C39 - Robert

150 13 1
                                        

"INI APA?!?" Barra melemparkan tablet ke arah kursi di sebelah Shinta.

Shinta dengan malas memungut tablet itu secara ngeri, mengapa ia merasa déjà vu? Ia tiba-tiba teringat momen di masa lalu ketika Barra datang dengan marah-marah sambil melempar amplop berisi surat pemanggilannya di SMARA.

"Apa lagi deh, Pa?" Shinta membuka lockscreen dan terbelalak saat membaca artikel yang ada di depannya, 'INI DIA GADIS BARU YANG DIKENCANI OLEH VOKALIS KALEIDOSCOPE, RAMA!'. Tulisan itu benar-benar tampak besar untuk ukuran sebuah headline.

"Kapan kejadiaannya?" tanya Barra yang mencerca Shinta dengan pertanyaan padahal gadis itu belum selesai membaca artikelnya.

Shinta menghela nafasnya kala melihat foto kejadian kemarin, saat ia memeluk Rama dan mengganggu jalannya syuting, terpampang di akhir artikel. Untung saja wajahnya sepenuhnya ditutupi oleh punggung Rama.

"Ish, lagian wajah Shinta nggak kelihatan kok. Kayaknya bukan masalah juga sih, Pa! Paling berita kayak gini juga minggu depan udah hilang."

"Kamu kira ini di UK yang kamu bisa peluk-peluk orang semau kamu?" Barra tetap memarahinya. "Ini di Indonesia dan kamu di publik loh! Kamu udah umur 25 tahun sadar nggak sih? Dan semalem kalian masih sempet-sempetnya tidur seranjang?! KALIAN TIDUR SERANJANG!" Barra berteriak di depan Shinta yang hanya menunduk.

"Ya kan ini cuman Rama, Pa!" bantah Shinta. "Ini cuman Rama gitu! RAMA! Ya kita emang gitu dari dulu!"

"Ya tapi sekarang kalian tuh umur 25 sama 26 sayang! Ngerti nggak sih maksud Papa?"

Shinta mengerutkan dahinya, "Pa, we didn't do it okay?!"

Barra menggeram masih tidak percaya dengan apa yang terjadi tadi pagi. Keheningan di ruang makan menjadi sebuah bencana saat kedua anak yang sudah sepenuhnya dewasa itu, keluar dari kamar yang sama, masih mengenakan piama, dan bahkan Barra yakin mereka masih setengah sadar. Dan yang lebih mengherankan lagi adalah keduanya sama-sama menganggap hal itu bukanlah sebuah perkara yang besar. Saat itu Barra merasa harusnya dari dulu ia memisahkan kedua anak itu ketika sudah memasuki masa pubertas.

"Papa nggak mau nerima excuse lagi! Pokoknya kamu nggak boleh tidur lagi sama Rama!" Barra mengehela nafasnya. "For godsake kamu bentar lagi jadi istri orang lain, Shin! Please behave! Apa kata Robert kalau tau kamu semalem tidur seranjang sama Rama?"

Saat itu juga Shinta tertohok. Ia memejamkan mata dan meremas kepalan tangannya erat-erat. Rasa sakit seketika kembali merayapi relung hatinya.

"Pa!" panggil Shinta dengan lirih. Ia mendongakkan kepalanya dan menatap Barra. "He's cheating from me."

Barra terkejut mendengarnya. Ia hampir tidak percaya bahwa Robert mampu melakukan perbuatan tercela seperti itu.

Shinta mendengus, "Shinta baru mau ngomongin soal ini pas dinner nanti. Eh malah papa yang maksa buat Shinta cerita duluan."

"Kamu udah bicarain ini baik-baik sama dia?" tanya Barra karena menurutnya, Robert bukanlah orang yang buruk. Mungkin saja saat itu hanya kesalahan sesaat.

Shinta menggeleng, "Shinta masih butuh waktu sebelum memutuskan selanjutnya harus ngapain, Pa."

Barra mengangguk setuju, "kamu pikirin dulu aja dengan tenang. Ambil sebanyak waktu yang kamu butuhkan. Papa cuman pesen bahwa cheating bukan perkara yang asing dalam sebuah hubungan. Papa dulu juga pernah cheating dari Mama. Jadi mau kejadian itu terjadi sekarang atau pas kalian udah berumah tangga, hal itu pasti juga bakal dateng." Barra memberikan sedikit nasehat kepada Shinta. "Pikirin aja dulu baik-baik. Cheating nggak selalu jadi salah pelakunya kok dan nggak akan selalu jadi hal yang buruk kalau nyatanya kalian emang nggak cocok satu sama lain, walaupun emang iya kalau metodenya salah. Omongin ini baik-baik ke Robert. Fokus sama gimana cara nyelesaiin masalahnya, jangan pada egois terus kabur-kaburan gini!"

Distance of Chance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang