💚-Perpustakaan

1.3K 102 52
                                    

Kejadian tadi, itu adalah pertama kalinya aku mendengar mas Azzam seperti itu dan saat ini terus terngiang-ngiang di kepalaku. Sungguh menakutkan!

Aku sempat berpikir, apa mas Azzam terkena guna-guna dari Mutiara? Bisa jadi kan, sebab mereka baru saja bertemu.

Berjalan menuju kamar, melewati 3 pigura pernikahan 3 putri mamih dan papih. Gambarnya bertingkat dan fotoku bersama mas Azzam ada di atas. Di sana kami menyunggingkan senyum paling bahagia sedunia. Apa senyum itu bisa dipertahankan?

"Amma...!!" Ah, anakku sudah memanggil, pasti ia kebingungan kenapa bisa ada di rumah ini.

"Amma, kok kita ada di lumah omma? Appa ke mana?" Tanyanya sambil jarinya bermain di perutku. Sesekali dibalas tendangan kecil oleh adiknya dari dalam.

"Appa kerja, sayang. Makanya, kita diantar ke sini, biar nggak kesepian di rumah. Cania kenapa bangun? Masih malam loh" Jawabku.

"Tadi Cania mimpi, amma cama appa beltengkal. Telus, Cania nangis jadinya bangun deh. Cania ndak mau amma cama appa beltengkal" Jelasnya dengan dramatis.

Aku memeluknya, tak ingin ia tau bahwa mimpinya terjadi beberapa saat lalu. Anak sekecil Sania tidak perlu tau kerasnya kehidupan di dunia ini.

"Cania, mimpi itu cuma bunga tidur. Jangan dipikirin ya" Aku menenangkannya dan ia mengangguk.

"Cania kan tidul di kamal, bukan di taman, amma. Kok ada bunga sih?" Bingung Sania. Aduh, bagaimana ini?

"Mmm, Cania lanjut tidur lagi sama amma ya. Besok oppa dan omma pulang loh, nanti Cania dibeliin mainan baru" Rayuku dan Sania mengangguk mantap.

Ia mulai berbaring dan memejamkan mata setelah membaca doa. Aku mengelus rambutnya sembari membacakan sholawat.

•°•°•

"MAS AZZAM?!" Pekikan spontan saat aku melihat suamiku sedang bercumbu dengan perempuan yang tidak asing bagiku.

"Apa?" Tanyanya dengan sangat santai. Tidakkah dia merasa malu?

"Jadi ini kerjaan kamu diluar dunia militer?! Mana janjimu yang akan setia? Gimana kamu bisa setia sama negara kalau kamu masih bisa mendua dari aku?!"

Plakk...

Tamparan itu, perih sekali. Dengan entengnya dia melayangkan tamparan itu tepat pada bagian yang selalu ia kecup.

"AMMA...!!!" Sania memeluk kakiku, menangis tersedu sambil menatap takut mas Azzam yang wajahnya sudah merah.

"Kita gak bisa pertahankan pernikahan ini kalau kamu masih begitu!" Bentak mas Azzam.

"Kenapa aku? Di sini kamu yang sudah berani bawa perempuan itu ke dalam rumah kita. Di mana letak kesalahan aku?!" Makiku dan menamparnya.

"Dasar perempuan gak tau diri! Aku akan bawa Sania dan pergi bersama wanitaku!" Balasnya dan menggendong Sania yang menangis.

"CANIA MAU CAMA AMMA!!" Pekik Sania dalam gendongan mas Azzam.

Aku mencoba menahan kepergian mereka. Ah, mungkin lebih tepatnya kepergian anakku, Sania. Saat aku mencoba mengambil Sania, mas Azzam mendorongku sangat keras membuatku jatuh ke lantai yang dingin.

Suasana rumah yang gelap, berantakan, mencekam, dan menyakitkan. Aku terduduk di lantai meratapi kepergian mas Azzam yang membawa Sania dengan paksa bersama wanita yang sudah menunggunya di depan.

Tak lama, aku merasa ada yang mengalir dari bawah rok yang kupakai. Sakit sekali perutku, apa aku akan melahirkan saat ini? Tanpa mas Azzam di sampingku? Tapi, kandungan ku masih berusia 7 bulan. Aku tidak ingin anakku prematur seperti Daniel.

I Love You Kekasih Negaraku [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang