28. The Truth

1.5K 243 113
                                    

Annyeong yeorobun. Kukembali dengan part menguras emosi ini.
Ayo ayo, dipencet dulu tombol votenya dan jangan lupa ramein lapak komen ya! Berbacot rialah selagi bacot belum dilarang dan disuruh bayar.

Happy reading~
💚💚💚

■■■■

Masih tak bisa kupercaya jika kini aku telah terduduk di sebuah koridor rumah sakit dengan perasaan sekalut ini. Sicheng sudah berada di dalam ruang IGD. Seorang dokter dan beberapa perawat telah turun tangan untuk menangani kondisinya. Hanya tersisa aku yang masih memandang kosong pada dinding di seberangku. Berulang kali kurapalkan doa yang bahkan tak lagi terdengar jelas, suaraku sudah begitu serak karena terus menangis.

Kriet.

Suara pintu yang dibuka seketika membuatku menoleh. Aku langsung bergerak cepat menghampiri seorang dokter muda yang baru saja keluar dari sana, lalu menanyainya.

"Bagaimana keadaannya?"

Dokter yang berperawakan tinggi dengan wajah ramah itu menyunggingkan seulas senyum tipis yang sukses membuat napas tertahanku berhembus.

"Syukurlah, keadaan pasien sekarang sudah stabil. Penanganan sudah selesai dilakukan. Namun kesadaran pasien masih belum pulih. Anda sudah bisa melihatnya."

"A-apakah... kondisinya benar-benar baik-baik saja?" tanyaku, sangat cemas.

"Hasil pemeriksaan mendalam akan keluar sebentar lagi. Anda bisa menemui saya di ruangan nanti. Kami sudah melakukan rontgen dan procedural lainnya."

"Ba-baiklah, terima kasih dokter."

Aku membungkuk, berusaha menahan kedua kakiku yang melemas. Lalu, dokter laki-laki itu membalas salamku dan ia pergi begitu saja.

Tanpa membuang-buang waktu, aku langsung melangkah masuk ke ruangan cukup luas dengan situasi yang cukup hectic ini. Tak kupedulikan jika kini kedua kakiku sudah tak lagi beralas kaki. Fokusku hanya terarah pada salah satu tempat tidur pasien yang tertutupi tirai. Tempat di mana Sicheng berada.

"Si-sicheng..." Lenguhanku nyaris tak terdengar karena memang, tubuhku yang masih agak lemas hanya bisa sedikit gemetar sekarang. Apalagi setelah kulihat Sicheng tak sadarkan diri. Ia berbaring dengan dua mata terpejam. Dibantu oleh alat-alat yang menyokongnya untuk tetap bernapas.

"Sicheng..." Aku tak sanggup lagi berkata-kata selain melabuhkan bokongku pada sebuah kursi di sebelah baringannya lalu memegangi sebelah tangannya yang tak meresponku sama sekali.

Sicheng terlihat begitu tenang. Namun luka di beberapa bagian tubuhnya yang telah tertutup perban cukup untuk membuat hatiku serasa diremat. Apalagi pikiranku masih berputar-putar pada kondisi tubuh bagian dalamnya yang mungkin saja akan lebih buruk dari luka luarnya.

Bagaimana pun, aku melihat langsung semua yang terjadi padanya tadi.

"Sicheng... jjebal-" Air mataku jatuh lagi. Kedua tanganku mempererat rematan pada jemari dinginnya. "Kumohon... kau harus segera sadar. Kumohon, jangan membuatku takut. Jjebal..." Berulang kali, dalam hati aku mendoakan agar kondisi Sicheng sepenuhnya baik-baik saja.

Rasanya baru saja aku melihat wajah tampannya tersenyum manis. Rasanya baru sedetik lalu aku mendengar Sicheng menyebut namaku. Rasanya barusan saja aku menemui Sicheng yang memanggilku, menggodaku dengan ekspresi antusias bercampur malu.

Tapi kini... Sicheng bahkan tak membuka kedua matanya.

"Sicheng!!"

Aku tertegun kala runguku mendengar sebuah suara dari arah pintu masuk IGD. Aku menoleh, menemui seorang pria tua yang telah berlari tergopoh ke arahku. Kutebak ia mungkin ayah angkat Sicheng yang tadi sempat kuhubungi via ponsel Sicheng yang ada padaku.

Teach Me, Noona!  ||  Winwin NCT [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang