47 ; Polaroid yang Jatuh Tiba-tiba

4.3K 526 44
                                    

kalo ada typo + ga jelas, maap.
oh iya kalo ada kesalahan ayat dibawah maafin ya murni ketidak sengajaan, kalo ada salah buat yang tau koreksi yaa makasii ^^




______

Sekitar dua bulan berlalu, saatnya pengumuman kelulusan. Bulan Juli.

"Dengan bangga, saya menyatakan 321 siswa kelas 12 yang mengikuti Ujian Nasional, dinyatakan...LULUS!" ucapan dari kepala sekolah membuat barisan IPA dan IPS kelas 12 menjadi heboh. Semua saling berpelukan, saling menangis haru.

"Kalau udah sukses jangan lupain gue ya lur!"

"Sering sering reuni ya!! Awas kalo gue dilupain!"

"Sumpaah ga nyangka kita bakal pisah secepet inii!"

Semua tampak bahagia, termasuk Jaemin. Tapi, dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia menginginkan hari ini tidak terjadi sekarang.

Ia masih ingin bahagia dengan teman temannya, mengulang waktu untuk berkencan dengan Anna. Ia tidak ingin menikah secepat ini. Terutama bersama orang yang paling dibencinya.

Statusnya akan menjadi "Sudah menikah" begitu ia masuk dunia perkuliahan nanti.

Apakah egois, jika Jaemin berharap orang yang akan menikah dengannya adalah seorang Anna? Seorang Anna yang menjadi Istiqlal terindahnya.

"Jaeem cieee yang udah keterima di Kedokteran UI!" Haechan menyikut siku Jaemin, membuat Jaemin berdecak.

"Paansi. Lo kan juga masuk di Teknik Elektro ITB, dodol," balas Jaemin. Haechan nyengir.

"Semua berkat bantuan Tuhan Yesus" jawab Haechan sumringah. Jaemin mendelik, "Eh, nama gue ga lo sebut? Parah lo ye. Gue yang selalu mengajarkan materi materi yang tidak pernah lo mengerti sampai akhirnya lo ngerti. Intinya lo utang banyak ke gue!" ucap Jaemin menggebu gebu.

"Iye iye, ini semua berkat bantuan Tuhan Yesus yang memberkati gue dengan otak gue yang encer ini sehingga gue mudah menyerap materi yang disampaikan Bapak Jaemin," kata Haechan dengan cengiran di wajahnya.

Baru saja Jaemin ingin menimpali, Jaemin mengurungkan niatnya begitu ponselnya berbunyi.

"Halo ma?" ucap Jaemin malas. Hubungannya dengan kedua orang tuanya jadi lumayan renggang, sebenarnya.

"Shaloom, Jaemin. Gimana, Na? Kamu lulus kan?" tanya Mama dari ujung telepon.

"Hm. Lulus."

"Apasih Na kamu kok jawab pertanyaan Mama kayak gitu. Jawab yang bener dong Na."

"Ya lulus. Lulus. L u l u s." Jaemin mengeja pengucapan lulus dengan penuh penekanan. Kemudian, ia kembali berbicara dengan Mamanya.

"Ya udah, Jaemin mau main sama Haechan. Udah dulu ya Ma." Tanpa aba aba, Jaemin memutuskan sambungan telepon. Mematikan ponselnya, kemudian menaruhnya asal di saku seragam.

"Eh Cabe, dapet dimana lo?" Tanya Jaemin begitu melihat Yeri melintas didepannya dengan sebuket bunga.

"Ngomong sama siapa lo?" Yeri berhenti kemudian berkacak pinggang menatap sengit Jaemin yang kini nyengir. "Ya manggil Ibu Yeri lah, masa manggil Ibu Clara. Nanti bukannya masuk universitas malah masuk BK gue," jawab Jaemin.

"Nama gue, Yeri! Yeri, Y E R I, bukan Cabe." kata Yeri penuh penekanan. Jaemin nyengir, "Sama aja elah."

"Beda bangsat. Ga usah sok asik lo bukan temen gue," gerutu Yeri. Jaemin meringis, "Duh iya iya maap. Jadi masuk univ mana lo Yer?" Jaemin mengulang pertanyaannya.

Istiqlɑl-Kɑtedrɑl. [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang