C24 - Pemanggilan

46 5 0
                                    

Sudah dua minggu sejak Rama tidak menghubungi Shinta sama sekali. Laki-laki itu tidak menghampirinya di kantin saat istirahat sekolah, tidak berangakat ke sekolah bersama, tidak menghantarkannya saat konser ataupun interview, juga tidak kerumahnya sama sekali. Terakhir kali Shinta melihat Rama saat berpaspasan di koridor tiga hari yang dan hal itu membuat Shinta mulai demam. Shinta benar-benar membenci kondisi psikologisnya yang memiliki mindset akan sakit setiap kali jauh dari Rama, tapi toh hal itu juga terjadi pada Anna yang akan sakit jika jauh dari Barra.

“Dek kamu yakin mau ke sekolah?” tanya Anna sambil memegang dahi Shinta untuk mengukur demamnya. “Kamu masih demam lo. Nggak mau bolos aja?”

Shinta sebenarnya ingin membolos, namun hari ini ia ada quiz ekonomi dan fisika, ia tidak ingin repot-repot quiz susulan dan malah mendapatkan soal yang susah, “engga deh, Ma. Daripada Shinta nggak ikut quiz.”

“Tapi kan kamu sakit, Dek!” kata Barra sambil menyuapkan roti ke mulutnya.

“Iya ini Shinta udah minum obat, Pa! Nanti juga panasnya turun,” Shinta duduk dan mengambil nasi dan lauk di depannya. “Papa jadi nganterin Shinta kan?”

Barra mengangguk. Barra masih merasa ada yang janggal saat kemarin malam anaknya itu minta diantar untuk ke sekolah. Barra sempat mencurigai bahwa Rama dan Shinta bertengkar, namun Shinta menampiknya dan memberi alibi bahwa Rama harus berangkat pagi karena ada praktikum biologi.

“Papa nanti nggak harus jemput kamu kan?” tanya Barra.

Shinta menyipitkan matanya, “terus menurut Papa, Shinta harus pulang jalan kaki gitu?”

“Lah kan kamu bisa pulang bareng Rama!”

“Ish Rama tuh ada jadwal sepulang sekolah. Dia mau langsung cabut sama anak-anak Kaleidoscope.”

“Tapi nanti Papa ada meeting di luar, Sayang! Kamu ikut Kaledoscope sana deh!” Barra masih enggan menjemput anaknya.

“Yaudah Papa jemput Shinta dulu terus Shinta ikut meeting!”

Barra mengernyitkan dahinya, “loh kok jadi kamu ikutan meeting? Naik taksi sana deh!”

“Ah, ogah, Pa! Mahal ish!”

“Bareng Gading, deh!” ini adalah tawaran Barra yang terakhir.

Shinta mengernyitkan dahinya bertanya-tanya, “emang Ayah mau ke sekolah?”

Barra mengangguk, “iya, kemarin sempet ada masalah di sekolah kamu. Katanya ada perkelahian gitu. Jadi Gading dateng mau ngecheck gimana kondisinya.”

Shinta terkejut. Perkelahian? Bahkan dia tidak mendengar kabar apapun kemarin.

“Kok Shinta nggak tau ya? Siapa emang yang berantem?” tanya Shinta kepada Barra.

“Ituloh anak penyumbang ketiga bikin masalah. Katanya mulai ada gerakan-gerakan apa gitulah.”

Shinta membelalakkan matanya, apakah ada yang membocorkan gerakan bawah tanah kepada guru-guru, sampai Ayah Rama bisa tau?

Selama di perjalanan Shinta terdiam. Dia tidak mendengar ocehan Barra tentang macetnya jalan Jakarta atau hal-hal remeh seperti mengapa proyek pembangunan Indomaret berdiri tepat disebelah Alfamaret. Shinta masih memikirkan berbagai macam kemungkinan yang ada. Bagaimana bisa Gading sudah tau tentang gerakan ini dan Hanna tidak melapor apapun padanya.

Shinta sampai di sekolah dan duduk tepat di sebelah Hanna. Shinta tau bahwa ada luka yang di tutupi dari balik make upnya hari ini. “Lo mau diem-diem gini aja, apa jelasin semuanya ke gue?”

Tubuh Hanna membeku saat Shinta berkata seperti itu, darimana juga ia tau tentang kejadian kemarin sore, “lo tau dari mana?”

Shinta menatap Hanna tak percaya, “lo tau nggak ada anggota lo yang lapor!”

Hanna seketika menoleh ke arah Shinta, jelas dari raut terkejutnya, gadis itu tidak mengetahui hal ini. “Lapor gimana maksud lo?”

“Ada salah satu anggota lo yang lapor ke guru kalau kemarin Sherlyn ngebully lo. Bokap Rama sampai turun tangan langsung, loh!”

Hanna hanya terdiam, ia tidak mengerti bagaimana bisa ada anggotanya yang berkhianat. Padahal Hanna sudah benar-benar menekankan kepada mereka yang melihat kejadian kemarin untuk tutup mulut.

Shinta memandang iba kepada Hanna, tetapi ia juga tidak bisa menyalahkan Sherlyn karena gadis itu mempunyai gangguan bipolar, “sementara behenti dulu aja ya, Na! Ini juga demi keselamatan semua anggota lo. Mending sekarang bener-bener ngehindarin kontak langsung sama Sherlyn deh!”

Hanna hanya mengangguk, gadis itu masih shock dan berkutat pada pikirannya sendiri. Tiba-tiba gadis itu menangis, Shinta yang kebingungan langsung mengajak gadis itu keluar. Shinta juga menarik Arra saat kebetulan bertemu gadis itu di koridor tengah kelas 11.

Disinilah mereka bertiga, di dalam mobil Arra, menunggu Hanna tenang dan menceritakan semuanya.

“Gue minta maaf, Shin. Gue bener-bener minta maaf,” gadis itu mulai berbicara sambil tetap terisak. “Kemarin Marisa ditodong lagi sama Sherlyn dan dia akhirnya bilang kalau gue ketua dari gerakan ini. Dia diancem bakal dicabut beasiswanya.”

Shinta menghela nafasnya, tidak ada seorangpun yang akan gentar ketika di ancam seperti itu. Shinta tau betul kondisi keluarga Marisa. Gadis yang pandai itu tidak beruntung karena lahir di kalangan ekonomi menengah kebawah.

“Terus akhirnya gue dibawa tiba-tiba waktu kemarin mau pulang. Disana gue udah lihat Marisa sama beberapa anggota bawah tanah. Mereka luka-luka ringan di beberapa tangan sama kaki. Tapi mereka yang dikumpulin disitu adalah anak-anak dari jalur beasiswa semua yang income keluarganya bener-bener low.”

Shinta masih mendengar dengan seksama. “Sampai akhirnya gue mulai dipukulin sama Sherlyn. Dia nanya kenapa gue ngelakuin hal ini dan…”

Shinta mengernyitkan dahinya masih menunggu penjelasan Hanna. “Dan salah satu dari mereka bilang kalau elo adalah motivasi mereka ngelakuin gerakan ini.”

Seketika Shinta memejamkan matanya dan menyenderkan badannya ke kursi, kepalanya berkedut. Pandangannya lurus ke arah Arra yang melihatnya dengan tatapan iba. Saat ini Shinta benar-benar takut akan apa yang terjadi selanjutnya. Jika sampai pelapor ini mengatakan kepada guru BK bahwa Shinta adalah dalang gerakan ini. Bisa-bisa Barra marah besar karena Shinta ikut campur karena membuat masalah atau bisa-bisa Barra tau bahwa ia selama ini di bully.

Shinta menghela nafasnya, ia ingin sekali memarahi Hanna akan sikap ceroboh dari anggotanya. Namun, Shinta tidak bisa melakukannya karena ia tau hal itu bukan kesalahan Hanna. Gadis itu juga sudah menerima pukulan dari Sherlyn, tidak mungkin juga untuk menambah beban tekanan pada gadis di depannya yang juga sama-sama korban.

Shinta tersenyum kepada Hanna, “yaudah nggak papa. Biar masalah itu gue yang urus. Sekarang lo fokus untuk menghentikan gerakan ini aja, Na!”

Setelah Hanna membenarkan riasannya, ia, Shinta, dan Arra, turun dari mobil kemudian kembali ke kelas tepat sebelum jam pelajaran di mulai. Jam pelajaran pertama dan kedua akan diisi dengan quiz ekonomi kemudian dilanjutkan quiz matematika. Setelah 30 menit mengerjakan 3 soal matematika, kepala Shinta benar-benar pusing. Padahal masih ada dua soal yang perlu ia kerjakan. Arra menyenggol lengan Shinta ketika melihat gadis itu menundukkan wajahnya dan memijat kepalanya. Arra tau bahwa gadis itu sakit, karena sejak dari pagi Shinta mengenakan jaket.

Shinta melihat Arra yang menyenggol tangannya dan memberikan isyarat tatapan, ‘ada apa?’

OH! Arra menawarkan jawabannya kepada Shinta. Gadis itu kemudian tersenyum karena sebenarnya ia tidak membutuhkan itu. Karena Shinta bisa mengerjakan dua soal yang tersisa, hanya saja gadis itu berhenti sejenak untuk mengambil nafas sebelum melanjutkan mengerjakan.

15 menit kemudian Shinta mengumpulkan jawabannya dan meminta ijin untuk istirahat di UKS selama sisa pelajaran berlangsung. Shinta kemudian menuju UKS dan merebahkan dirinya, ia memejamkan matanya untuk beristirahat. Sebenarnya selain pusing, saat ini Shinta juga merasa sangat ngantuk. Mungkin karena efek obat yang ia minum tadi pagi.

Jujur saja saat ini Shinta merindukan Rama. Merindukan gelak tawanya dan bau parfume yang tercium dari bangkunya saat ia duduk di sebelah kemudi. Shinta juga merindukan Rama yang menunggunya turun dari panggung untuk memeluknya dan mengatakan betapa bagusnya performance Shinta tadi. Sampai saat inipun Shinta belum memiliki nyali untuk bertemu dengan Rama. Ia ingin menjadi pacar yang memberikan jarak dan waktu saat Rama membutuhkannya. Tidak terasa air mata menetes di pipinya, dadanya terasa sangat sakit. Seperti ada sesuatu yang menekan dan melubangi dadanya. Tarikan nafasnyapun terasa berat walau Shinta tau itu bukan asmanya.

Rasa pusing yang kembali menyerang kepalanya membuat Shinta menyerah dan memilih untuk tidur kembali. Shinta terbangun saat bel sekolah berbunyi dengan keras sebanyak 3 kali. Shinta bangun terduduk dan melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 10.15, waktunya istirahat pertama. Shinta berdiri dan berhenti sejenak sebelum berjalan, rasa pusing tiba-tiba menjalar di kepalanya. Shinta kemudian mengambil ponselnya dan kemudian menelfon Gading yang katanya akan ke sekolah hari ini. Shinta ingin mengetahui apakah laki-laki itu sudah sampai atau belum.

“Hallo, Yah?”

“Ada apa, Dek”

“Kata Papa tadi Ayah ke sekolah. Udah sampe belom?”

“Udah kok, ayah udah sampe sejak sejam yang lalu. Ini urusan ayah juga udah selesai. Kenapa?”

“Ayah mau balik ke rumah apa ke kantor dulu habis ini?” tanya Shinta lagi. Mungkin jika Gading langsung kembali ke rumah, Shinta bisa ikut dengannya.

“Ayah langsung pulang sih. Tapi mau beliin pesenan bunda dulu di supermarket. Ada apa sih, Dek?”

“Itu, Yah. Shinta lagi di UKS….”

Belum sempat gadis itu menceritakan, dengan secepat kilat Gading memotongnya, “kamu kenapa?”

Gadis itu mendesah sebal omongannya dipotong begitu saja, “Shinta dari tadi pagi demam, tapi ada quiz jadi akhirnya Shinta maksa masuk. Tapi ini quiz-nya udah kelar jadi Shinta mau istirahat dirumah aja.”

Terdengar Gading bernafas lega di seberang sana, “Yaudah, deh. Kamu kesini aja. Ini Ayah lagi di kantin sama Rama.”

“Hah? Ayah dimana?”

“Di kantin sama Rama,”

“Ngapain Ayah di kantin?”

“Makan lah! Emang orang dikantin ngapain lagi?”

“Ayah emangnya engga malu makan di kantin? Ayah kan founder SMARA. Emang gabisa itu makanan dianter aja ke ruangan Ayah? Emang Rama engga malu makan sama Ayah?” Shinta mulai beranjak berdiri dan melangkahkan kakinya ke kelasnya untuk mengambil tasnya.

“Malu sih tadi dia sempet ngga mau, tapi Ayah paksa. Kan Ayah laper, Dek! Tadi berangkatnya buru-buru jadi engga sarapan. Masa Ayah makan sendiri di kantin dikelilingi anak SMA, Ayah malu dong! Akhirnya Ayah ngajak Rama aja, biar malunya dibagi dua.”

Shinta tertawa terbahak saat mendengar candaan Gading. Bisa gadis itu pastikan saat ini pasti Rama sedang menjadi pusat perhatian. Gadis itu mengambil tasnya kemudian berjalan ke arah kelas 12. Saat berada di sana, kantin benar-benar berada dalam kondisi yang ramai. Ada juga beberapa guru yang sedang makan disana, walaupun tidak satu meja dengan Gading dan Rama, tetapi setiap guru-guru itu melewati Gading, mereka selalu menyapanya.

“Hallo!” sapa Shinta dengan senyum lebar saat sudah berdiri di sebelah Rama. Shinta kemudian duduk di sebelah Rama setelah memesan teh hangat yang saat ini dibawanya.

Rama mendongak dan tersenyum saat melihat Shinta. Matanya memicing kala melihat raut wajah Shinta yang pucat dan gadis itu memakai jaket di tengah panasnya Jakarta. Tanganya kemudian mengulur keatas memegang dahi gadis itu, “demam ya? Nggak lihat gue tiga hari?”

Shinta mengangguk, “lo kemana aja sih? Susah banget buat gue temuin? Lo nggak tau apa kalau lo absen dari hidup gue bisa bikin gue mati?”

Rama tertawa, “sorry ya! Kok lo nggak bolos aja sih kalau sakit?”

“Kan gue sembuhnya kalau ketemu elo, Ram. Diem di rumah malah bikin gue sakit kan?”

“Ya tapi kalau lo pingsan gimana?”

Shinta tersenyum, “kan ada lo!”

Gading berdehem, “EHM! Mau Ayah tinggal apa gimana ini?”

Shinta tertawa terbahak, “HAHAHA! Apa sih, Yah! Kayak Ayah nggak pernah pacaran aja!”

“Kamu nggak makan, Dek?” tanya Gading.

Shinta menggeleng sambil menyeruput teh hangatnya, “Shinta mau makan dirumah aja, masakannya Mama. Perut Shinta munek gitu rasanya. Daripada muntah di sekolah.”

“Mau ke rumah sakit dulu?” tanya Gading serius.

Shinta menggeleng, “nggak usah juga sih. Ini udah ketemu Rama kok. Besok pagi paling juga sembuh.”

“Apa mau gue temenin?” tawar Rama kepada Shinta. Memang biasanya Shinta akan lebih cepat sembuh saat ditemani Rama.

“Yee, itu mah alesan lo doang buat bolos!” kata Shinta sambil menyenggol lengan Rama. “Lo itu udah kelas 12, kurang-kurangin gih bolosnya.”

“Emang Rama sering bolos?” tanya Gading curiga.

“Gue getok pake sendok nih ya! Lo ngomong yang enggak-enggak!” kata Rama sambil melayangkan sendok, tetapi laki-laki itu tidak memukulkan sendoknya seperti biasanya, karena ia tau Shinta sedang sakit.

“Ih, Yah! Ayah musti tau. Rama tuh ya….” Shinta mulai mengada-ngada dan menggoda Rama. Saat ini Rama menatapnya dengan raut datar dan menunggu apa yang akan dikatakan gadis itu.

“…. Hehehe. Bercanda, Yah. Rama sih rajin-rajin aja kok!”

“Bagus deh kalau gitu,” kata Gading sambil menyuapkan makanan terakhirnya. “Ngomong-ngomong kamu punya hubungan nggak baik ya sama Sherlyn?”

Shinta membeku kala nama itu diucapkan. Apakah benar namanya sudah dipegang oleh guru BK dan Gading mendapatkan laporannya.

“Emang dia bilang apa aja, Yah?” tanya Rama serius. Laki-laki itu tidak tau apa yang terjadi sampai Ayahnya mengetahui hal ini. Tadi, ia juga kaget kala Ayahnya tiba-tiba menelfon dan minta ditemani makan di kantin.

“Ayah cuman dapet laporan katanya dia bikin masalah sama beberapa anak di sekolah. Termasuk kamu salah satu nama yang pernah dibully sama dia. Emang iya gitu? Kok kamu nggak bilang ke Ayah?” Gading menatap kedua anaknya serius.

“Oh, itu yang waktu satu sekolah akhirnya tau Shinta jadian sama Rama, Yah! Ya dia kan suka sama Rama dari dulu!” Rama dengan cepat memberikan alibi.

“Tapi kamu engga papa kan, Dek?” tanya Gading dengan raut khawatir. “Soalnya ada beberapa anak sampai luka-luka. Mangkannya Ayah turun tangan langsung supaya ini nggak merembet kemana-mana.”

Shinta menggelengkan kepalanya, “Shinta nggak papa kok. Waktu itu Rama langsung dateng jadi Shinta nggak sampe diapa-apain gitu.”

Gading mengangguk-anggukkan kepalanya, “yaudah kalau gitu. Ayah khawatir kamu kenapa-napa.”

“Terus apa ada masalah lagi, Yah? Selain Sherlyn?” Shinta mencoba memancing tentang gerakan bawah tanah.

“Ada sih. Jadi anak-anak yang pernah dibully Sherlyn ini melawan balik. Wajar sih, pasti mereka udah kesel dibully mulu. Kamu jauh-jauh ya dari masalah. Jangan ikut-ikutan yang begituan. Kalau dibully ya lapor aja jangan ngelawan balik gitu.”

Shinta menarik nafas dalam saat mendengar Gading sudah mendengar gerakan kelas bawah tanah. Hal ini berarti Shinta harus memberitau Hanna untuk menghentikannya. Supaya gerakan bawah tanah ini tidak terimbas langsung dan mendapatkan sangsi tegas dari pihak sekolah.

“Terus sekarang Sherlyn gimana, Yah?” tanya Rama penasaran.

“Untuk sementara kita mau negur dia secara pribadi. Terus mau dikonseling sama BK secara rutin. Cari tau akar masalahnya apa. Terus kalau bisa encourage dia buat minta maaf secara pribadi ke korban-korbannya. Kalau memang cara-cara mediasi engga mempan baru kita ambil tindakan surat perintah pemanggilan orang tua, intinya meminta bantuan orang tua untuk lebih memperhatikan anaknya lagi. Kalau hal itu masih engga mempan baru kita skorsing. Kalau memang sampai memakan korban luka berat baru kita keluarin dari sekolah, kayak waktu Moses dulu.”

Pandangan Rama dan Shinta bertemu. Mereka sama-sama tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Saat ini mereka belum mengetahui bagaimana pola dari orang tua Sherlyn saat anaknya dilanda masalah dan bagaimana pola Sherlyn dalam membela dirinya saat terancam dikeluarkan dari sekolah. Jika saja mereka sudah bisa membaca dan memprediksi pola tersebut, Rama dan Shinta bisa mengambil tindakan selanjutnya. Apakah akan melapor ataukah tetap bungkam dan menahannya sampai masa akhir tahun pelajaran.

Distance of Chance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang