Sudah sejak tiga hari Shinta menerima file rekam medis Abby dari Guntur, namun entah mengapa ia belum memberitaukan kepada Rama hingga saat ini. Shinta ragu, apakah Rama akan tetap bersamanya jika ia mengetahui alasan kepergian Abby? Shinta cukup yakin laki-laki itu akan kembali terpuruk dan menyalahkan diri sendiri atas kepergian Abby.
“Bengong aja, Dek!” Anna datang menyadarkan Shinta dari lamunannya. Saat ini ia sedang berada di kolam renang belakang rumah. Ia ingin menyendiri.
“Lagi banyak pikiran?” tanya Anna lagi.
Shinta mengangguk, mungkin ia bisa meminta pendapat Anna perihal hal ini, “Ma?”
“Hmm?”
“Jadi artis itu ternyata capek ya!” Shinta berbasa-basi sebelum masuk ke inti cerita. Hal itu ditanggapi tawaan oleh Anna. “Tapi Shinta bangga, belakangan ini dapet duit sendiri. Ya walaupun selama ini nggak pernah kekurangan apapun sih, tapi bangga aja. Rasanya beda kalau beli pake duit sendiri.”
Anna tersenyum sambil mengusap kepala anaknya, ada perasaan haru saat melihat gadis kecilnya sudah bertumbuh menjadi wanita dewasa, “Mama bangga sama kamu. Kamu bisa nentuin hidup kamu sendiri dengan bener.”
Shinta mengangguk dan tersenyum, “Ma?” panggilnya lagi.
“Ya?”
“Belakangan ini Shinta sering makai akses dari Papa,” akses yang dimaksud adalah kekuasaan Barra yang digunakan Shinta akhir-akhir ini. “Papa Mama pasti tau kan?”
Anna mengangguk, “Meskipun Papa kamu sampai sekarang belum pernah ngecheck track history kamu nyari apa aja, tapi Papa dapet laporan setiap kali kamu makai akses Papa.”
Shinta tersenyum, “makasi ya Ma udah percaya sama Shinta.” Hati Shinta seperti terselubung awan hangat. Ia benar-benar menghargai orang tuanya yang memberikan kepercayaan kepadanya.
“Kamu mau cerita sesuatu tentang itu?” tanya Anna.
Shinta mengangguk, “Shinta nggak sengaja nemuin kenapa Abby ninggalin Rama, Ma. Terus sekarang Shinta bingung, mau ngomong ke Rama atau enggak.”
Anna tertawa, sampai sekarang ia masih tidak percaya akhirnya Shinta berpacaran dengan Rama. Ia kira itu membutuhkan proses yang lebih lama sampai kedua insan itu menyadari bahwa mereka saling suka.
“Kamu tau kan, Dek! Kalau ada sesuatu hal yang nggak mau kamu omongin ke Rama, itu berarti tandanya berarti harus kamu ngomongin?”
Shinta berdecak, Anna memang benar, “iya sih Mama bener. But what if he left me?”
“He won’t,”
“Dari mana Mama tau?”
“Karena Mama kenal Rama dari kecil!” kata Anna sambil menyentil hidung Shinta. “Kamu masih inget nggak sih? Gimana susahnya Mama sama Bunda buat misahin kalian waktu TK?”
Shinta masih mengingat kejadian itu samar, “waktu Rama kali pertama mau sekolah ya?”
“Iya. Gimana kalian berdua nangis pengen main bareng terus?” Shinta tertawa mengingat kilasan memori itu. “Atau waktu kamu sakit dan Rama selalu nunggu di sebelah kamu?”
“Tapi kan waktu sama Abby, Rama udah jarang nungguin Shinta.”
“Nggak nungguin apa? Setelah pulang kencan sama Abby dia selalu langsung ke rumah sakit loh!”
Shinta memicingnya matanya, mengapa ia tidak tau hal ini?
“Biasanya waktu kamu udah tidur dia datengnya,” Anna memberikan penjelasan lebih lanjut. “Atau waktu kamu dihukum Papa deh, gegara nyulik Rama ke Singapore!”
Shinta terbahak, “astaga Ma! Shinta bener-bener iseng kemarin itu.”
“Waktu Papa ngejatuhin hukuman itu, tau nggak sih, setiap hari Rama ngechat Mama. Nanya kabar kamu gimana? Kamu nggak sakit kan?”
Shinta tersenyum, ia tidak mengetahui sisi Rama yang itu. Anna memegang tangan anaknya dan tersenyum, “sampai kapanpun Rama bakal selalu sayang sama kamu. Dia bakal selalu jadi Rama yang berdiri paling depan pas kamu disakiti orang. Kalaupun Rama nantinya galau lagi gara-gara Abby, that’s totally okay! Give him a time.”
“Kalau kamu takut bakal sendiri lagi kayak kemarin. That’s your problem, Shin! Kamu nggak boleh terus-terusan dragging Rama untuk menyelesaikan semua masalah kamu. Kamu punya Arra, Mama, Papa yang selalu bakal nemenin kamu, through your journey.”
“Kamu sama Rama itu sama aja. Rama galau gara-gara Daniel sama Abby sampe nggak sadar kalau sebenernya dia masih punya kamu. Kamu galau gara-gara Daniel sama Rama sampe nggak sadar kalau masih punya Arra, Papa, atau Mama.”
“Di dunia ini, kamu ngga bisa terus-terusan maksa orang supaya tetep ada di samping kamu. Some of them may leave you one day dan ketika itu terjadi kamu harus mempertahankan mereka. Tapi kalau udah nggak bisa, then it’s time for you to let go. Kayak letting go Daniel contohnya.”
Shinta terdiam, pandanganya lurus ke arah Anna. Sekarang ia tersadar bahwa selama ini ia salah. Dia juga sama seperti Rama yang hanya melihat hal-hal yang meninggalkannya sampai tidak tersadar bahwa ia mempunyai beberapa orang yang masih peduli padanya.
“Maaf ya, Ma. Shinta udah buat salah.”
“That’s okay, Darling. It’s part of growing up!”
“Jadi?” tanya Anna kepada Shinta. “Masih bingung mau ngomong atau nggak ke Rama?”
Shinta menggelengkan kepalanya, walau ada kemungkinan bahwa Rama akan meniggalkannya, tetapi ia akan tetap mengikuti kata hatinya untuk memberitau Rama. Menurut Shinta laki-laki itu berhak tau.
Saat ini Shinta sedang duduk di ranjang Rama. Laki-laki itu masih dengan seksama membaca rekam medis Abby. Sudah satu jam lamanya Shinta menunggu Rama membaca, namun sepertinya laki-laki itu terus-menerus mengulanginya. Jujur saja, sebenarnya hati Shinta remuk. Ia tidak menyangka melihat reaksi Rama sebegitu menyakitkan.
“Gue balik dulu ya?” Shinta akhirnya membuka suara. Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam dan baiknya ia tidak membuat khawatir Mamanya.
“Ehm…” Rama berdehem. “Iya ini HP lo.”
Rama tidak mencegahnya, ia tau ini jam 11 malam, tetapi laki-laki itu tidak mencegah kepergian Shinta atau mengantarnya pulang ke rumah. Padahal biasanya Rama selalu begitu jika jam sudah menunjukkan pukul 11 atau lebih.
Shinta sakit hati, ia ingin menangis, tetapi entah mengapa kata hatinya mengatakan kepadanya untuk bertahan dan mempercayai bahwa Rama akan kembali padanya? Shinta mengendarai mobilnya dan bertolak menuju rumahnya. Anna sudah di depan untuk menunggu anak gadisnya pulang.
“Gimana, Dek?” tanya Anna.
“As you can see, Ma. Rama bahkan nggak nganter Shinta. Ya Mama taulah apa yang terjadi. Mama kan tau Rama dari kecil,” Shinta berjalan masuk ke dalam kamarnya. Ia menutup erat-erat dan membaringkan tubuhnya di ranjang. Ia tidak menangis hanya saja dadanya benar-benar terasa sesak. Shinta memilih mengganti bajunya dengan piama dan langsung tidur, besok ia akan membicarakan hal itu dengan Rama saat berangkat sekolah.
Paginya Shinta sudah dalam keadaan yang siap saat satu pesan masuk ke ponselnya. Pesan itu dari Rama, mengatakan bahwa laki-laki itu pagi ini tidak bisa berangkat bersamanya. Rama tidak menyebutkan alasan apapun, tetapi dari hal itu Shinta tau bahwa Rama membutuhkan jarak. Seperti yang dikatakan Anna semalam, Shinta mencoba memaklumi, dan memberikan Rama waktu.
“Gue liat tadi di parkiran Rama berangkat naik motornya,” kata Arra yang saat ini sudah menempatkan pantatnya di bangku sebelah Shinta. “Tumben lo nggak berangkat bareng. Ada masalah?”
Shinta tetap terpaku pada laptopnya dan menghiraukan Arra. Ia tidak ingin membahas Rama dan membuat moodnya tiba-tiba rusak.
Melihat pertanyaannya tidak dijawab Arra tau pasti ada yang salah, “lo putus?” teriak Arra kencang dan seketika mereka berdua menjadi pusat perhatian.
Shinta langsung menarik lengan Arra, “jangan ngaco!”
“Shinta putus?” Hanna langsung menoleh ke belakang dan menanyakan pertanyaan itu kembali.
Shinta menghela nafasnya, ia berharap Ellen, yang notabennya adalah mata-mata di kelas 11 tidak mendengarnya. Bisa-bisa gadis itu mengadu ke Sherlyn.
“Bisa ngga sih lo berdua kecilin dikit itu suara. Udah kayak TOA aja,”
“Lo jangan kebanyakan ngeles deh, mending cepet jawab pertanyaan gue,” desak Arra.
“Enggak lah!” jawab Shinta yang sekarang sudah tidak bisa santai lagi. “Masa sih lo segitu ngaconya bikin hipotesis gue putus sama Rama cuman gegara kita nggak berangkat bareng?”
“Ya kan nggak biasa gitu, biasanya juga kemana-mana lo dikintilin,”
Shinta mengernyitkan dahinya, ia baru tersadar bahwa semenjak mereka pacaran, Rama selalu ada di sekitarnya. Saat istirahat maupun sepulang sekolah.
“Chill okay? Gue enggak putus!” kata Shinta sambil berpaku kepada laptopnya lagi. Ia membalas satu persatu email yang masuk ke inboxnya mengenai tawaran manggung dan endors. Sampai saat ini Shinta belum memiliki manager seperti Kaleidoscope. Shinta merasa ia belum membutuhkannya karena ia masih memiliki waktu untuk membalas satu-persatu email mereka. Lagian tawaran yang datang tidak sebanyak tawaran Kaleidoscope.
“Lo nggak mau hire manager aja?” tanya Hanna yang setiap pagi bosan melihat Shinta selalu sibuk dengan laptopnya. “Apa lo mau gue bantu aja? Bayar murah deh!” tawar Hanna sambil tertawa.
Shinta melihat Hanna dengan tatapan malas. Sebenarnya Arra juga pernah menawarkan hal serupa, tetapi langsung ditolak mentah-mentah oleh Shinta. Karena menurut Shinta ia tidak ingin melibatkan pertemanannya dalam urusan pekerjaan. Hal yang seperti itu biasanya sering menimbulkan perpecahan dan Shinta tak mau kehilangan temannya.
“Udah biarin deh, Na. Nanti kalau dia capek juga bakal cari manager sendiri!” kata Arra yang sudah hafal dengan sifat Shinta.
Hanna mengangguk kemudian berbalik menghadap kedepan kembali. Shinta membalas email terakhir dari pengusaha apparel yang ingin menawarkan produknya. Tetapi Shinta merasa ragu dan menolaknya. Shinta adalah tipe orang yang tidak serta merta menerima endorsement. Ia selalu memilih dan memiliah produknya dengan baik, karena menurut dia apa yang akan ditawarkannya ke publik merupakan penggambaran citranya.
“BTW,…” Hanna membalikkan badannya kembali. “Gue punya masalah.”
Shinta mengangkat alisnya dan menyimak Hanna dengan baik, “Entah gimana Sherlyn bisa tau gerakan bawah tanah ini.”
Shinta mengerutkan alisnya, dari mana gadis itu bisa tau? Bukannya gerakan ini dimanage oleh Hanna dengan sangat hati-hati?
“Gue nggak tau siapa yang bocorin, tetapi kemarin Marisa di todong sama Sherlyn dan ditanya-tanyain soal gerakan bawah tanah ini.
“Hah Marisa langsung yang ditodong?” tanya Shinta. Marisa adalah kaki tangan Hanna langsung untuk mengatur gerakan ini. Bisa dibilang dia adalah pengeksekusi di lapangan. Jika bawahan Hanna langsung ditodong berarti gerakan bawah tanah ini sudah disusupi oleh anggota Sherlyn.
Hanna menghela nafasnya, “Marisa untungnya nggak papa sih. Dia cuman ditekan sambil ditanya-tanyain.”
“Terus dia ngaku?” tanya Arra.
“Enggak. Untungnya lagi dia bener-bener tutup mulut.”
Shinta memijat kepalanya yang mulai berdenyut. Sebenarnya tidak ada gunanya bagi Marisa untuk tutup atau buka mulut. Karena dari Sherlyn mengetahui identitas Marisa sebagai kaki tangan Hanna, itu berarti ia sudah tau tentang seluruh gerakan bawah tanah ini.
“Lo udah tau yang nyusupin?” tanya Shinta.
Hanna menggelengkan kepalanya, karena memang gerakan ini sudah tersebar di mayoritas kelas 11 dan 10. Anggotanya adalah mereka yang pernah dibully oleh anak kelas 12.
“Lo sadar nggak posisi lo bener-bener nggak aman, Na?” tanya Shinta kepada Hanna. Hanna adalah penggerak dari gerakan ini. Jika Sherlyn ingin menghentikan gerakan ini, tentu saja ia akan menghentikan otaknya secara langsung. Cara itu lebih efisien dibanding harus menekan satu-persatu anggotanya.
Hanna mengangguk, “gue sadar. Tapi gue nggak bisa berhenti gitu aja. Kita udah sejauh ini! Kita udah bikin Sherlyn diam selama beberapa hari loh.”
Shinta berdecih, “lo sadar ngga sih apa yang terjadi pas Abby ngelawan Moses? Daniel meninggal, Na! Dia meninggal loh!”
Hanna terdiam, jujur saja ia tidak tau apa yang harus dia lakukan, yang ia tau hanyalah ia harus terus maju apapun yang terjadi.
Shinta menghela nafasnya, “perjuangan lo itu nggak bakal worth it kalau sampe ada yang mati, Na!”
“Shin, lo ngga perlu sekasar itu kalik,” Arra membuka suaranya ketika ia melihat sahabatnya mulai naik darah.
Shinta mendengus, “Ra! Apa lo nggak inget apa yang dilakuin Sherlyn ke kita beberapa minggu yang lalu? Lo hampir mati loh, Ra! Gue nggak kasar, gue point out the truth disini.”
Shinta kemudian keluar sebelum Hanna ataupun Arra membicarakan hal ini. Mengapa semuanya jadi semakin rumit. Shinta menuju kamar mandi dan membasuh mukanya. Saat ini ia merasa bersalah karena sudah mengatakan hal seperti itu ke Hanna. Ia tau bahwa gadis itu hanya berusaha untuk memutus budaya pembullyan ini, tetapi entah mengapa feeling Shinta ini tidak akan berakhir baik jika Sherlyn sudah mengetahuinya.
“Gue denger-denger lo putus sama Rama?”
Shinta mendongakkan kepalanya saat ada suara dari arah pintu, Ellen menghampiri dan mencuci tangan di sebelahnya.
“Gue nggak putus, okay!” Shinta membalas dengan sebal. Cukup Rama dan Hanna saja yang menghancurkan moodnya, tidak perlu ditambahi dengan gadis yang cinta mati kepada Rama ini.
“Gue nggak tau apa yang dilihat Rama dari elo?”
“Gue nggak mau cari gara-gara okay? Ini masih pagi. Mending kalau lo mau ngomongin ginian ntar sore deh waktu pulang sekolah, gue ladenin!” Shinta berlalu pergi dan seketika bahunya di cekal oleh Ellen.
“Gue nggak bakal tinggal diem, Shin! Lo udah ngerebut cowok gue.”
Shinta mengernyitkan dahinya. Shinta penasaran dari mana datangnya kepercayaan diri itu. Shinta mengibaskan tangan Ellen yang ada di bahunya, “terus lo mau apa? Mau ngebully gue? Mau ngerebut Rama dari gue?”
Ellen terlihat tercekat dengan ucapan Shinta.
“Silahkan!” kata Shinta kembali. “Kalau lo bisa!” Shinta mulai memojokkan Ellen di wastafel. “Lo itu! Masuk The Girls aja nggak bisa. Apalagi ngelawan gue?”
Shinta berlalu pergi meninggalkan Ellen yang berkaca-kaca. Moodnya pagi ini benar-benar hancur. Rasanya ia ingin berteriak sekencang-kencangnya dan memaki apapun yang ada. Deru nafas Shinta mulai meningkat, tangannya mulai bergemetar. Shinta berlari menuju mobilnya dan meneguk obat penenang sebelum debaran jantungnya berada di atas maksimal dan Rama mendapatkan notifikasi dari smart watchnya.
Shinta menudukkan kepalanya pada stir mobilnya. Ia perlahan mengatur nafasnya yang mulai normal. Tangannya juga sudah mulai tidak bergemetar lagi.
Bel tiga kali menunjukan pelajaran dimulai. Tapi rasanya Shinta ingin tetap di mobil dan menjauhkan diri dari segala hal yang bisa menghancurkan moodnya. Tapi entah mengapa rasanya Shinta ingin ada Rama disini menemaninya, mendengar keluh kesahnya, dan menghiburnya.
Ketukan tiga kali pada kaca mobilnya membuat Shinta tersentak, Shinta membuka pintu, dan keluar dari mobil agar laki-laki itu tidak khawatir.
“Baru dateng?” tanyanya.
Shinta mengangguk dan kemudian laki-laki itu tertawa, “bukannya gue udah pernah bilang lo nggak jago bohong, Shin?”
Shinta tertawa, ia memang tidak hebat berbohong. Ia hanya akan hebat berbohong ketika melindungi Rama di depan orang tuanya.
“Lo kenapa?” tanya Guntur yang menyadari raut sedih di muka Shinta.
“I’m fine,” kata Shinta sambil berjalan menuju kelasnya. Mereka memang sudah terlambat tetapi Shinta tidak peduli.
“Lo udah ngomong ke dia ya?” tanya Guntur.
Shinta mengangguk.
Guntur tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Shinta, “don’t be too hard on yourself! Tenang aja, Rama bakal balik kok ke elo!”
Shinta sedikit tertawa saat ditenangkan seperti itu. Padahal Rama adalah saingannya, tetapi laki-laki ini memilih untuk menyemangatinya di saat-saat seperti ini.
“Thank you ya!” kata Shinta saat sudah sampai di persimpangan antara kelas 11 dan kelas 12. “Udah selalu support gue. Padahal gue jahat banget ke elo!”
Guntur tertawa, “your happiness is my priority, Shin! Jangan khawatir, gue bakal selalu ada di sisi lo!”
Shinta tersenyum dan melambaikan tangannya. Gadis itu kemudian berpisah dengan Guntur dan berjalan lurus menuju kelasnya. Ia bertanya-tanya dalam hari, mengapa ia tidak bisa menerima cinta dari Guntur, saat segala sesuatu yang dilakukan laki-laki itu adalah memastikan bahwa dia selalu bahagia?

KAMU SEDANG MEMBACA
Distance of Chance (END)
Fiksi Remaja[Only Teenager] Mungkin pergi dari Rama hanyalah pilihan terbaik yang Shinta punya saat ini. Saat tali persahabatan mengikat keduanya begitu erat. Mungkin memutuskan hubungan adalah satu - satunya jalan supaya mereka dapat bersama lagi nanti. Update...