C30 - Unexpected Bully

76 6 0
                                    

Lagi-lagi malam ini Shinta terduduk sendiri, di pantry dapurnya dan menyesap minuman beralkohol. Hari ini Shinta tidak berencana sampai tidak sadarkan diri, ia hanya ingin meringankan beban yang ada di pundaknya. Setelah selesai manggung tadi, ia langsung kembali ke Jakarta bersama Arya. Ia tidak menunggu performance dari Kaleidoscope.



Shinta segera meneguk kembali minumannya, saat pintu rumahnya dibuka dan menampilkan seorang laki-laki disana. Shinta menghela nafas karena dipenghujung harinya ia masih harus berurusan dengan laki-laki itu. Rama berjalan mendekat ke arah Shinta, mukanya kusut, dan terlihat sangat lelah.



"Udah minum berapa gelas?" tanyanya begitu duduk di depan Shinta.



"Dua," Shinta menjawab sambil menghabiskan gelas terakhirnya. "Gue nggak berencana sampe kayak kemarin kok. Maaf kemarin udah ngerepotin elo."



Shinta berjalan ke arah bak cucian dan mencuci gelasnya. Hatinya dipenuhi rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia berusaha menahan nafas, karena setiap ia menghembuskan nafas seperti ada duri yang menyayat di dalam dadanya, seolah ia bernafas duri. Shinta bertanya-tanya dalam hati, apakah ini akhir cerita cintanya?



"Gue nggak tau harus ngomong apa," kata-kata itulah yang terluncur dari bibir Rama saat Shinta masih membelakanginya.



Shinta tidak menjawab perkataan Rama. Gadis itu tetap diam dan mencuci gelasnya.



"Gue nggak pengen berakhir kayak gini, Shin!"



Shinta mematikan kerannya dan menaruh gelas ke bak pengering, "terus lo mau ini berakhir kayak apa?"



Rama berlalu dan mengambil gelas yang ada di laci, ia menuangkan minuman beralkohol yang ada di depannya. Laki-laki itu meneguk dengan rasa frustasi. Pikirannya berkecamuk, ia tidak mengetahui apa yang dia inginkan, dan ia tidak bisa dengan sesederhana itu memutuskan untuk memilih Shinta ataupun Abby.



"You can't have both of us, Ram." Shinta menghela nafasnya, ia sudah menangis tanpa ia sadari. "Lo harus milih."



"But I can't!" laki-laki itu menggebrak meja pantry. Matanya yang sedari tadi menunduk menatap Shinta. "Gue cinta sama elo! Tapi, Abby butuh gue."



Shinta mengelap air mata dengan punggung tangannya, ia terlihat begitu frustasi namun ia pasrah dengan apapun keputusan Rama nantinya.



"Gue nggak bisa ninggalin dia gitu aja setelah dia melalui hal sebegitu beratnya," mata Rama menunjukan ia ingin dimengerti. "Like I said before, gue pengen ngerengkuh dia, ngelindungin dia, dan nguatin dia."



Shinta hanya diam, berdiri, menahan sakit di dadanya yang terus membuncah.



"Gue nggak bisa, Shin. Ninggalin dia gitu aja."



Shinta mendekat ke arah Rama dan memegang tangan laki-laki itu, "then say it, Ram!"



"Say those goddamn word and set me free,"



Rama terdiam, matanya sayu memandang wajah cantik Shinta yang dipenuhi air mata. Dada Rama benar-benar terasa sesak. Ia membenci dirinya sendiri karena telah menyakiti Shinta, karena telah membuat gadis itu menangis karena perbuatannya sendiri. Rama memegang tengkuk gadis itu dan mengelap air mata yang terjatuh dengan punggung tangannya.



"Maafin gue, Shin. Tapi gue nggak bisa ngucap kata-kata itu. Nggak ke elo!" Rama melepaskan tangannya dan bangkit berdiri. Lebih baik ia menghindari Shinta daripada harus mematahkan hati gadis itu berkali-kali.



Shinta menahan tangan Rama saat laki-laki itu akan berpaling, "kalau gitu gue yang ngomong." Shinta menundukkan wajahnya, matanya mengabur karena campuran alkohol dan air mata. Nafasnya menderu, tangisannya terdengar seperti isakan yang memilukan, "Ayo kita putus, Ram! Udah cukup sampai disini aja. Udah cukup lo nyakitin gue."

Distance of Chance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang