sixteen

887 160 22
                                    

Berdasarkan ramalam cuaca hari ini, salju akan turun malam hari dan siangnya masyarakat bisa bebas. Tapi tetap saja dinginnya menyengat hingga masuk pori-pori meski Raisya sudah mengenakan jaket tebal ditambah dengan sarung tangan dan kupluk.

Hari ini ia akan kembali mencoba mengadu nasib untuk mengumpulkan skripsinya pada dosbing.

Namun lagi-lagi sial. Bukan skripsinya ditolak, hanya saja dosennya sedang pergi ke Daegu.

Menghela napas pasrah sebelum akhirnya Raisya berjalan menuju halte bus guna menunggu bus datang. Ia harus pergi ke perusahaan untuk menandatangani buku yang ada.

Namun, mobil BMW jenis X7 berwarna silver berhenti tepat didepannya. Raisya terdiam membeku. Ia tidak kenal dengan pemilik mobil.

Semua atensi yang ada di halte menatap ke arahnya yang juga sedang dilanda bingung.

Namun tak kala kaca mobil di turunkan, Raisya bisa mengulas senyum tipisnya. Jimin ada di sana. Dengan sebuah lekungan di bibir membuat matanya menghilang dengan tangan yang dilambaikan pada Raisya.

"Masuklah!" Jimin berkata dengan menggerakkan mulutnya tanpa bersuara. Raisya mengangguk lantas membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Menguarkan senyuman sekali lagi pada Jimin sebelum akhirnya memasang seat belt pada tubuhnya.

Jimin menancap gas dan meninggalkan kawasan halte yang cukup ramai karena sedang menunggu bus selanjutnya datang.

"Untung saja aku datang tepat waktu. Kenapa tidak memberitahu jika sudah keluar kelas?" tanya Jimin.

"Tadi, dosen tidak datang, jadi aku berencana agar langsung datang ke perusahaan dengan bus saja," jujur Raisya.

Matanya menilik apa saja yang bisa ia lihat. Kemarin Jimin menggunakan mobil ferrari dan sekarang BMW. Apakah tidak boros membeli banyak mobil dengan harga selangit?

Memang jika dilihat Jimin adalah pria sukses yang kekayaannya tidak diragukan. Hanya saja Raisya sedikit tak suka ketika Jimin menghamburkan uangnya dengan cara seperti ini.

Oke? Hak dirinya memang apa?

"Harusnya katakan padaku. Kita mau makan dulu? Perutku lapar," ucap Jimin.

"Tentu. Di mana?" tanya Raisya.

"Aku sering mengunjungi restoran di dekat sini. Ayo kesana!"

Raisya mengangguk setuju. Ikut ketika Jimin menggenggam tangannya, membawanya masuk pada sebuah restoran yang cukup mewah.

Raisya takut uangnya kurang.

Keduanya duduk di kursi yang cukup strategis. Tidak di dekat kaca atau jendela, hanya saja di dekat tembok. Tapi cukup dekat ke kamar mandi, ke kasir atau pintu.

"Duduklah. Kau ingin pesan apa?" tanya Jimin seraya menyodorkan buku menu pada Raisya.

Dengan ragu gadis itu membuka menunya dan terhenyak ketika melihat runtutan harga yang bahkan hidangan paling murahpun tidak bisa dia beli.

"Ah, aku tidak membawa cukup uang. Kak Jimin saja yang makan," ucap Raisya. Ia menunduk. Bukan malu, hanya saja ia merasa dirinya benar-benar miskin dihadapan Jimin. Apakah tidak apa jika dirinya menjalin hubungan dengan Jimin?

"Hei? Aku ini kekasihmu. Jadi, untuk urusan makan apalagi aku yang mengajak, aku yang akan membayarnya. Jangan sungkan dan ini perintah!" ucap Jimin.

Tanpa menunggu balasan dari Raisya, Jimin menekan tombol yang ada di meja untuk memanggil pramusaji.

Memesan dua vanilla cinnamon dan juga dua porsi steak.

"Kau suka menu yang kupilihkan?" tanya Jimin. Raisya mengangguk. Tidak ada yang salah sebenarnya. Hanya saja hatinya yang salah. Dia malah berdebar karena melihat Jimin yang menopang dagu dengan kedua tangan di atas meja—menatapnya.

EQUANIMITY✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang