C20 - Di Surabaya

54 6 0
                                    

“Tadi gue lihat dia lagi Ram,” kata Shinta memecah keheningan.

Saat ini Rama sedang menemani Shinta untuk duduk di balkon kamar hotelnya.

“Dia?” tanya Rama tidak mengerti.

Shinta menghela nafasnya, “gue lihat Daniel lagi. Ini udah kali kedua sejak gue bisa lihat Daniel lagi.”

Rama mengernyitkan dahinya, ia baru menyadari sesuatu yang janggal, “lagi? Lo lihat Daniel lagi? Emang lo masih aja konsumsi obat itu?”

Shinta mengangguk, sebelum berangkat ke venue tadi, Shinta menyempatkan untuk meminum 1 butir obat penenangnya.

“Kan udah gue bilang, Shin! Jangan diminum lagi,” Rama terlihat benar-benar marah. Wajar, laki-laki itu hanya sedang mengkhawatirkan seseorang yang dicintainya.

“Sebenernya bukan itu point gue. Gue merasa ada yang aneh,” Shinta ingin membagikan hal ini ke Rama. Walaupun ia tau, ia salah karena sudah mengkonsumsi obat lagi, tapi untuk masalah Daniel dia harus membagikannya kepada Rama, supaya bebannya tidak menumpuk.

Rama mulai menyimak Shinta.

“Dulu Daniel biasa muncul kalau gue lagi nangis terpuruk sendiri. Kayak waktu di gudang, dia muncul karena ketakutan gue kalau sendiri. Tapi ini gue kaget aja dia bisa muncul di keramaian dan dalam kondisi gue tuh yang engga lagi down.”

Rama memegang tangan Shinta, “lo mau ke psikiater lagi aja? At least kalau lo mau minum obat yang sesuai sama resep dokter. Jangan asal! Lihat deh halusinasi lo jadi semakin parah kan.”

“I don’t know, Ram. Apa itu efek samping obat atau gue mulai terguncang lagi karena dibully Sherlyn.”

“Hey,” Rama mengelus-elus tangan Shinta sambil terus memegangnya. “Ada gue sekarang. Lo udah nggak perlu takut sendirian lagi Shin. Kalaupun lo perlu ke psikiater lagi, bilang aja, nanti gue anterin kok.”

Shinta tersenyum dan mengangguk, “iya kalau gue butuh nanti gue bilang ke elo.”

“Yaudah lo istirahat gih, gue mau main sama anak-anak.”

Shinta mengernyitkan dahinya, apakah Rama akan ke club di Suarabaya?

Rama tertawa, menangkap ke khawatiran Shinta, “gue di kamar Guntur. Ngumpul sama anak-anak. Nggak keluar kemana-mana. Nanti kalau ada apa-apa telfon gue aja ya.”

Shinta mengangguk dan ia mengantar Rama kedepan kemudian mengunci pintunya. Ia sungguh lelah, rasanya sangat tidak bertenaga. Shinta mengambil ponselnya dan memeriksa beberapa notifikasi yang masuk. Followers-nya di Instagram kini meningkat hingga tiga kali lipat dan banyak dm yang masuk, ada yang minta ia segera memutuskan Rama, ada yang memintanya untuk mengkonfirmasi permintaan, ada juga yang mendukungnya dengan Rama. Sampai saat ini Shinta tidak melakukan apapun, gadis itu tetap mengunci instagramnya. Ia juga tidak membalas beberapa pertanyaan teman kelas 11 nya, ia tetap diam.

Satu notifikasi berhasil mencuri perhatian Shinta, itu adalah video amatir yang di ambil dari arah penonton saat ia duet bersama Rama tadi. Shinta tidak menyangka bahwa manggung di tempat yang jauh dari ibu kotapun bisa membuatnya jadi viral. Sebuah telefon dari Barra masuk di ponsel Shinta, gadis itu memijat kepalanya, apakah video itu sudah sampai di tangan Barra?

“Hallo, iya Pa?”

Barra hanya diam saja.

“Kamu tau kan Papa telfon kenapa?

Shinta mengela nafasnya, benar saja video itu sudah sampai di tangan Barra.

“Papa udah lihat videonya ya?”

“Iya. Kamu kenapa tiba-tiba mau manggung tanpa bilang Papa?”

“Shinta cuman mau ngasih tribute to Daniel Pa,”

“Kamu nyembunyiin sesuatu dari Papa?” tanya Barra curiga.

“Astaga engga Pa, serius Shinta cuman mau ngasih itu buat Daniel, udah sekali aja.”

“Nak, Papa itu udah kenal kamu sejak kamu lahir. Nggak mungkin kamu tiba-tiba mau nyanyi gitu aja. Kalau emang kamu buat tribute to Daniel harusnya kamu lakuin itu dari dulu, kenapa baru sekarang? Jangan sampe Papa ikut turut tangan dan nyari tau sendiri apa yang kamu sembunyiin dari Papa ya!”

Shinta memijit kepalanya, bagaimana cara membuat Papanya percaya padanya?

“Sekarang kamu ngaku ke Papa, apa alasan kamu tiba-tiba mau buka identitas kamu kayak gitu?”

“Astaga Pa!” Shinta berdiri, gadis itu tiba-tiba mempunyai ide gila. “Shinta bukannya mau bongkar identitas Shinta sebagai anak Papa. Shinta cuman….”

Shinta berhenti sejenak, menarik nafasnya dalam, semoga ide ini adalah ide yang terbaik.

“Kamu cuman apa?”

“Shinta cuman mau ngedukung pacar Shinta Pa.”

“Pacar?”

“Iya, Shinta jadian sama Rama.”

Seketika telfon dimatikan sepihak, Shinta menutup matanya dengan tangannya. Apa Papa Mama nggak suka sama hubungan ini?

Tidak lama kemudian bel kamarnya berbunyi, Shinta tidak menyangka Rama akan datang secepat ini. Gadis itu beranjak berdiri dan membuka pintunya. Air muka Rama sudah menatapnya tajam.

“Lo ngomong Papa kita pacaran?”

“Papa ngeliat video gue nyanyi yang diupload sama orang, terus nanya alesan gue apa. Gue udah bilang buat Daniel tapi Papa nggak percaya dan ngancem bakal turun tangan sendiri kalau gue nggak ngaku. Yaudah gue bilang aja kita jadian daripada Papa tau soal Sherlyn.”

Rama menghambur duduk di ranjang dan Shinta duduk disebelahnya, “apakah lo punya masalah dengan itu Ram?”

Rama terdiam, ia menyandarkan tubuhnya ke ranjang. “Nggak ada sih, lo sendiri tau orang tua kita dari dulu berharap kita jadian kan?”

Shinta menganggukkan kepalanya, walau seperti candaan tetapi memang kedua orang tuanya dan orang tua Rama sering sekali mengharapkan mereka untuk berasama.

“Mereka pasti seneng aja sih sekarang. Tadi Ayah nelfon gue, nanya itu bener apa nggak. Pas gue jawab emang bener Ayah ngomong, bahwa mulai sekarang tanggung jawab gue gede, kalau-kalau gue nyakitin lo dan…..”

Shinta menyipitkan tidak mengerti apa yang dimaksud Rama, “ya kan lo megang full akses Shin! Ayah takut kalau gue nyakitin lo, lo mutus semua kerjasama bareng Keenanta.”

Shinta tertawa, “gue nggak bakal lakuin itu kalik. Lo pikir gue bisa? Eh, gue punya full akses tuh yaudah, gue punya kekuasaan untuk menggunakan kekayaan Papa secara FULL. Tapi bukan berarti gue bisa mutus kerjasama kontrak sama anak perusahaan Papa. Untuk ngelakuin hal segila itu gue butuh persetujuan CEO perusahaan Papa. Eh lo kira gue bisa melakukan hal se gila itu?”

“Lo bisa!” Rama menentangnya. “Lo bisa kalau lo cukup berani untuk melakukan semua itu. Lo bisa! Come on we both know kalau lo cerdas. Lo bisa publish soal lo dibully dan membuat SMARA satu persatu kehilangan investornya. Tanpa harus persetujuan dari CEO pun lo punya cara buat ngehancurin Keenanta.”

“I won’t do that!”

Rama masih terdiam, terlihat laki-laki itu meragukan omongan Shinta. Shinta kemudian menggenggam tangan Rama, “gue janji gue nggak akan melakukannya okay?”

Laki-laki itu masih tidak mau duduk ataupun menatap Shinta, “yaudah kalau lo masih nggak percaya gue besok bakal bikin surat perjanjian deh sama lo. Perjanjian legal yang bisa nuntut Ganendra kalau-kalau gue sampe ekspos ke publik soal pembullyan ini.”

Rama kemudian duduk dan menatap Shinta, dia menghela nafasnya, “nggak, nggak usah kok. Gue percaya ke elo.”

Tiba-tiba Rama memeluk Shinta dengan erat, gadis itu tertawa sambil mengelus-elus punggungnya, “tenang aja. Gue nggak bakal ngehancurin hidup orang yang gue sayang, Ram. Sebenci-bencinya gue sama elo, gue tetep sayang sama Ayah Bunda.”

“Sorry ya gue udah nggak percaya ke lo kayak tadi.” Rama melepaskan pelukannya. “Yaudah lo istirahat aja ya. Sorry gue udah ganggu istirahat lo.”

Shinta mengangguk, “okay.”

Setelah mengantar Rama ke luar kamar dan menutup pintunya, ia kemudian berbaring. Ia membuka ponselnya lagi dan membalas pesan dari Hanna. Tampaknya gadis itu terkejut setelah melihat video yang sudah tersebar luas di Instagram dan youtube. Nampaknya Arra juga terkejut bahwa performance-nya hari ini bisa sampai tersebar dengan cepat sampai ke Jakarta. Bahkan gadis itu berkata kemungkinan seluruh anak SMARA sudah mengetahuinya.

Tiba-tiba ponselnya mati karena kehabisan daya. Shinta memilih langsung mematikan lampu kamarnya dan mulai memejamkan matanya. Ia lelah dan kedepannya akan lebih melelahkan lagi. Setidaknya ia punya hari ini untuk beristirahat sebelum melalui hari berat itu.

Distance of Chance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang