C14 - Confession

68 6 2
                                    

"Hallo!"

Shinta mengerjapkan matanya, "ngapain lo disini?"

"Nemenin lo,"

Jawaban Rama membuat Shinta mengernyitkan dahinya, dia menatap Rama bingung, sudah lama Rama tidak menemaninya ketika sakit.

"Terus lo ninggal Arra sendirian?"

"Ya dia nggak bakal ilang juga kan?"

"Ya engga sih, tapi kan kasian dia sendirian," Shinta mengambil ponselnya, ia membuka beberapa notifikasi yang ada. Salah satunya pesan singkat dari Guntur yang menyatakan malam nanti Kaleidoscope akan menjenguknya dirumah.

"Shin?"

"Hmm?"

"Lo nggak pengen cerita soal kemarin?" tanya Rama terang-terangan kepada Shinta

Shinta menghela nafasnya, ada perasaan ragu dalam dirinya untuk menceritakan segala hal yang terjadi kepadanya kepada Rama.

Rama yang melihat keraguan di mata Shinta, seketika merasakan sakit menusuk pada dadanya. DULU, gadis itu tidak akan pernah ragu-ragu untuk menceritakan segala keluh kesah kepada Rama. Apakah di mata gadis itu, dirinya sudah benar-benar berubah menjadi sosok yang lain?

Rama menghela nafasnya dalam, mungkin untuk membuat gadis ini membuka diri kepadanya, ia harus membuka diri kepada Shinta terlebih dahulu, "alesan gue minum sebenernya bukan karena gue pengen lari dari Abby, tapi karena gue pengen tidur."

Shinta mendelik menatap Rama, ternyata Rama selama ini mempunyai masalah yang sama dengan dirinya. Hanya saja laki-laki itu menyelesaikan dengan metode yang lain.

"Waktu Daniel meninggal dan terlebih itu karena kesalahan gue yang engga ngomong ke Abby soal tatanan SMARA, waktu itu rasanya gue mikir, gimana kalau gue aja yang mati? Gue lebih pantes mati daripada Daniel. Rasa bersalah itu ngikutin kemanapun gue pergi, sampe akhirnya gue nggak bisa tidur sama sekali dan bisa tidur ketika gue bener-bener mabuk. Hal itu jadi makin parah ketika Abby pergi. Rasanya kayak satu-satunya alasan gue buat bertahan hidup, juga pergi ninggalin gue."

"Selain nggak bisa tidur, kadang gue juga panik tiba-tiba. Kayak tangan gue tiba-tiba gemetar dan pikiran gue blank. Akhirnya gue belajar ngerokok supaya bisa ngurangin rasa cemas gue."

"Gue tau kalau obat yang lo minum kemarin buat ngurangin rasa cemas lo,"

Shinta mengela nafasnya, mungkin ini saatnya ia menceritakan segala sesuatu yang ia tutupi kepada Rama juga, "Gue nggak pernah tau kan cara menghadapi kematian. Daniel adalah orang terdekat pertama gue yang meninggal. Awalnya gue kira bakal cuman sedih. Awalnya gue kira kesedihan itu pasti akan berlalu seiring berjalannya waktu, tapi kenyataannya nggak segampang itu. Suatu malem gue mulai mimpi buruk, besok malemnya mimpi buruk lagi, sampe akhirnya mimpi itu selalu nemenin gue di setiap gue nutup mata."

"Kayak semalem?" tanya Rama kepada Shinta.

Shinta mengangguk mengiyakan, "Gue selalu kebangun tengah malem, kadang Papa atau Mama sampe ke kamar, katanya gue teriak-teriak. Dalam mimpi gue selalu sama, Daniel minta tolong ke gue, tapi somehow gue cuman bisa nangis sama teriak, badan gue nggak bisa digerakin, gue cuman bisa lihat dia digebukin sampe sekarat. Lama-lama mimpi itu jadi semakin ganggu, gue jadi semakin takut setiap mau tidur. Sampe akhirnya gue nggak tidur 3 hari, terus gue pingsan."

"Hah pingsan? Kenapa gue nggak tau?" Rama lagi-lagi tersentak saat mengetahui perkataan Shinta tidak sesuai dengan kenyataan yang ia tau. Ia jadi mulai berpikir untuk membenarkan sebuah fakta bahwa selama ini ia memang sudah meninggalkan Shinta untuk Abby.

Distance of Chance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang