C29 - Let Me Go

71 8 0
                                    

“Anjir, Shin!” panggil Arya, manajer Shinta, yang pada waktu itu adalah fans pertamanya.

“Apa, ada apa?” saat ini Shinta sedang berada di backstage di acara musik pendatang baru di Lembang. Ia sengaja datang lebih awal karena ingin berlatih dengan anak band yang akan mengiringinya nanti. Sebagai penyanyi solo, Shinta seharusnya punya anggota band sendiri, yang akan mengiringinya di acara-acara seperti ini. Namun, Shinta belum mau menyewa karena ingin menghemat budget. Ia ingin menggunakan uangnya untuk membayar produser musik untuk membuat lagunya. Meskipun ia bisa meminta bantuan Barra, namun ia tidak menginginkan itu. Sesuai tekad awal, ia ingin sukses karena dirinya sendiri, bukan karena nama kebesaran milik orang tuanya.

“Ada salah satu artis yang tiba-tiba cancel, dia kecelakaan pas mau kesini. Jadi, lo dikasih 2 lagu lagi. Gimana lo terima nggak? Fee-nya lumayan gede loh!”

Shinta menimbang-nimbang lagi, ia sudah berlatih 5 lagu bersama anak band yang disediakan oleh penyelenggara. Menambah 2 lagu artinya ia harus memainkan musiknya sendiri. Sedangkan saat ini Shinta tidak membawa keyboard atau gitarnya.

“Tolak aja deh, Ya! Lagian gue nggak bawa alat musik. Lo nyuruh gue akapela gitu?”

Arya tertawa dengan candaan Shinta, ia masih tidak menyangka bisa dipilih menjadi manajer dari seseorang yang sangat ia kagumi, “kan lo bisa minta Kaleidoscope, Shin! Lagian penggemar lo pasti seneng bisa ngeliat lo sepanggung sama Rama.”

Shinta menatap Arya malas, padahal tadi pagi saat berangkat ke Lembang gadis itu sudah menjelaskan kepada Arya masalah kembalinya Abby, “nggak usah ngelawak. Engga lucu!”

“Ayolah, Shin! Katanya target lo dalam 3 bulan kedepan udah bisa hire produser. Uang kita masih sepertiganya nih!” Arya terus mendesak Shinta. “Atau lo pinjem piano Guntur deh. Apa lo minta tolong ke dia buat ngiringin lo. Dia nggak mungkin nolak kan?”

Shinta mengernyitkan dahinya, apa yang dikatakan Arya memang benar. Shinta memang tidak salah ketika memilih Arya sebagai manajernya. Laki-laki itu memang cerdas dan bisa diandalkan. “Yaudah deh, terima aja. Habis ini gue kontak Guntur.”

Arya terlihat senang, saat berhasil membujuk Shinta. Gadis itu segera mengambil ponselnya untuk menghubungi Guntur. Namun, sudah tiga kali Shinta menghubunginya dan tidak ada satupun yang dijawab. Apa Shinta harus menghampiri Guntur ke ruangannya saja? Lagi pula ruangan Kaleidoscope tepat disebelah ruangannya karena waktu manggung mereka tepat setelah Shinta.

Shinta segera berdiri dan berjalan keluar dari ruangannya. Tepat saat tangannya ingin mengetuk pintu, tiba-tiba ia teringat. Bagaimana jika ia bertemu dengan Rama? Atau bagaimana jika Abby ada di ruangan itu juga? Karena sebenarnya Shinta tidak tau apakah Abby ikut ke Lembang atau tidak. Tadi ia memutuskan untuk berangkat sendiri bersama Arya, tidak bersama Kaleidoscope seperti biasanya. Ia tidak mau merepotkan menahan sakit hati ditengah perjalanan jika memang Abby ikut.

Shinta menekan ponselnya dan menghubungi Guntur sekali lagi. Jika memang laki-laki itu tidak mengangkatnya, Shinta akan nekat menerobos, apapun risikonya nanti.

Damn!” Shinta mengumpat saat Guntur tidak juga mengangkat telfonnya. Bertepatan dengan Shinta ingin mengetuk pintu itu terbuka. Shinta kaget bukan main saat melihat gadis yang lebih pendek dari dia berdiri tegak didepannya. Shinta menatap gadis itu lekat-lekat, ia baru pertama kali melihat Abby sedekat ini. Dan gadis itu terlihat… cantik?

Seketika mata Shinta terasa perih, tapi gadis itu memaksakan senyumannya, dan mengubur dalam-dalam rasa sakit hatinya. Kariernya lebih penting daripada rasa sakit yang seremeh ini.

“Ehm,…” Shinta berdehem mencoba menghilangkan kecanggungan. “Sorry, gue mau nyari…”

“Oh, mau nyari Rama ya?” Gadis itu memotongnya. “Masuk aja!”

“Eh?” Shinta menatapnya heran. “Engga kok, gue mau nyari Guntur. Ada kan?”

Gadis itu mengangguk dan mempersilahkan Shinta masuk. Shinta kemudian masuk dan melihat bahwa mereka sedang latihan. Pantas saja Guntur tidak menjawab panggilannya.

Rama yang tadinya duduk, langsung berdiri kala melihat Shinta, dan Abby yang ada di belakang gadis itu. Betapa kagetnya Rama saat melihat Shinta dan Abby bertatap muka secara langsung. Jika dulu Rama bisa melarang Shinta untuk ikut manggung agar tidak bertemu Abby, sekarang ia tidak bisa melakukan itu.

“Ada apa?” Rama bertanya kepada Shinta dengan intonasi yang sedikit tinggi. Seolah laki-laki itu tidak suka melihat Shinta ada disini. Hal itu membuat Shinta menahan nafasnya, untuk menahan sakit yang ada di dadanya.

Easy, Ram.” Shinta memperingatkan Rama untuk tidak berbuat kasar kepadanya hanya karena Abby ada di sini. “I’m not here for you.”

“BTW, kalian masih sibuk latihan ngga? Kalau masih sibuk gue balik lagi entar,” tanya Shinta kepada anggota Kaleidoscope yang lain.

“Kita udah kelar sih. Pas lo tadi ngintrupsi itu kita udah kelar,” jawab Guntur. “Ada apa?”

“Gue mau minta tolong nih,” kata Shinta sambil mendekat ke arah Guntur. “Gue telfon lo berkali-kali anjir! Engga lo angkat.”

“Eh masa?” tanya Guntur sambil mengambil ponselnya. “Anjir, sorry. Ke-silent HP gue.”

Shinta mengangguk. Dari ekor matanya ia bisa melihat bahwa Abby mendekat dan duduk di sebelah Rama. Shinta tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan dan Shinta tidak berencana melihat apapun yang mereka lakukan.

“Ada apa?” tanya Guntur lagi.

“Kalian dapet slot lagu lagi ngga sih?” tanya Shinta yang mengasumsikan sebelum ia datang tadi Kaleidoscope sedang berlatih lagu baru.

“Kok lo tau?” sambung Ivan yang lebih memilih menimbrung bersama Shinta, Guntur, dan Damas daripada dengan Rama dan Abby.

“Soalnya gue juga dapet.”

“ANJIR!” Ivan mengumpat. “Duet aja kalik! Kita lama engga collab. Elo sih terkenal sendiri sekarang. Engga inget kita yang pertama kali publish elo!”

Abby membeku saat mendengarnya. Apa ada suatu hal yang belum diceritakan kepadanya? Jika dipikir-pikir lagi ia memang belum bertanya kepada Rama bagaimana sejarah Shinta bisa terjun ke dunia hiburan. Gadis itu tidak ingin banyak membahas Shinta dengan Rama karena ia menghormati masa lalu Rama.

Shinta tertawa, “sorry nih! Entar deh gue traktir. Tapi gue engga bisa collab. Soalnya manajer gue udah bilang gue solo 2 lagunya.”

“Alah gampang sih itu. Penonton juga lebih seneng kalau elo duet sama Rama,” Ivan tetap ngotot dengan polosnya. Ia benar-benar tidak bisa membaca situasi dengan tepat. Guntur dan Damas sudah tersenyum ingin tertawa kala mendengar kebodohan Ivan. Mereka memilih tidak ikut campur dan ingin mengetahui reaksi Rama dan Abby.

Shinta menyentuh tangan Ivan, supaya laki-laki itu menerima kodenya, “Van, gue solo. Okay?!”

Saat Shinta mencengkram tangannya baru laki-laki itu mengerti. Seketika ia merutuki kebodohannya dan tidak memaksa Shinta untuk duet dengan mereka lagi.

“Jadi, lo mau minta tolong apa?” tanya Guntur setelah melihat situasi aman dan dikendalikan dengan baik oleh Shinta.

“Gue mau pinjem keyboard lo dong!”

Guntur menatap Shinta dengan tatapan heran, “tapi elo kan engga tau setting nya keyboard gue gimana.”

“Ya mangkannya ini gue belajar!”

“Lo yakin bisa? Apa mau gue iringin aja?” tanya Guntur.

Shinta memberi Guntur tatapan tidak percaya, “lo mau ngeraguin keahlian gue dalam bermain musik lagi nih? Percaya aja kenapa sama gue!”

Guntur terbahak, ia senang melihat Shinta menyombong seperti ini. Shinta terlihat dua kali lebih seksi saat menunjukan kepercayaan dirinya seperti ini, “Iya deh iya, gue ajarin!”

Selama 10 menit Guntur menjelaskan segala perihal pengaturan yang ada pada keyboardnya dan benar saja, gadis itu menangkapnya dengan cepat. Setelah Guntur menjelaskan semuanya, Shinta mulai mencobanya sendiri, memainkan beberapa nada dan mencoba beberapa chord yang akan dipakainya untuk lagu nanti. Shinta terlihat kebingungan dan mengulang-ulang melodi yang ada. Rupanya ia tidak begitu handal dalam hal menentukan chord di lagu yang rumit.

“Lo mau nyanyi apa sih?” tanya Rama. Laki-laki itu mulai gusar saat Shinta mengulang-ulangi melodi. Ia tau gadis itu tidak yakin dengan nada yang akan diambilnya. “Sini gue cariin chordnya. Gue tau dari tadi elo engga yakin.”

“Bentar, ish!” Shinta menolak bantuan Rama. Gadis itu tidak ingin terlihat bergantung kepada Rama. Pada saat menyanyikan lagu Shallow, dia dapat mengambil chord yang tepat karena sehari sebelumnya ia iseng bermain gitar dan melihat tutorial lagu tersebut. Tapi, lagu kali ini, Shinta sudah lama tidak mendengarnya. “Gue nggak yakin bisa nembak nada setinggi itu sambil main piano engga!”

“Yaudah si nyanyiin aja,” kata Rama sambil melihat ke arah Shinta yang masih serius dengan piano Guntur.

“DONE!” Gadis itu sedikit berteriak. Rasa bangga mengembang dalam dadanya karena bisa mencari chord yang tepat, tanpa bantuan siapapun.

“Gue baru tau lo bisa main piano,” celetukan dari Abby membuat seisi ruangan diam. Mereka tidak menyangka jika gadis itu akan mengajak ngobrol Shinta.

Shinta yang juga sama terkejutnya, memilih untuk tersenyum untuk menutupi keterkejutan yang ada, “gue emang jarang main piano sih dulu.” Shinta mencoba menjawab tanpa ada nada sombong di perkataannya.

“Tapi kalau dipikir-pikir gue juga ngga tau sih lo bisa nyanyi,” gadis itu berdiri menghampiri Shinta. “Rama nggak banyak cerita soal elo! Padahal gue selalu kepo.”

“Nggak ada yang menarik dari gue untuk diceritain juga sih,” Shinta tetap memainkan piano Guntur. Untuk mengurangi kegugupan saat Abby mendekatinya.

“Gue Abby, BTW…” Gadis itu mengulurkan tangannya dan Shinta kebingungan melihatnya. “Kita kan belum pernah kenalan secara langsung.”

“AH, Iya!” Shinta menghentikan jarinya yang menari di tuts piano dan menerima uluran tangan Abby. “Gue Shinta! Sorry, waktu kemarin gue sakit. Jadi musti pulang dan engga sempet kenalan.”

“Tapi, elo udah ngga papa kan?” tanya Abby.

“Nggak papa dong! Kan gue nolonginnya tepat waktu.” Guntur mencoba menyelamatkan Shinta. Ia tau bahwa sebenarnya gadis itu tidak nyaman diajak bicara oleh Abby. Shinta menatap Guntur dengan tatapan berterimakasihnya, ia akan membalas kebaikan laki-laki itu nanti.

“Shin, sini dong! Gue mau minta tolong.” Damas yang sudah tidak sanggup dengan suasana canggung yang ada, memilih untuk menyelamatkan Shinta juga. Lagi pula Damas memang lebih menyukai Shinta dibanding Abby. Lagi-lagi Shinta memberikan tatapan berterimakasih kepada Damas, karena sudah menyelamatkannya.

“Et, gue bantuin Damas dulu ya!” Shinta mencoba tetap sopan di depan Abby. Walaupun dalam hati rasanya ingin menampar gadis itu untuk semua hal yang telah ia lakukan.

“Gue kemarin barusan bikin project iseng lagu gitu. Coba dengerin deh!” Selain drummer, Damas juga menekuni musik EDM. Ini adalah project original pertamanya.

Shinta menerima headset dari Damas dan mendengarkannya dengan seksama, “ini keren. Untuk lo yang pertama kali ngebuat lagu lo sendiri. Tapi, kalau tujuan lo untuk komersil, nah ada masalah!”

“Apaan tuh?” tanya Damas.

“Musik lo ini nggak punya signature,” Damas menyimak penjelasan Shinta. “Lo tau kan musik beginian tuh ada ciri khasnya atau signature tadi. Kek orang denger Avicii tuh, pasti tau itu Avicii gitu. Nah, musik lo ini kurang Damas banget gitu!”

Damas manggut-manggut memahaminya, dia menerima kritik Shinta dengan terbuka.

“Tapi, ngga papa sih! Pasarin aja dulu. Karena kalau nunggu elo punya signature, keburu engga jadi-jadi.”

“Lo mau nggak jadi penyanyi gue nanti?” tawar Damas kepada Shinta.

“Wah, dengan senang hati sih!”

“SHIN!” pintu Kaleidoscope terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu. “15 menit lagi naik,” Arya setengah panik saat ponsel Shinta tidak kunjung bisa dihubungi.

“Oh, okay! Ya, suruh orang buat ambil pianonya Guntur buat 2 lagu terakhir ya,” Shinta berjalan ke arah Guntur. “Gue pinjem dulu ya?”

Good luck!” Guntur memberikan pelukan singkat untuk menyemangati gadis itu. Untuk menyalurkan energi dan kekuatan bahwa gadis itu tidak sendiri.

Shinta membalas pelukan Guntur, terasa nyaman dan aman memang, “buat tadi terimakasih ya udah nyelametin gue lagi dan lagi.”

Shinta melepas pelukannya dan berjalan keluar ruangan. Suasana di ruangan Kaleidoscope masih hening setelah Shinta pergi. Seolah-olah tidak ada yang ingin membicarakan kecanggungan yang ada tadi. Abby memilih kembali duduk di sebelah Rama yang sibuk memainkan ponselnya. Begitu juga dengan anggota lain yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

“Shinta keren juga ya orangnya,” celetuk Abby kepada Rama. Walaupun suaranya lumayan pelan tapi ia yakin seluruh ruangan bisa mendengarnya, mengingat kondisi ruangan saat ini sangat hening.

“Dia emang jago sih masalah musik,” jawab Rama seadanya. Tanpa ada nada membanggakan Shinta.

“Yang ngajarin kamu, Ram?” tanya Abby lagi.

“Engga sih. Justru aku yang diajarin sama dia,” jawab Rama. “Dia udah punya bakat main musik dari kecil. Kalau aku belajarnya, gara-gara kebanyakan liat dia main musik. Jadi, akhirnya pengen main musik juga.”

“Oh ya?” tanya Abby penasaran. “Kapan-kapan dong kamu certain soal Shinta. Aku kan kepo, Ram. Dia kan sahabat kamu dari kecil, masa sih aku engga tau sama sekali.”

Abby berusaha menekan ego dan rasa cemburunya. Ia tau cemburu bukanlah jalan yang bijak, karena hal itu akan semakin memberatkan Rama. Ia sudah pernah meninggalkan Rama dan dengan laki-laki itu mau menerimanya kembali, itu merupakan sebuah keberuntungannya. Ia harus mencoba berdamai dan bahkan berteman dengan masa lalu Rama jika itu memang memungkinkan.

Next time ya! Aku certain semua dari awal sampe akhir tentang Shinta.”

Tidak berselang lama, merekapun di panggil untuk segera ke belakang panggung. Dari sini mereka masih dapat melihat Shinta menyanyikan 2 lagu terakhirnya. Hal itu membuat mereka, terutama Abby, mempunyai kesempatan untuk melihat perform Shinta yang terakhir.

Shinta mendekatkan ke piano Guntur, gadis itu mulai memainkan melodinya. Ia mencurahkan segala keresahannya akhir-akhir ini kedalam karyanya, persis seperti apa yang Guntur katakan. Ia memejamkan matanya, meresapi musik yang dimainkannya.

You've got a hold of me
Don't even know your power
I stand a hundred feet
But I fall when I'm around you

Shinta mengingat bagaimana cara Rama menyatakan perasaanya, kali itu di UKS saat ia dibully Sherlyn. Saat itu ia tidak tau, bahwa Rama bisa menghancurkan hatinya separah ini. Yang ia kira ia akan baik-baik saja, nyatanya dia terjatuh juga.

Show me an open door
Then you go and slam it on me
I can't take anymore
I'm saying baby

Rama menunjukkan sebuah cara untuk menyelamatkannya dari Sherlyn, yaitu dengan menyandang status sebagai pacarnya. Dan jujur saja, Shinta terbuai dengan ketulusannya, hingga ia membiarkan Rama untuk masuk ke dalam kehidupannya.

Please have mercy on me
Take it easy on my heart
Even though you don't mean to hurt me
You keep tearing me apart
Would you please have mercy, mercy on my heart

Yang Shinta inginkan adalah Rama mengaku, Rama memberitau di depan matanya dan menyatakan bahwa ia memilih Abby dibanding dirinya. Walaupun sebenarnya Shinta tau, Rama tidak bisa melakukannya karena tidak ingin menyakitnya secara langsung.

Consuming all the air inside my lungs
Ripping all the skin from off my bones
I'm prepared to sacrifice my life
I would gladly do it twice

Tapi apakah Rama tidak menyadari? Bahwa diamnya justru menyayat Shinta perlahan?

Please have mercy on me
Take it easy on my heart
Even though you don't mean to hurt me
You keep tearing me apart
Would you please have mercy on me

Shinta ingin Rama mengatakannya setelah mereka pulang dari Lembang, bahwa hubungan mereka sudah sampai disini. Shinta ingin Rama segera mengakhiri semuanya.

I'm a puppet on your string
And even though you got good intentions
I need you to set me free
I'm begging you for mercy, mercy

Shinta ingin Rama melepaskannya, agar Shinta bisa segera melupakan Rama dan melanjutkan hidupnya.

DON'T FORGET TO VOTE AND COMMENT!

Distance of Chance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang