisa membawa Via kembali ke rumah. Setiap hari, kembali dari kantor, Bowo akan mampir ke rumah Wiryatama untuk menemui Via. Tetapi Via selalu menolak bertemu. Hingga penantian itu berakhir. Malam ini, Via malah sudah tidur di tempat tidur yang sama dengan dirinya. Ya, walaupun Bowo belum berani menyentuhnya, tetapi Via sudah bisa diajak bicara dan menyiapkan makan malam untuknya, itu sudah cukup.
Via mengerjap, berusaha mengumpulkan kesadarannya dari tidur lelap. Semalam dia baru tertidur setelah jarum jam menunjukkan pukul tiga dinihari. Dia berusaha duduk sebentar kemudian melirik jam yang ada di dinding. Ya ampun... sudah pukul sepuluh pagi?! Via terkejut. Dikuceknya mata, benar, jarum jamnya tidak salah. Dia yang telat bangun. Bunyi ponsel seketika mengalihkan perhatian. Panggilan video call dari anak-anaknya di RPTRA.
"Selamat pagi Bu!!!" Suara anak-anak terdengar dengan riuh, melengking, khas suara anak yang sedang gembira.
"Selamat pagi semuanya! Pada sehat kan ya?"
"Sehat Ibu. Ibu juga sudah sehat?" Lalu mereka bergantian close up di depan kamera ponsel.
"Sudah kok. Nih, lihat kan?" ujar Via sambil tertawa. Kala mengajar di RPTRA, Via akan selalu lupa dengan masalah keluarganya.
"Kapan ngajar kami lagi Bu?" tanya mereka dengan nyaring.
"Sabar ya, pasti ibu akan mengajar kalian lagi. Tapi harus ijin dulu ke suami ibu."
"Kami tunggu ya Bu. Kami kangen sama Ibu!" Rasanya Via ingin menangis. Mereka saja kangen ke dirinya, kenapa keluarga mamanya malah tidak.
Hari ini, dia sudah berdamai dengan Bowo. Via akan berusaha menjalani kewajibannya sebagai istri dengan baik dan berharap dengan sangat, kejadian yang dia alami tidak terjadi pada keluarga barunya ini.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendar Melati (complete)
RomanceTulisan ini diikutkan dalam GMG Hunting Writers 2021 ~*~ Via sama sekali tidak menyangka jika alur kehidupan mengharuskan dia menjalani pernikahan dengan Bowo. Pernikahan yang tidak didasari rasa cinta sedikit pun. Ayahnya hanya meyakinkan Via, jik...