Atas permintaan wanita yang mengaku sebagai ibu Atlantis, Tala dan yang lainnya memilih untuk keluar dari ruangan. Meski penasaran, mereka memilih untuk tidak banyak bertanya karena dirasa situasi belum tepat. Pasalnya wanita yang mengaku sebagai ibu Atlantis tersebut tampak tidak ingin diganggu.
Kini hanya ada Mona dan Atlantis di dalam ruangan. Mona duduk di kursi samping ranjang Atlantis. Diraihnya sebelah tangan putranya untuk digenggam. Matanya menatap wajah putranya sendu.
"Apa yang terjadi sama kamu, sayang?Kenapa kamu tidur disini?" Mona mencium tangan Putranya lembut. Dua sungai kecil mengalir di kedua pipinya. Melihat Atlantis seperti ini rasanya sangat menyesakkan bagi Mona.
"Maafkan Mama, Atla. Maafin Mama karna selalu kasar sama kamu. Mama gak tau harus berbuat apa lagi. Sebenarnya Mama sayang sama Atla. Anak Mama cepet bangun, ya sayang." Tangannya beralih mengelus puncak kepala Putranya lembut.
"Bangun, Nak. Mama gak bisa liat kamu kaya gini," Isak Mona. "Jangan buat Mama takut, Sayang."
"Bangun."
Menundukkan kepalanya, Mona semakin terisak mengingat apa yang selalu ia perbuat kepada Putranya. Tapi sungguh, ia tidak pernah benar-benar membenci Atlantis. Keadaan yang memaksanya untuk melakukan ini. Ia hanya bisa berharap, semoga kebenaran segera terungkap agar ia tidak perlu terus- terusan bersandiwara. Sandiwara ini bukan hanya menyakiti Atlantis, tapi juga dirinya.
"Ma."
Mona mendongakkan kepalanya saat mendengar suara berat dan serak memanggilnya. Senyumnya mengembangkan melihat kedua mata Putranya tak lagi terpejam.
"Kamu udah bangun?" Mona hendak memeluk Putranya. Namun urung saat sadar apa yang sedang terjadi. Karena terlalu senang, ia sampai lupa tentang sandiwara yang semestinya terus berlanjut. Segera ia merubah raut wajahnya menjadi datar. Diusapnya air mata di pipinya dengan gerakan cepat.
"Kenapa Mama nangis?" tanya Atlantis saat melihat pipi Mona basah.
"Saya tidak menangis. Untuk apa menangisi anak pembawa sial seperti kamu," ucap Mona setajam mungkin. Tidak mau kalau Atlantis sampai curiga.
Kini harapan Atlantis bahwa Mona juga menyayanginya harus sirna saat mendengar perkataan Mona barusan.
"Berbuat apa lagi kamu hah? pasti kamu berkelahi lagi makanya masuk rumah sakit. Dasar anak berandal! Benar-benar merepotkan!" Mona menahan sekuat tenaga agar pertahanannya tidak roboh.
"Maaf." Seperti biasa, Atlantis hanya bisa mengucap kata maaf saat Mona memarahinya. Sakit hati tentu saja. Tapi Atlantis selalu berusaha bersikap baik kepada Mona. Toh, Mona sudah terlalu sering memperlakukannya seperti itu.
"Kamu bisanya cuma minta maaf. Gampang sekali!" Mona tersenyum sinis. "Apa kamu tidak bisa menjadi anak yang penurut seperti Samudra?" imbuh Mona.
Atlantis mengepalkan kedua tangannya diam-diam. Lagi lagi Mona membandingkannya dengan Samudra. Atlantis paling tidak suka itu. Tolong mengertilah, Atlantis punya cara sendiri untuk menjalani hidup, begitupula Samudra.
"Kenapa kamu diam saja? JAWAB!" Mona terpekik cukup keras membuat Tala dan yang lainnya masuk ke dalam.
"Ada apa, Tante? kenapa Tante memarahi Atla?" tanya Tala saat sudah berdiri di samping ranjang Atlantis.
"Tala," panggil Atlantis lirih. Tangannya menyentuh tangan Tala lembut, mencoba memberitahu Tala agar tidak menanggapi perkataan mamanya.
"Siapa kamu?" Mona memandang Tala dengan pandangan menilai. "berani-beraninya ikut campur urusan keluarga saya," imbuhnya lalu membuang muka.
KAMU SEDANG MEMBACA
AR [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[Tahap publish ulang.] Ini cerita pertama yang aku buat. Bikinnya ngebut (kebelet ending) dan nggak mikir panjang soal dialog maupun alur. Jadi maaf ya kalau agak freak dan tidak sesuai dengan aturan kepenulisan. #1 fiction 2020 #1 gengmotor 2020 #2...