C26 - Adult Talk

98 6 0
                                    

“Shit! He kissed me, Mom!”

Pagi ini begitu tenang dan cerah saat Anna keluar dari kamarnya. Saat itu kondisi rumah masih sepi dan Anna memutuskan untuk berkebun saja. Ia pergi ke taman belakang dan memotong beberapa daun yang sudah menguning, ia juga menyempatkan untuk menanam bibit bunga yang baru ia beli kemarin bersama Lanna saat jalan-jalan di pasar bunga. Selesai berkebun ia memutuskan untuk menyeduh teh dan meminumnya di tengah keheningan ini. Pagi Anna yang bergitu tenang langsung hancur begitu saja ketika putri sematawayangnya datang dengan tiba-tiba dan memeluknya. Kemudian gadis itu mengucapkan beberapa patah kata yang sudah ia prediksi dengan benar akan terjadi cepat atau lambat.

“How was it?”

“It was …” gadis itu memiringkan kepalanya untuk mencari kata-kata yang tepat. “Good?”

Shinta merasa tidak yakin dengan jawabannya, “aku nggak tau sih, Ma. It is sort of between good and comfortable. Kayak Shinta bener-bener bisa ngerasain seluruh emosi Rama. Love, hate, passion, and everything blend into a feeling that I cannot describe.”

Anna tersenyum kala melihat anak gadisnya sudah mulai tumbuh menjadi wanita dewasa. Ia jadi mengingat masa-masa mudanya saat ia berpacaran dengan Barra dulu.

Shinta duduk di sebelah Anna, mengambil teh miliknya, dan menegaknya sampai habis. “Mom I guess I’m falling in love with him.”

Anna tertawa saat melihat tingkah Shinta, gadis itu terlihat begitu gusar, tidak tenang, tetapi Anna bisa melihat sorot bahagia di ekor matanya. Sorot yang selama ini tidak pernah ia perlihatkan untuk laki-laki manapun. Bahkan tidak untuk Rama sebelumnya. Dulunya gadis itu selalu memandang Rama dengan sorot kasih sayang, namun saat ini terlihat sekali bahwa dia melihat Rama dengan sorot yang melebihi rasa sayang, tetapi cinta.

“Breathe, Shin. Take a deep breath!”

Shinta mengambil nafasnya dalam-dalam saat Anna berucap. Ia berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tidak terkendali.

“Okay. Now tell me every detail!” Anna bersiap untuk mendengarkan cerita anaknya itu.

“Jadi karena Shinta sakit, dia dateng, and then we talked, and BOOM we kissed!”

“Did he do it well?” tanya Anna menggoda Shinta.

“MOM!!!” Shinta berteriak dan menutup wajahnya malu mengingat kejadian sore kemarin. Ia tidak tau harus bagaimana menyikapi ketika bertemu Rama nanti.

“It’s too bad if he did it bad. Cause your dad did it like a pro!”

“Shit, MOM! He is such a good kisser!” Anna terbahak saat anak gadisnya mengatakannya. “Shinta nggak nyangka kalau first kiss Shinta bakal se-EPIC itu! And it was him! RAMA!”

“Do you know what comes up after your first kiss?” tanya Anna kepada Shinta dan raut gadis itu langsung berubah dari bahagia menjadi terlihat kebingungan.

“Are we going to discuss about sex?” tanya Shinta asal menebak. Barra dan Anna sama-sama sepakat, bahwa topik tentang sex adalah topik yang harus dibicarakan antara orang tua dan anak. Menurut mereka lebih baik memberikan sex education daripada harus melarang anak muda untuk melakukannya. Menjamin bahwa anak perempuan sematawayangnya akan tetap berstatus gadis hingga dia menikah adalah suatu janji palsu belaka di abad ke-21 dengan kehidupan metropolitan seperti ini.

“No of course not! Kita bakal bahas itu tapi later.”

“Jadi apa yang terjadi habis first kiss?” tanya Shinta penasaran.

“Problem,” Shinta memicingkan sebelah matanya. Ia tidak mengerti ucapan Anna. “After you kissed someone and especially it’s your first kiss, itu akhirnya kamu mulai membuka hatimu sepenuhnya untuk orang ini dan kamu simply mempercayainya. That’s why you kissed! Cause you trust him.”

“Shinta ngga paham, Ma.” Shinta masih kesulitan menyerap kata-kata Anna.

Anna berpikir sejenak, mencari cara paling tepat untuk menjelaskan supaya Shinta dapat dengan mudah memahaminya, “Mama nanya deh, kenapa Rama? Kenapa dari semua laki-laki harus Rama. I mean you’ve been in a relationship before. Sama Guntur ataupun Daniel. Kenapa harus Rama dan kenapa harus sekarang momennya? Kenapa nggak kemarin-kemarin atau beberapa tahun lagi?”

Shinta memicingkan matanya kala memproses pertanyaan Anna, harus Shinta akui pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab, “well first of all, I didn’t date both Guntur and Daniel. We’re just a close friend.”

Shinta memberikan jeda untuk dia berpikir jawaban akan pertanyaan berikutnya, “Shinta nggak tau sih ma, kenapa harus sekarang. Everything comes so sudden that I can’t even imagine he will lay his lips upon mine.”

“Iya kamu bener, kamu nggak expect ini untuk terjadi. But you kissed him back, aren’t you?”

“Yes, I am!”

“Kenapa?” Anna mencoba memancing jawaban Shinta sebenarnya. “Ketika Rama nyium kamu tiba-tiba, that’s totally a thing that you cannot control kan? But the way you respond him. The way you kissed him back. It’s something that comes up from yourself, so you finally decide to COME ON KISS HIM BACK!”

“I guess because I trust him, so like why not? I’ve been knowing him since we were a kid and he’s a good man.”

Akhirnya Anna mendapatkan jawaban yang ia mau, jawaban yang jujur tanpa Shinta harus memikirkan alasannya, “NAH, karena kamu percaya sama Rama kan akhirnya kamu mau membalas ciumannya?”

Shinta menganggukan kepalanya.

“Ketika kamu biarin Rama nyium kamu, itu artinya kamu bukan cuman mempercayainya tapi kamu juga meletakkan kepercayaanmu di tangan Rama. Kamu dengan sadar menerima dan membalas ciumannya. It’s like kamu meletakkan segala faith and trust in his hand. Itu berarti kamu menaruh hal yang nggak bisa kamu kontrol ke kehendak orang lain.”

“Ahh, Shinta paham!”

“See? Selama ini kamu mengkontrol faith and trust pada tangan kamu sendiri. Kayak ketika kamu di deketin Guntur kamu engga percaya sama dia dan kamu engga membalas perasaanya. Kamu mengkontrol rasa kepercayaan itu di tangan kamu sendiri. Tapi ketika kamu memutuskan untuk pacaran sama Rama. Kamu membuka hatimu untuk dia, kamu membuka cara berpikir kamu yang lain untuk Rama, dan kamu menekan segala rasa ego untuk bisa mencintai dia dengan benar. Ketika kamu membalas ciumannya, kamu bener-bener put your faith into him. Dan itu adalah sebuah masalah, karena kamu nggak tau kapan dia bakal menghancurkan kepercayaan itu.”

Shinta mulai mengerti apa yang dimaksud Anna, dia tidak berpikir sejauh itu ketika membiarkan Rama menciumnya. Ia tidak menyadari bahwa ia sudah memberikan sesuatu yang berharga ke tangan Rama, yaitu rasa kepercayaannya.

“I know that you’re happy. Dan mama juga bahagia kalau kamu bahagia. Tapi kamu harus aware akan apa yang terjadi berikutnya. You may get trust issue and get hurt because of it. Jadi kamu harus paham saat itu terjadi, itu bukan sepenuhnya salah Rama. Ini semua terjadi ketika kamu memilih untuk meletakkan kepercayaanmu di tangannya.”

“Shit! I’m not ready for that.”

“You have to be ready, Shin.”

“Sooner or later kamu atau Rama pasti buat kesalahan. Mama cuman mau pesen untuk saling mempertahankan aja di saat salah satunya lupa jalan pulang. Untuk tetap bertahan dan ada buat satu sama lain. Udah itu aja si yang mau Mama omongin ke kamu.”

“Awwww….” Shinta berhambur memeluk Mamanya. “That’s a good advice, Mom!”

“Now, next discussion.” Anna memajukan tubuhnya sambil membisikkan suatu kata di depan Shinta. “Sex.”

Distance of Chance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang